Miliki Potensi Positif untuk Ekonomi, TII Sebut Banyak Catatan Kritis RUU Ciptaker Harus Dibahas

- 23 April 2020, 16:00 WIB
Adinda Tenriangke Muchtar
Adinda Tenriangke Muchtar

TANGERANG, (KB).- The Indonesian Institute (TII) Center for Public Policy Research menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) memiliki potensi positif untuk ekonomi. Namun, TII menyebut banyak catatan kritis yang harus dibahas sebelum meloloskan RUU Ciptaker.

Direktur Eksekutif TII, Adinda Tenriangke Muchtar mengatakan, RUU Ciptaker sendiri sejak awal memang tidak lepas dari kebutuhan untuk memenuhi target pemerintah, dalam meningkatkan investasi dan mendukung kemudahan berusaha di Indonesia.

Salah satu permasalahan yang menghambat investasi dan kemudahan berusaha adalah regulasi yang gemuk dan tumpang tindih, sehingga menambah beban biaya dan waktu, serta lebih jauh mempersulit upaya pembukaan kesempatan lapangan kerja yang lebih luas.

“Selain itu, pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel juga ikut menghambat investasi di Indonesia dan mempengaruhi daya saing Indonesia,” katanya kepada awak media di Tangerang, Rabu (22/4/2020).

Dalam studi kualitatif awal TII mengenai RUU Cipta Kerja ini, tercatat bahwa data pertumbuhan ekonomi selama lima tahun terakhir, menunjukkan Indonesia memasuki kecepatan tumbuh 5 persen per tahun. Besaran ini memang sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua kelompok negara-negara G20.

“Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah,” katanya.

Perhitungan kasar menunjukkan, untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 - 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen. Sementara, untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit).

“Namun, faktanya saat ini pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019, tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun. Salah satu penyebab tersendatnya pertumbuhan investasi tidak bisa bergerak naik adalah indikator daya saing Indonesia,” jelas Adinda.

Global Competitiveness Report/GCR 2019) besutan World Economic Forum (WEF) mencatat, peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. Prosedur perizinan di Indonesia dinilai berbelit-belit. Hal ini salah satunya tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103.

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x