Swab PCR Bisnis Besar, Keuntungannya Ditaksir Rp 50 Triliun, Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Ungkap Ini

- 21 Agustus 2021, 15:55 WIB
Said Didu ungkap bisnis swab PCR hingga untung Rp 50 triliun.
Said Didu ungkap bisnis swab PCR hingga untung Rp 50 triliun. /Tangkapan layar Youtube Karni Ilyas Club

KABAR BANTEN-Di balik kebijakan wajib tes swab PCR (polymerase chain reaction), ternyata terdapat sejumlah pihak yang ditenggarai mengambil keuntungan besar menjadi pebisnis dadakan di tengah situasi pandemi Covid-19 di Indonesia.

Pihak yang mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan tes PCR tersebut, adalah bisnis besar swab PCR yang keuntungan ditaksir mencapai Rp30 sampai Rp50 triliun.

Dari pengadaan swab PCR tersebut, hanya 10 persen dilakukan pemerintah melalui Badan Usaha Milik Negara. Sementara, selebihnya sekitar 80 persen dikendalikan swasta yang jumlahnya tidak lebih dari 10 perusahaan.

Baca Juga: Jokowi Diminta Subsidi Harga PCR, Netizen : Harganya Sama dengan Pendapatan Sebulan

“Tidak bisa disangkal pandemi ini melahirkan pebisnis baru, karena ini berbisnis berkaitan dengan nyawa. Jadi bisnis terpaksa,” kata Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, sebagaimana dikuti dari Youtbe Karni Ilyas Club.

Said Didu mengulas bagaimana pertama kali Alat Pelindung Diri (PD) mahal sekali, dan banyak orang kaya raya saat itu. Begitu juga dengan hand sanitizer, termasuk masker yang harganya mahal, sampai kemudian terjadi persaingan sehat dan harga kembali normal.

“Kemudian muncul vaksin. Ada dua, yang tidak berbayar dan berbayar. Vaksin tidak berbayar pengadaan pemerintah. Namun meski pengadaannya pemrintah, bukan berarti tidak muncul pebisnis perantara antara pemilik vaksin dengan BUMN,” katanya.

Sama halnya dnegan denegan impor beras,bisa saja ada penghubung pemilik beras dengan Bulog. Begitu juga dalam pengadaan vaksin,bisa saja ada penghubung antara pemilik vaksin dengan Biofarma.

“Kemudian ada vaksin berbayar, ini ruangnya bisa lebih besar lagi. Karena ada dua ruang yang bsia terjadi, pengadaan vaksin dan pembayaran vaksin kepada pembeli,” katanya.

Namun Said Didu bersykur pemerintah sudah mengatakan tetap gratis, hanya perusahaan yang membayar, sehingga lebih mudah dikontrol.”Kalau dulu tidak dikontrol, dibiarkan bebas, siapa yang paling kuat dia yang paling cepet dapat,” katanya.

Kemudian swab, pernah mengalami betapa mahalnya. Terakhir PCR, pernah Rp3,5 juta di daerah-daerah hingga turun menjadi Rp1,5 juta. Kemudian keluar surat edaran Menkes, akhirnya menjadi Rp 900 ribu.

Dia mengungkapkan, PCR ini adalah bisnis dadakan dan pelakunya belum ada. Sementara, pengadaannya dilakukan pemerintah.

“Biasanya yang dapat ini, orang dekat dengan kekuasaan. Karena dadakan. Karena tidak mungkin orang yang jauh dari kekausan bisa tahu jenis apa, berapa yang dipesan, sehingga pintu-pintu lain terutup,” ucapnya.

Oleh karena itu, tidak tertutup kemungkinan terjadi monopoli, seperti PCR. Selama tidak menggunakan regulasi untuk memaksa rakyat menggunakan PCR, menurutnya tidak ada masalah karena terjadi persaingan bebas.

Namun yang menjadi masalah, adalah munculnya aturan diwajibkannya rakyat untuk melakukan PCR dan pada sat itu akan terjadi monopoli yang dekat dengan kekuasan. “Karena mewajibakan, bukan persaingan bebas,” ucapnya.

Dia mencontohkan persaingan bebas itu mewajibakan pakai helm, karena helm bisa diproduksi banyak orang. Namun diwajibkan pakai PCR, berbeda dengan diwajibkan pakai helm.

“Sehingga menghadapi seperti ini harus dijaga, jangan sampai peraturan ini yang mewajibkan rakyat, untuk mengikuti sesuatu ndipakai pebisnis untuk mengunci mendapatkan keuntungan,” katanya.

Said Didu mengatakan, surat edaran Menkes  bahwa harga itu sudah ditetapkan pre audit BPK dan BPKP. Namun masalahanya lagi, BPK dan BPKP biasanya menggunakan usulan asiosiasi.

“Nah kita tahu ini belum ada asosiasinya. Berarti, adalah pemilik-pemilik hak impor yang mengajukan harga ke pemerintah,” kata Said Didu buka-bukaan.

Setelah diajukana ke pemerintah, pemeirntah memberikan kembali keapda BPK dan BPKP  untuk kemudian menetapkan harga.

Menurutnya, tidak salah kalaau Menkes menyatakan menetapkan hasil audit BPK dan BPKP. “Problemnya, apakah BPK dan BPKP tahu harganya sekian di luar negeri  ,” katanya bertanya.

Akhirnya, muncul harga PCR di India senilai Rp90 ribu. Mwski demikian, kita tidak bisa membandingkan karena tidak tahu apakah harga itu pakai subsisdi atau seperti apa.

“Jadi sebenarnya ini yang paling ruang permaiananya kecil lewat BUMN. Karene nanti diaudit, sekarang kan baru preaudit,” katanya.

Sementara, kata dia, semua tahu bawha PCR ini tidak ampai 10 perseen yang ditangani bumn. Sedangkan sisanya yang hampir 80 persen, dikendalikan swasta.  

“Bayangkan, ini bisnis besar sekali. Kalau pemerintah terus mewajiban PCR bahwa bisnis ini untung bisa Rp 30-Rp 50 triliun,” ucapnya.

Baca Juga: Tarif Tes PCR di Bandara Soetta Tangerang Turun, Segini Nilainya

Said Didu mencontohkan temannya yang tinggal di Makassar sering jalan. Sepasang suami istri tersbeut, kata dia, sudah 50 kali PCR dengan ahrga Rp1,5 juta. Lalu bayangkan berpapa yang diambil dari keluarga itu.

 “Semakin rakyat bergerak, semakin bisnis sini membesar dan memberikan keuntungan kepdada sesorang. Jadi jangan heran kalau ada yang mengatakan, pemilik PCR pertama dari keuntungannya sudah membeli pesawat pribadi,” ucapnya.***

Editor: Yadi Jayasantika

Sumber: YouTube Karni Ilyas Club


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah