1549852

Satu Keluarga Tinggal di Kandang Kambing

- 1 Agustus 2017, 17:00 WIB
warga-miskin-kabupaten-serang-(2)
warga-miskin-kabupaten-serang-(2)

SERANG, (KB).- Satu keluarga terdiri atas seorang ayah dan 13 anak di Kampung Palembangan, Desa Dukuh, Kecamatan Kragilan tinggal di gubuk sangat sederhana. Ada dua gubuk yang mereka jadikan tempat tinggal, salah satunya merupakan bekas kandang kambing. "Sudah tiga tahun kami tinggal di gubuk ini. Di tempat inilah 13 anak-anak saya tidur," kata Sarbini, bapak 13 anak, kepada Kabar Banten, Senin (31/7/2017). Menurut Sarbini, ia memutuskan tinggal di gubuk bekas kandang kambing karena rumahnya luluh lantak dihantam banjir saat pembangunan tanggul, tiga tahun lalu. Sejak itu ia belum sanggup membangun kembali rumahnya. "Sejak rumah roboh, saya dan anak-anak tidak punya tempat tinggal. Hanya gubuk ini yang bisa kami jadikan rumah," ujarnya lirih, sambil mengusap air mata.  Ia masih bersyukur karena masih memiliki tanah warisan orangtua. Jika tidak, ia dan 13 anaknya akan menjadi gelandangan. Ia mengatakan, karena gubuk yang ditinggalinya tersebut tidak muat untuk menampung 13 anak-anaknya, maka ia berinisiatif mendirikan satu bangunan lain yang juga tidak layak huni. Letak dua bangunan itu berdekatan.  "Karena tidak ada bilik, bangunan yang kedua itu dibiarkan terbuka. Di sana anak-anak saya yang sudah besar tidur. Sementara yang masih kecil-kecil tinggal di gubuk satunya sama saya," ucapnya. Karena keadaan tersebut, ia sering meminta maaf kepada anak-anaknya. Bukan hanya karena tinggal di kandang kambing, tapi juga karena ia tak mampu menyekolahkan seluruh anaknya. "Anak-anak saya tidak ada yang sekolah, belajar sendiri saja di sini. Saya yang ajarin belajar nulis," tuturnya. Untuk menghidupi keluarganya, ia mengandalkan kerjaan serabutan yang didapatnya dari warga sekitar. Kerjaan itu biasanya dilakukan oleh anak-anaknya yang sudah berusia remaja. Sedangkan dirinya tidak bisa bekerja, karena harus mengasuh anak-anaknya yang kebanyakan masih berusia kanak-kanak.
"Anak-anak ada yang ngangkut bata, ambil kelapa, kadang dikasih sama tetangga. Kalau saya sehari-hari ngasuh, anak-anak masih pada kecil. Kalau sudah ngasuh, baru kerja. Itu pun kalau ada," katanya. Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Kecamatan Kragilan Endang Mulyadi belum mendapatkan laporan terkait kondisi salah seorang warganya tersebut.  Ia berjanji segera mengecek ke lapangan. Hal itu untuk memastikan bantuan apa yang akan diberikan. "Terus terang saja belum dapat laporan," ujarnya. Menurutnya, jika benar kondisi warganya seperti itu maka pemerintah akan membantu. Oleh sebab itu, pihaknya segera berkoordinasi dengan kepala desa setempat dan TKSK Dinsos untuk menentukan langkah tepat.  "Pastinya saya koordinasi dengan kepala desa. Hasil kroschek itu akan dilaporkan ke Pak Camat. Kalau memang sudah dapat bantuan dari Dinsos, artinya saya juga harus koordinasi dengan TKSK yang ada di kecamatan. Tentu harus dikoordinasikan," tuturnya. Tak Kenal Bangku Sekolah EMISKINAN telah membuat seorang bapak bernama Sarbini (52) harus tinggal di rumah sangat sederhana bersama 13 orang anaknya. Bukan hanya itu, ke-13 putra putrinya tersebut tidak ada satupun yang sempat mengenyam bangku pendidikan. Semua lara yang dirasakannya itu tidak lepas dari jerat ekonomi yang melilitnya. Jangankan untuk memberikan indahnya dunia pendidikan kepada buah hatinya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun ia masih kerap kali kekurangan. Makanan yang kerap disantapnya jauh dari rasa enak atau pun cukup gizi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, ia hanya mengandalkan belas kasihan orang di sekitarnya lewat pekerjaan yang kadang diberikan kepadanya dan juga putra-putranya.
Sarbini menuturkan, sehari-hari ia tidak bisa bekerja. Sebab, selepas istri tercintanya meninggal 5 tahun lalu, dirinya harus menggantikan peran seorang ibu, yakni mengasuh buah hatinya. Sebab, dari ke-13 orang anaknya tersebut, kebanyakan masih usia kanak-kanak. "Anak yang paling besar umurnya 26 tahun, yang paling kecil itu 5 tahun. Yang tiga sudah menikah," ujar Sarbini, saat ditemui di kediamannya di Kampung Palembangan, Desa Dukuh, Kecamatan Kragilan, Senin (31/7/2017). Karena hal itu lah, ia menjadi tidak bisa bekerja seperti orang lain. Akibatnya, penghasilan Sarbini tidak menentu, tidak ada penghasilan tetap. Mereka kerap makan nasi aking dan buah-buahan hasil dari berkebunnya di tanah milik salah satu perusahaan di wilayah Kragilan. "Kehidupan sehari-hari kalau buat makan ada saja rezeki mah. Sudah ada yang ngatur, kadang-kadang anak ada yang nyuruh ngoyos (membersihkan tanaman pengganggu)," katanya. Ia mengatakan, 13 anaknya tersebut tidak ada satupun yang mengenyam pendidikan. Padahal, sekolah tidak jauh dari tempatnya tinggal. Sebenarnya, dahulu Sarbini memiliki 18 orang anak, namun 5 orang lainnya sudah terlebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa, sehingga saat ini hanya tinggal 13 orang. "Ada yang kembar itu meninggal, kurang hafal juga anak ke berapa yang meninggal. Itu enggak ada yang sekolah semuanya, karena enggak punya biaya," ucapnya. Walau tidak sekolah, Sarbini tetap memberikan pendidikan kepada anak-anaknya bermodal dari ilmu yang didapat dari pondok pesantren. Bahkan, ia pun sempat memiliki pesantren dan mengajar di rumahnya dahulu, namun semua itu telah sirna seiring musibah yang didapatnya beberapa tahun lalu. "Rumah bapak dulu roboh pas pembuatan tanggul. Karena biasanya juga dulu itu sering kena banjir, tapi pas pembuatan tanggul airnya datang berbarengan dan rumah bapak ketendang," tuturnya, lirih sambil mengingat peristiwa beberapa tahun lalu itu. Di dalam gubuk berukuran 2 x 1 yang terbuat dari potongan-potongan bambu dan kayu sisa serta beratapkan plastik tersebut, ia bersama anak-anaknya tinggal. Tidak ada barang mewah di rumahnya, selembar tikar menjadi alasnya untuk melepaskan penat. Tidak jauh dari gubuk tersebut, dibangun pula gubuk lainnya yang ukurannya sedikit lebih besar, namun tidak berdinding dan hanya beratapkan terpal. Gubuk tersebut digunakan untuk tempat tidur putra-putranya yang sudah cukup besar. Sedangkan untuk anaknya yang masih kecil, mereka tidur bersama dirinya di gubuk pertama yang berdinding. Konon, tempat yang kini disulap menjadi gubuk tersebut dahulunya adalah kandang kambing. Karena tak ada tempat lain, akhirnya kandang kambing itu lah yang dipakai sebagai tempat tinggal. "Ini rumah juga dibangunnya dari kayu-kayu potongan. Anak saya dapat dari kali, ada kayu hanyut terus dibawa ke sini dipakai untuk nambal. Ya karena enggak ada biaya," katanya. Bukan tidak iba pada anak-anaknya, namun itulah yang mampu diberikan kepada buah hatinya tersebut. Anak-anaknya pun kerap bilang padanya, jika tidur di gubuk tersebut kedinginan, terlebih jika turun hujan dan angin kencang, tempat itu menjadi menyeramkan. "Takut juga kalau ada angin kencang," ujarnya. Dirinya selalu berharap ke depan kehidupannya bisa lebih baik. Ketika jatuh sakit, dirinya pun kerap merasa kebingungan, sebab tidak ada uang untuk berobat "Dari dinsos biasanya ada bantuan Rp 600.000-Rp 700.000. Tapi sekarang belum ada. Untuk BPJS juga baru kemarin dapat, dan baru 7 orang yang dapat," tuturnya. (Dindin Hasanudin/KB)***

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah