Ada tiga hal, mengapa seorang politisi memanfaatkan media sosial.
Pertama, untuk membangun awareness, politisi menunjukkan karakternya, menyampaikan misinya secara ringan. Kedua, keterlibatan publik, yaitu saat publik ikut berkomentar pada media sosial politisi tersebut.
“Kemudian ketiga, ada feedback dari publik dari yang ditawarkan publik cocok atau tidak, kemudian kalau tidak cocok akan ada dialog,” sebut Firman.
Politisi yang sudah ‘terjun’ di media sosial harus menyelaraskan citranya. Politisi yang tampil ciamik, ramah, humoris di media sosial, harus bersikap yang sama saat ditemui secara langsung.
“ Ada teori dramaturgi, kita atur panggung depan dan panggung belakang. Katakan panggung depan adalah media sosial, maka di panggung depan ingin tampil sempurna, ideal. Publik harus diberi juga tampilan di belakang panggung,” kata Firman.
Baca Juga: Puncak Arus Mudik 2022 di Pelabuhan Merak Banten Diprediksi Malam Ini, ASDP Siagakan Kapal Besar
Tampilan di belakang panggung kata dia, adalah keseharian tokoh tersebut. Apakah dia memang ramah, mau menjawab pertanyaan dan tidak anti terhadap kritik.
“Jadi apa yang disajikan di media sosial idealnya tidak terlalu berbeda dengan di dunia nyatanya, “ kata Firman.
Untuk mengisi kanal-kanal media sosial, politisi dan timnya perlu kreatif. Konten yang kreatif adalah kunci.