Benarkah akses Pendidikan Menengah di Banten Masih Bermasalah… ?

- 5 November 2017, 16:00 WIB
tutwuryhandyani
tutwuryhandyani /

Dalam sebuah release Kompas disebutkan bahwa akses pendidikan dasar dan menengah masih menjadi kendala bagi sebagian anak-anak usia sekolah. Meskipun jumlah anak-anak yang mengalami hambatan mengenyam pendidikan di bangku sekolah karena putus sekolah dan tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya terbilang kecil, kondisi tersebut tetap perlu diperhatikan, terutama bagi anak usia wajib belajar.

Berdasarkan data-data dari Departemen Pendidikan Nasional dalam kurun waktu 2003-2008, terlihat angka putus sekolah di jenjang pendidikan dasar bisa berkisar 1-2 persen setiap tahunnya dari total anak usia 7-15 tahun yang seharusnya masuk dalam usia wajib belajar yang ditanggung negara. Adapun lulusan SMP sederajat yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah lebih dari 10 persen.

Sementara itu, lulusan SMA sederajat yang tidak dapat melanjutkan ke pendidikan tinggi hampir 36 persen. Selain kendala ekonomi yang umumnya menjadi persoalan utama anak-anak usia sekolah menuntaskan pendidikannya, masalah sosial-budaya, dan geografis juga jadi kendala. Apalagi, sekolah-sekolah formal umumnya tidak fleksibel dalam aturan dan pembelajarannya sehingga tidak cocok bagi sebagian kelompok masyarakat.

Ferdiansyah, anggota Komisi X DPR RI, mengatakan meskipun pemerintah sudah mengkalim pencapaian wajib belajar di Indonesia sudah tuntas sejak tahun 2008, kenyataannya masih ada anak-anak usia wajib belajar yang tidak berada di bangku sekolah pada waktu jam sekolah. Akses pendidikan itu harus terus diupayakan menjangkau semua anak tanpa terkecuali. Jika pemerintah memiliki komitmen yang tinggi pada pendidikan, hambatan-hambatan anak dalam sekolah mesti bisa diatasi.

Pendidikan nonformal yang lebih fleksibel bagi anak-anak tertentu juga perlu dikembangkan dan kualitasnya ditingkatkan sehingga tidak kalah dengan sekolah forma. Sebelumnya Kementerian Pendidikan Nasional menegaskan kebijakan pemerintah dalam pendidikan tetap pada prinsip tidak diskriminatif. Persoalan akses dan kualitas pendidikan masih menjadi perhatian utama pemerintah.

Akses pendidikan bukan hanya dibuka lewat jalur formal, tetapi juga dengan penguatan pendidikan nonformal. Pada tahun 2014 Kompas memberitakan, bahwa siswa dari keluarga miskin yang bisa menikmati pendidikan menengah jauh lebih sedikit dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga kaya. Hal itu akibat tingginya beban biaya pendidikan yang harus ditanggung masyarakat. Warga miskin pun tertinggal.

Hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, kontribusi rumah tangga untuk sekolah menengah sangat tinggi. Sekitar 45 persen dari biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan menengah (negeri dan swasta) dibebankan kepada rumah tangga. Begitu pula biaya pendidikan tinggi. Rata-rata pengeluaran warga per tahun, menurut jenis sekolah, untuk pendidikan di SMA negeri Rp 1,5 juta-Rp 2 juta dan di SMA swasta berkisar Rp 2,5 juta.

Pengeluaran untuk pendidikan di SMK negeri berkisar Rp 2 juta dan SMK swasta Rp 2,5 juta. Biaya pendidikan di SMA dan SMK negeri ataupun swasta naik signifikan. Persentase itu tidak mengalami perubahan berarti selama kurun tahun 2009 hingga 2012. Amich Alhumami, Kepala Subdirektorat Pendidikan Tinggi Direktorat Pendidikan Bappenas,  mengatakan bahwa Angka partisipasi penduduk usia 16-18 tahun dari tahun 2000-2009 memang meningkat, tetapi penduduk miskin tetap tertinggal.

Ketimpangan

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah