Sepak Terjang Multatuli Terkenal Karena Novel, Nyimas Gamparan Angkat Senjata Melawan Kolonial

- 16 Februari 2021, 18:49 WIB
Museum Multatuli di Rangkasbitung Lebak
Museum Multatuli di Rangkasbitung Lebak /Kabar Banten/Purnama Irawan

KABAR BANTEN - Selama masa pandemi Covid-19 Museum Multatuli yang berada di jalan Alun-alun Timur Nomor 8, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak tidak menerima kunjungan alias tutup.

Bagi pengunjung yang ingin mengunjungi Museum Multatuli dapat mengaksesnya melalui platform media sosial.

"Saat ini kita tidak menerima kunjungan karena masih Covid-19. Kalau saat normal dulu, banyak orang datang berkunjung ke Museum Multatuli," kata Pemandu Museum Multatuli Siti Nurhasanah kepada KabarBanten.com, Selasa, 16 Februari 2021.

Menurutnya, Museum Multatuli dikunjungi, wisatawan dari berbagai daerah dan negara. Paling banyak dari Jabodetabek dan  dari luar negeri, Belanda, Perancis, serta dari Jerman, Jepang.

Baca Juga: Destinasi Wisata Kuliner yang Enak dan Hemat di Kota Jakarta

"Kalau dari luar negeri, datang ke sini banyak bertanya soal sepak terjang Multatuli atau Eduard Douwes Dekker saat menjadi Asisten Residece di Kabupaten Lebak," katanya.

Asisten Residen yaitu pegawai negeri tertinggi di suatu afdeling pada masa penjajahan Belanda. Eduard Douwes Dekker yang menggunakan nama samaran Multatuli (Aku Sudah Banyak Menderita) banyak dicari sepak terjangnya karena telah berani menulis novel satirisnya berjudul Max Havelaar   yang berisi cerita kekejaman Belanda terhadap orang - orang pribumi di Hindia Belanda.

Eduard Douwes Dekker lahir pada tanggal 2 Maret 1820 di Amsterdam, Belanda dan meningggal di Ingelheim.am Rhein, Jerman pada 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun.

Baca Juga: Ingat Wisata Negeri di Atas Awan, Jangan Lupa Mampir di Kebun Stroberi Citorek Lebak, Buahnya Segede Melon

"Ia bekerja zaman kolonial tetapi ia sendiri menulis novel tentang anti kolonialisme. Jadi di satu sisi bekerja di bawah kolonialisme di sisi lain ia tidak terima dengan penindasan terhadap warga pribumi, yang saat itu dilakukan oleh bupati setempat," katanya.

Novel Max Havelaar karya Multatuli dirilis tahun 1860 (bahasa hindia belanda) dan pada tahun 1972 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

"Selain sepak terjang Multatuli, di Museum Multatuli ini menceritakan benah merah pemberontakan kepada pihak kolonial. Pemberontakan dilakukan oleh Haji Wakia, Pemberontakan Nyimas Gamparan tahun 1830 dan Pemberontakan Petani Banten tahun 1888 yang dikenal geger Cilegon," katanya.

Baca Juga: Menilik Surga di Ujung Banten, Pulau Cantik Ini Wajib Kamu Kunjungi

Siti mengungkapakan, pemberontakan Nyimas Gamparan terhadap kolonial terjadi pada tahun 1830. Dilatarbelakngi sistem tanam paksa yang terjadi di Lebak. 

Pada saat itu mereka para wanita yang dipimpin oleh Nyimas Gamparan ini melakukan pemberontakan kepada Kolonial menolak sistem tanam paksa. 

Kemudian pihak Kolonial merasa ini bukan pemberontakan biasa ni.

"Nyimas Gamparan ini bukan wanita yang bisa diremehkan, dan akhirmya pihak Kolonial meminta bantuan  kepada seorang Demang, pada sat itu bertugas di Jasinga, Bogor, namanya Raden Tumenggung Adipati Kartanegara dan akhirnya Nyimas Gamparan berhasil ditangkap," katanya.

Baca Juga: Lebak Unique, Inilah 10 Tempat Wisata di Kabupaten Lebak yang Wajib Dikunjungi

Selanjutnya, aksi pemberontakan terjadi pada tahun 1888 oleh petani Banten. Dilatarbelakangi pasca meletusnya Gunung Krakatau, kolonial menaikan pajak.

"Selain karena masalah ekonomi, pemberontakan mereka karena berkeinginan kembali mendirikan Kesultanan Banten yang sebelummya sempat porak poranda oleh Kolonial. Akhirnya dari kejadian pemberontakan petani Banten itu, banyak terjadi pertumpahan darah, banyak orang ditangkap dan dihukum gantung," katanya.

Pemberontakan petani Banten saat itu dikenal dengan Geger Cilegon.

"Jadi bisa disimpulkan bahwa di kita juga banyak pejuang lokal yang melawan kolonial. Hanya saja memang namanya belum terangkat," katanya.

Baca Juga: Kembangkan Destinasi Wisata Berkelas Internasional, ‎ITI Lirik Geopark Bayah Dome Kabupaten Lebak

Lebih lanjut Siti kembali menjelaskan, terkait novel karya Multatuli  yang berisi cerita kekejaman Belanda terhadap pribumi telah mampu membangkitkan rasa nasionalisme.

"Terjadi pemberontakan dimana - mana melawan kekejaman Kolonialisme," katanya.

Ia mengatakan, sepak terjang Multatuli inilah yang sampai saat ini masih banyak dicari banyak orang. Mereka ingin mengetahui lebih jelas dan kebenaran sejarah Multatuli.

Baca Juga: Drama Korea Oh My Ghost dan Come Back Mister Tayang di NET TV

"Bisa disimpulkan, kalau wisatawan dari Jabodetabek dan luar negeri lebih banyak mencari tahu seputar multatuli. Sedangkan kalau wisatawan lokal lebih banyak bertanya soal pahlawan lokal," katanya.

Banyak diantara mereka, khususnya pelajar yang sebelum masuk Museum tidak mengetahui adanya pahlawan lokal yang berjuang melawan Kolonialisme.

"Namun setelah masuk Museum mereka jadi banyak mengetahui bahwa di kita juga ada pahlawan lokal. Yang gagah berani melawan Kolonial," katanya.***

Editor: Maksuni Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x