Banten Lama, Potret Kejayaan Masa Lampau

- 24 Agustus 2018, 15:45 WIB
Situs-Banten-Lama
Situs-Banten-Lama

BANTEN Lama bukan sekadar objek wisata peninggalan sejarah. Namun, di situs purbakala tersebut, wisatawan bisa menyaksikan dan belajar tentang bagaimana heroiknya Sultan Banten menentang Kolonial Belanda pada abad XVI hingga abad XIX. Akibat perseteruan yang memuncak, akhirnya Keraton Surosowan dihancurkan Belanda di bawah pimpinan Gubernur, Jenderal Daendels. Kisah perseteruan Kesultanan Banten dengan Kompeni, Belanda dimulai sejak armada kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman mendarat di Banten pada 1596. Karena, kedatangan Belanda ingin menguasai dan monopoli perdagangan rempah-rempah, maka Sultan Banten menolak bekerja sama. Akibat melakukan perompakan di Teluk Banten, Cornelis de Houtman bersama rombongannya sempat ditahan hampir sebulan lamanya. Kemudian, dilepas kembali setelah membayar denda sebesar 45.000 gulden kepada Sultan Banten. Baru setelah ekspedisi kedua ke Banten dipimpin Jacob van Neck yang dibantu van Waerwijk dan van Heemskerck pada 28 Oktober 1598, Belanda berhasil mendapatkan rempah-rempah, untuk dibawa pulang dan dijual di Eropa. Dari daerah tersebut, sejarah mencatat Republik Indonesia dijajah Belanda selama tiga setengah abad lamanya. Sejarah juga mencatat dari 21 Sultan Banten yang memerintah, di antaranya memiliki kisah heroik menentang Kompeni di Banten. Namun, berkat tipu daya penjajah berkulit putih tersebut dengan cara Devide et Empera, maka Kesultanan Banten juga runtuh pada 1813.
Situs Banten Lama.* Sultan Ageng Tirtayasa  Abul Fathi Abdul Fatah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa (1640-1651) termasuk salah satu Sultan Banten yang gigih menentang VOC, asosiasi dagang Belanda yang datang ke Banten. Namun, berkat kepandaian diplomasi bangsa kulit putih dengan para penguasa di nusantara, akhirnya pendatang dari daratan Eropa tersebut, mampu menguasai jual-beli rempah-rempah di nusantara. Sultan Ageng Tirtayasa sebagai musuh besar Kompeni pada masa itu berhasil juga dihancurkan lewat putra mahkotanya Sultan Haji. Belanda membantu Sultan Haji naik takhta dengan menggunakan segala tipu daya dan kekuatan militer. Akibatnya, terjadi perang saudara antara ayah dengan anak. Kisah Sultan Muhammad Syifa Zainul Arifin yang memerintah dari 1690 sampai dengan 1.733 juga tak kalah menarik. Sultan ke-10 ini, dalam melaksanakan pemerintahannya selalu dirongrong oleh permaesurinya, Ratu Syarifah Fatimah. Ternyata, wanita keturunan Arab yang cantik jelita tersebut, adalah mata-mata Kompeni yang sengaja diciptakan Belanda untuk menghancurkan Kesultanan Banten dari dalam. Sultan Muhammad Syafiudin sebagai Sultan Banten ke-20 yang ditangkap Kompeni, lalu diasingkan ke Surabaya merupakan akhir dari perlawanan Kesultanan Banten terhadap Belanda. Sultan yang gagah berani tersebut, tak gentar diultimatum, agar mau bekerja sama membangun pangkalan militer di Ujung Kulon dan Jalan Pos Anyer-Panarukan sepanjang 1.000 kilometer. Saat Philip Pieter Du Puy, perwira militer yang diutus Gubernur Jenderal Daendels ke Keraton Surosowan untuk memberi peringatan, justru utusan tersebut, dibunuh di depan istana dan kepalanya dipenggal oleh Mangkubumi Wargadiraja. Mendengar laporan utusan yang dikirim Daendels ke Surosowan sambil membawa kepala perwira militer yang dipenggal, Daendels marah dan hari itu juga Keraton Surosowan dibumihanguskan. Rupanya tanpa diketahui musuh, Daendels bersama kekuatan militernya menunggu di perbatasan. Begitu mendengar utusannya gagal menggertak Sultan Syafiudin, penyerangan juga langsung dilaksanakan pada hari itu juga. Kisah-kisah patriotisme seperti ini patut menjadi suri teladan bagi generasi muda dan situs peninggalan purbakala Banten Lama harus dipelihara dengan baik, agar menjadi bahan renungan para wisatawan yang berkunjung ke Banten. (Rizki Putri)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah