Mengenal Lada Banten, Alat Diplomasi Para Sultan, Disebut Tome Pires Lebih Istimewa Dibanding Cochin India

- 1 Agustus 2021, 07:52 WIB
Lada dikenal emas Hitam Banten.
Lada dikenal emas Hitam Banten. /kebudayaan.kemdikbud.go.id/

KABAR BANTEN - Lada merupakan salah satu rempah Indonesia yang memiliki banyak khasiat. 

Bahkan, lada ini dikenal sebagai rajanya rempah-rempah dunia. 

Dijuluki sebagai The King of Spices, lada ini menjadi daya tarik berbagai negara-negara di dunia.

Baca Juga: Menakjubkan! Rempah Indonesia ini Dijadikan Alat Tukar Bernilai Tinggi pada Masa Romawi

Indonesia sendiri mempunyai Lada yang beragam, bahkan di berbagai daerah penghasil lada di Indonesia masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri. 

Oleh karenanya, sebagai salah satu negara penghasil lada terbesar dunia dengan beragam lada yang dimiliki, Indonesia menjadi negara yang banyak diincar berbagai negara di Dunia. 

Bahkan, Vietnam yang disebut Food and Agriculture Organization (FAO) sebagai negara produsen dan pengekspor Lada terbesar pertama di Dunia, dahulu pernah mendatangi Indonesia.

Dilansir kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari laman Instagram International Conference of Indonesian Culture, pada 1986-1987 para peneliti dari Vietnam datang dan belajar ke Indonesia untuk membudidayakan dan mengembangkan Lada. 

Bahkan pada Juni 2021, ekspor Indonesia terbesar salah satunya ke negara Vietnam capai 14.822.434 kg. 

Daerah di Indonesia yang dikenal sebagai penghasil Lada nasional adalah Bangka Belitung. 

Bahkan, lada menjadi komoditas penggerak utama ekonomi masyarakat di Bangka.

85 persen produksi lada diekspor ke mancanegara. 

Namun tahukah anda, ada kisah menarik tentang lada di Indonesia Barat yakni Banten. 

Sebagai salah satu daerah penghasil Lada, ternyata dahulu Lada di jadikan sebagai alat Diplomasi para Sultan Banten. 

Betapa istimewanya lada yang dikenal sebagai emas hitam dari Banten, bahkan Tome Pires mengatakan bahwa lada Banten lebih baik dari pada Cochin (India).

Dalam informasi yang dibagikan @jalurrempahri, petualang sohor Portugis Tome Pires itu, mengungkapkannya dalam bukunya yang terkenal yakni Summa Oriental. 

Buku tersebut mencatatkan keistimewaan rempah lada, bahkan dikatakan bahwa lada Banten produksinya (dahulu) lebih dari 1000 bahar per tahunnya. 

Lebih lanjut, Lada panjang dan asam melimpah tersebut cukup dimuat seribu kapal, serta pelabuhan Lada sendiri antara lain di Banten, Pontang, dan Cikande. 

Lalu, bagaimana kisahnya sehingga lada bisa dijadikan sebagai alat diplomasi para Sultan Banten? 

Berdasarkan informasi yang dibagikan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten, disebutkan dalam naskah dan surat kenegaraan pada masa lalu, para Sultan yang memerintah Banten menggunakan Lada sebagai alat diplomasi dengan pihak asing. 

Sultan bul Fath, atau dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa, berkirim surat kepada raja Inggris Charles II sekira tahun 1664.

Dalam surat itu, Sultan Ageng Tirtayasa menuliskan permohonan agar Inggris bersedia menjual meriam, senapan, dan istinggar (jenis senjata api matchlock/kancing sumbu) kepada Banten. 

Saat berkirim surat, Sultan Ageng Tirtayasa juga menyelipkan hadiah berupa lada hitam sebagai ucapan terimakasih atau imbalannya. 

Dalam surat tersebut, berisi tulisan 'surat persahabatan yang disertai 100 bahar lada hitam dan 100 pikul jahe sebagai bentuk cinta dan perdamaian'. 

Untuk diketahui, sejak tahun 1580-1620, lada memonopoli kekuasaan Banten dan di Asia Tenggara, Banten merupakan pengekspor lada kedua setelah Aceh. 

Oleh karenanya, di Banten bahkan penduduk diharuskan menanam Lada ketika permintaan pasar dunia terhadap lada meningkat. 

Hingga akhirnya, hal tersebut memicu konflik akibat penanaman Lada dalam sekala besar, hasil pertanian tanaman pangan berkurang yang sebabkan terjadinya kelaparan.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Rempah Nusantara, Jadi Rebutan Bangsa Eropa, 5 di Antaranya Bahan Medis Bernilai Tinggi

Oleh karenanya, Wali Raja Ranamanggala segera memutuskan untuk menghentikan perdagangan dan pencabutan pohon Lada. 

Penduduk diwajibkan kembali untuk menanam padi dan umbi-umbian. 

Namun, pada 1636 pemerintah kembali mewajibkan penduduk untuk menanam lada.***

Editor: Rifki Suharyadi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah