Mengenal Mantra Sakti Leluhur Orang Sunda Jangjawokan atau Jampe-jampe

3 November 2023, 11:14 WIB
Ilustrasi terkait mantra, jangjawokan atau jampe-jampe leluhur orang Sunda. /Tangkapan layar /Instagram @teureuh_siliwangi

KABAR BANTEN - Masyarakat Nusantara atau bangsa Indonesia pada khususnya di setiap daerah terdapat budaya yang sudah melekat pada kehidupan masyarakat tentang keahlian merangkai kata atau kalimat berupa sya'ir, pantun, sajak dan juga mantra jangjawokan atau jampe menurut leluhur orang Sunda.

 

Beberapa jenis budaya atau rangkaian kata atau kalimat yang menarik untuk dibahas yaitu soal mantra atau jampe-jampe.

Menurut beberapa sumber menjelaskan bahwa mantra berasal dari bahasa sansekerta yang berarti sebuah kalimat atau rangkaian kata yang mengandung harapan atau doa yang dikhususkan untuk tujuan dan keinginan tertentu.

Baca Juga: Rahasia Rumah Adat Suku Sunda yang Tahan Gempa, Rumah Panggung Konsep Arsitektur dari Karuhun

Dalam bahasa Indonesia mantra yang sekarang dikenal, juga dalam istilah jampe-jampe menurut orang Sunda, atau rapalan, suwuk dalam tradisi Jawa dan lain sebagainya.

Dalam pemahaman leluhur Sunda atau masyarakat Sunda pada umumnya mantra dikenal dengan istilah jampe yang menjadi adat dalam melengkapi tatanan kehidupan dimasyarakat.

Namun jika melihat kepada tradisi budaya leluhur Sunda atau Sunda kuno mantra atau jampe-jampe tersebut dikenal dengan nama jangjawokan.

Sebagaimana hal nya mantra dan jampe-jampe jangjawokan merupakan istilah lain dari harapan dan doa berbahasa Buhun atau kuno yang dibuat atau diciptakan oleh para leluhur orang Sunda yang bertujuan untuk melengkapi pola gerak lampah manusia antara dimensi bumi dan langit atau konsep syariat dan hakikat.

Keberadaan jangjawokan menimbulkan beragam sudut pandang dari masyarakat yang mengartikan bagaimana kedudukan dan hukumnya.

Tidak sedikit masyarakat yang menganggap bahwa jangjawokan adalah salah satu tradisi masyarakat Sunda yang menyimpang, musrik menyekutukan Allah yang Esa.

Kemungkinan besar hal tersebut berdasarkan dari pemahaman tafsir dan stigma yang keliru dari isi jangjawokan tersebut.

Secara umum jangjawokan atau jampe-jampe memiliki ciri khas khusus yakni pada setiap kalimatnya berbahasa sastra Sunda kuno berbeda dengan bahasa Sunda pada umumnya.

Karena jangjawokan berbahasakan Sunda kuno yang dominan terhadap semua ajian jangjawokan kemudian dianggap tidak selaras dengan agama pada umumnya.

Dari sanalah kemudian beberapa masyarakat menganggap jangjawokan atau jampe-jampe adalah mantra ritual yang menyimpang dan bahkan sebagian lainnya menyakini sebagai ajaran sesat.

Tata bahasa dan kalimat dalam mantra jangjawokan sebenarnya tidak lain adalah sebuah harapan dan doa, sebagaimana doa atau jampe-jampe pada umumnya semua itu kembali pada orang yang melakukannya, baik buruk akan tujuan doa tersebut tidak lantas bisa menghukumi halal haram atau hitam putihnya kumpulan jampe dalam suatu keilmuan.

Jika melihat secara mendalam jangjawokan itu merupakan sebuah metode atau ilmu pengetahuan yang disembunyikan oleh para Karuhun Sunda zaman dahulu.

Baca Juga: Bank Padi atau Leuit, Lumbung Padi Bank Tradisional Suku Baduy dan Masyarakat Sunda

Hal ini juga dapat disebut oral tradition yang diturunkan secara turun-temurun melalui lisan dan tradisi masyarakat.

Sebab itu keilmuan jangjawokan bisa hampir dipastikan tidak ada buku atau kitab yang secara khusus dibuat oleh para leluhur Sunda terdahulu.

Peran jangjawokan pada zaman dahulu sebagai pengganti peran penyembuhan zaman modern seperti dokter, psikolog, atau apapun yang terkait masalah penyembuhan fisik dan psikis.

Kekuatan magis jangjawokan terletak pada kebersihan dan kesungguhan hati dari si pengucapnya.

Masyarakat Sunda biasanya menggunakan jangjawokan untuk tujuan dan hajat tertentu namun dalam keseharian nya jangjawokan juga digunakan dalam setiap kegiatan seperti tidur, mandi, keluar dan masuk rumah menanam padi dan lain sebagainya.

Dari sekian banyak jenis jangjawokan yang paling populer dan dicari orang adalah ajian kesaktian ilmu pelet atau pengasihan.

Berikut adalah beberapa contoh ajian jangjawokan sebagaimana dikutip Kabar Banten dari YouTube Bujang Gotri:

Jangjawokan kadugalan atau kesaktian "sima aing sima maung, sima manusa satitik manggiri, satangkal jeung badan, marah sia geus kapungkas, sang kiricik ngaran sia keur leutik, sangkucirak ngaran sia keur budak, kapingkas kapungkas amarah sia ku aing, sing asih sing welas asih kadiri aing, iyeu elmu katimbun badan kuat teu karasa, duk sakumpul asa kapuk, duk sarempang asa kapas, hampulna hampangna ku pangersa gusti nu pangeran"

Selanjutnya contoh jangjawokan asihan atau jampe ilmu pelet "asihan sabelit bumi, asihan salanglang buana, brag asih dadi asih, nu asih lunggah na biwir, nu ha'at lunggah na soca, ruh tuktruk tuh badan si anu ...mangka welas mangka asih ra'at asih kabadan awaking, nu cunduk bayu nyana datang atma si eta...rejeung satineng jeung aing, mangka datang jeung ragana, mangka cunduk jeung bayuna, mangka baraya jeung satineng, mangka tunggal atmana, iyeu rasa nira iyeu rasa isun saking purba ning pangeran asihna asih ka awak aing".

Pada leluhur orang Sunda atau Karuhun Sunda zaman dahulu setiap ada sesuatu yang akan dilakukan pasti ada tata dan titi atau tata cara yang harus dijalankan hal tersebut sebagai bentuk lain sikap bersandar kepada yang maha kuasa serta penghormatan kepada para leluhur.

Ada satu palsafah adat keyakinan orang Sunda dalam menjalani hidup yang terangkum dalam sebuah simbol kalimat sakral "Gusti nantayungan, Karuhun marengan" yang berarti Tuhan melindungi dan para leluhur membersamai.

Setiap kata atau kalimat yang terdapat pada jangjawokan dipercaya memiliki energi magis yang melalui alam bawah sadar kita membentuk sebuah harapan dan keyakinan.

Pro kontra akan keberadaan jangjawokan yang dianggap sesat sudah terjadi sejak lama, namun apabila kita mau mengkaji dan serius mendalami maksud dan arti dari setiap kata pada jangjawokan tentu saja akan menambah wawasan kita akan luhurnya ajaran warisan dari para leluhur.

Pergeseran atau perubahan kalimat mantra jangjawokan terjadi ketika akhir masa kerajaan Pajajaran, pada saat itu pengaruh para wali yang bermarkas di Cirebon membuat adanya perubahan kultur budaya dan agama di tatar Sunda atau di bumi Pajajaran.

Syiar dakwah para wali di tatar Sunda yang dikomandoi oleh Sunan Gunung Jati memakai metode yang membaur langsung dengan kultur masyarakat setempat, dengan kearifan dan kebijaksanaan Sunan Gunung Jati budaya mantra jangjawokan tidak langsung dilarang dan diharamkan.

Dari sekian banyak mantra jangjawokan yang diwariskan dari Karuhun orang Sunda, Sunan Gunung Jati hanya memilah dan memilih mana baik dan mana yang menyimpang.

Sebagaimana kita ketahui sebelum masuknya dakwah Islam yang dipelopori oleh Sunan Gunung Jati Cirebon, meski sebelumnya Islam sudah ada di tatar Sunda, namun masyarakat Sunda pada waktu itu masih menganut ajaran Karuhun atau nenek moyang.

Sebab itu pada kalimat-kalimat yang menyandarkan diri kepada dewa atau Tuhan menurut keyakinan mereka oleh Sunan Gunung Jati kemudian diluruskan agar pengabdian dan pengharapan itu ditujukan kepada Allah SWT dengan sebutan lain Gusti pangeran.

Setelah Syiar dakwah Sunan Gunung Jati berhasil mengislamkan mayoritas masyarakat Sunda keberadaan jangjawokan lantas tidak dimusnahkan dan justru eksistensinya masih ada hingga saat ini dengan dua versi yang berbeda.

Baca Juga: Sifat-sifat Baik Manusia yang Dicintai oleh Khodam Leluhur Meski Tanpa Tirakat

Versi pertama jangjawokan asli dari Karuhun Sunda Pajajaran, dan versi yang kedua jangjawokan dari Cirebon.

Ciri khas jangjawokan versi Cirebon selain dari bahasa yang digunakan adalah campuran antara bahasa Sunda dan bahasa Cirebonan, biasanya dalam mantra nya terselip kalimat Al Qur'an yang hampir rata-rata diawali dengan basmalah dan diakhiri dengan lahaola wala kuata ila billahillah 'aliyiil 'adhiim.

Demikian penjelasan tentang seluk beluk dari mantera jangjawokan atau jampe-jampe sebuah ilmu pengetahuan yang berasal dari buah pemikiran para leluhur Sunda yang mereka ciptakan untuk menghiasi dan mengisi kehidupan dari sisi spiritual semoga informasi ini bermanfaat dan kita tidak langsung memponis salah dan sesat pada adat istiadat warisan dari para leluhur Sunda.***

 

Editor: Yandri Adiyanda

Sumber: YouTube Bujang Gotri

Tags

Terkini

Terpopuler