Hindari Pernikahan Dini Demi Terciptanya Keluarga Berkualitas

- 21 September 2018, 17:57 WIB
Pernikahan-Dini-ilustrasi
Pernikahan-Dini-ilustrasi

ANCAMAN kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, bahkan risiko kematian akibat ketidakmatangan usia perkawinan, hingga saat ini belum mampu menahan terjadi kasus pernikahan dini di tengah masyarakat. Selain masalah klasik yaitu lilitan ekonomi, salah satu penyebab tingginya kasus pernikahan dini diakibatkan oleh kurangnya pemahaman masyarakat terhadap Undang-Undang No.1/1974 tentang Perkawinan. Jika kita mau menelisik lebih jauh, sebenarnya fenomena pernikahan dini bukanlah hal yang baru di Indonesia, khususnya daerah Jawa. Bahkan pada zaman dulu, pernikahan di usia matang akan menimbulkan tanggapan negatif, karena perempuan yang tidak segera menikah justru akan mendapat tanggapan miring atau lazim disebut perawan kasep, perawan tua, atau sebutan lain yang kurang mengenakkan. Seiring perkembangan zaman pandangan masyarakat atas pernikahan juga mengalami perubahan kearah sebaliknya. Perempuan yang menikah di usia belia dianggap sebagai hal yang tabu. Bahkan dianggap menghancurkan masa depan wanita, menghambat atau memberangus kreativitasnya serta mencegah wanita untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Dari sudut pandang kedokteran, pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan. Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal itu disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya menolerir pernikahan di atas umur 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita. Dalam Undang-undang Perkawinan bab II pasal 7 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mencapai umur 19 tahun dan pihak perempuan sudah mencapai umur 16 tahun. Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal itu dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik, psikis dan mental. "Yang menjadi persoalan syarat ini belum disadari penuh oleh masyarakat, sehingga pernikahan yang terjadi dalam serba ketidaksiapan baik status, kemapaman usia dan kedewasaan serta sangat rentan dengan perceraian, bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Kita berharap masyarakat ikut berperan aktif untuk melakukan pencegahan pernikahan usia dini," kata Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KB-P3A) Kabupaten Lebak, Tajudin Yamin beberapa waktu lalu. Menurut Tajudin, pernikahan dini dikhawatirkan tidak akan melahirkan kualitas keluarga yang bahagia dan sejahtera. Selain itu, pernikahan dini cukup berisiko kematian ibu dan bayi juga kasus perceraian cenderung meningkat. ”Pemerintah daerah memaksimalkan kegiatan sosialisasi ke sekolah-sekolah dan masyarakat. Perkawinan usia dini belum siap mental untuk membina bahtera rumah tangga. Apalagi, jika mereka belum memiliki pekerjaan tetap sehingga menjadikan beban ekonomi kedua orangtua. Kami minta masyarakat lebih mengutamakan anak-anak mereka bersekolah, terlebih pendidikan sudah digratiskan," katanya. Terpisah Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Lebak Hj. Ratu Mintarsih mengatakan, pihaknya mendukung masyarakat agar tidak menikahkan anak usia dini. Pernikahan tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Perlu kematangan baik dalam psikologi maupun fisik. Itulah kenapa pernikahan dini sebaiknya janganlah terjadi. "Selain risiko kesehatan di atas, dampak psikologis yang dirasakan juga bisa membebani perempuan yang menikah dalam usia yang belum matang. Kami minta KUA agar melakukan pembinaan dan pengawasan kepada penghulu guna mencegah pernikahan usia dini,” tutur Ratu Mintarsih. (Nana Djumhana)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x