Network
KABAR BANTEN - Banyak orang yang memperhatikan dan membicarakan isu kesehatan mental. Survei yang dilakukan oleh Ipsos mengungkapkan bahwa responden merasa khawatir dengan masalah kesehatan mental dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya.
Ini sejalan dengan laporan pada tahun 2022 dari Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), yang menyatakan bahwa sepertiga dari remaja Indonesia usia 10–17 tahun menghadapi masalah kesehatan mental, di mana gangguan kecemasan adalah yang paling umum dengan persentase 3,7 persen.
Dikutip Kabar Banten dari berbagai sumber, mengingat tren kenaikan ini, maka ini adalah masalah kesehatan yang serius dan perlu dicegah. Salah satu cara yang dapat dicoba adalah dengan menggunakan framing effect.
1. Apa itu framing effect?
Framing effect adalah fenomena psikologis di mana seseorang terpengaruh oleh cara suatu pilihan ditampilkan, apakah sebagai sesuatu yang menguntungkan atau merugikan.
Konsep ini pertama kali dijelaskan oleh dua orang psikolog, yaitu Daniel Kahneman dan Amos Tversky. Mereka mengungkapkan sebuah konsep bahwa bentuk penyajian suatu informasi dapat mempengaruhi keputusan seseorang.
Singkatnya, framing effect mengajukan sebuah konsep penyajian suatu informasi dengan cara yang berbeda, namun dengan makna atau isi informasi yang sama. Perbedaan bentuk penyajian ini lah yang akan mempengaruhi cara berpikir manusia terhadap suatu informasi.
Tanpa kita sadari, framing effect telah banyak diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai contoh, framing effect banyak dimanfaatkan oleh penjual untuk mempengaruhi pandangan para pembeli.
Contohnya:
Baju batik seharga Rp100.000 ditambah ongkos kirim Rp20.000 Baju batik seharga Rp120.000 dengan ongkos kirim gratis. Kebanyakan orang akan memilih opsi kedua, karena ada sebuah keuntungan dari opsi tersebut.
