Kasepuhan Cisungsang, Pemelihara Ritual dan Adat Istiadat yang Sarat Dengan Kearifan Lokal

- 22 Mei 2024, 16:02 WIB
Leuit, bangunan tradisional Kasepuhan Cisungsang yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai hasil panen dan akan diarak dalam acara Seren Taun
Leuit, bangunan tradisional Kasepuhan Cisungsang yang digunakan untuk menyimpan padi sebagai hasil panen dan akan diarak dalam acara Seren Taun /Google /Campa Tour


KABAR BANTEN – Kasepuhan Cisungsang sampai saat ini masih memelihara religi atau kepercayaan leluhur masyarakatnya.

Hal itu termanifestasikan dalam adat istiadat dan kehidupan mereka. Misalnya berkaitan dengan aturan adat, aktivitas ekonomi, peribadatan sesuai keyakinan yang dianutnya.

Kasepuhan Cisungsang terletak di kaki Gunung Halimun, tepatnya masuk dalam wilayah Desa Cisungsang, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Dari Kota Serang, yang merupakan Ibu Kota Provinsi Banten, menuju Desa Cisungsang harus menempuh jarak sepanjang 200 km, setara dengan 5 jam perjalanan.

Lokasinya tidak sulit dijangkau karena akses sarana dan alat transportasinya sudah tersedia dengan kondisi yang relatif baik.

Baca Juga: 5 Wisata Alam Terpopuler di Banten yang Eksotis Pesonanya Tak Terlupakan Ada Gunung dan Pantai Sampai Hutan

Seperti dikutip Kabar Banten dari Youtube Mang Dhepi Channel, berikut Kisah Kasepuhan Cisungsang, yang berada di kaki Gunung Halimun Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Cisungsang, jika ditelusuri artinya, kata tersebut dibentuk oleh dua kata dalam bahasa Sunda, yakni ci dan sungsang.

Kata ci merupakan singkatan dari cai yang berarti air, sedangkan sungsang berarti terbalik atau berlawanan dengan keadaan yang seharusnya.

Dengan demikian, nama Cisungsang dapat diartikan air yang mengalir kembali ke hulu.

Sementara itu dalam Kamus Bahasa Sunda Lama, sungsang merupakan nama sejenis tumbuhan yang berbau dan agak beracun, menyerupai tanaman anggrek.

Dalam tradisi Sunda, merupakan satu kelaziman menamai suatu tempat dengan mengambil nama sungai atau tanaman yang banyak tumbuh di sekitar tempat tersebut.

Kini, Cisungsang merupakan nama sungai, desa, juga kasepuhan. Dahulu, tanah Cisungsang dipandang sebagai tanah titipan dari Prabu Walangsungsang. Dia adalah Raja Pajajaran yang telah mengalami situasi Ilang Galuh Pajajaran. Dia dipercaya sebagai raja yang tidak mempunyai istana.

Kesederhanaannya digambarkan dengan hidup beratap hateup salak dan bertiang cagak agar mudah menempatkan kayu di atasnya.

Salah satu keturunannya adalah Mbah Rukman, yang diyakini sebagai orang pertama yang membuka dan membangun Kampung Cisungsang, yang kini telah meluas menjadi sebuah desa, yakni Desa Cisungsang.

Tidak kurang dari 9 kampung ada di wilayah Desa Cisungsang, di antaranya Kampung Cipayung, Lembur Gede, Pasir Kapundang, Babakan, Sela Kopi, Pasir Pilar, Gunung Bongkok, Suka Mulya, dan Bojong.

Karakter khas Desa Cisungsang berupa kombinasi antara kampung dan sawah pada daerah lembah yang subur.

Sebelum tahun 1960-an, sebagian wilayah Desa Cisungsang diwarnai hamparan huma ‘ladang atau lahan kering yang ditanami padi’.

Karena hasil ngahuma dianggap sedikit, lahan persawahan pun dibuka agar dapat memperoleh hasil padi yang maksimal.
Ladang ‘huma’ ditinggalkan dan beralih fungsi menjadi kebun yang ditanami buah-buahan, pohon kayu albasiah, dan cengkeh.

Sekarang, Cisungsang sudah menjadi permukiman yang cukup padat, dengan deretan rumah yang tampak berhimpitan satu dan lainnya.

Umumnya, rumah-rumah dibangun secara permanen, berdinding bata dan beratap genting.

Namun, masih ada sejumlah rumah panggung, yang berbahan baku kayu dan bambu serta beratap nipah.

Konstruksi rumah seperti itu, di antaranya tampak di kawasan yang disebut Padepokan Pasir Koja.

Padepokan Pasir Koja tepat berada di pintu gerbang masuk Desa Cisungsang, dan menempati tanah yang cukup luas di atas lereng perbukitan.

Di dalam area tersebut terdapat rumah ketua adat Kasepuhan Cisungsang yang cukup besar.

Rumah tersebut menjadi tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan adat. Di rumah itu pula, ketua adat menerima tamu dan warga komunitas kasepuhan yang memerlukan bantuannya.

Bahkan, tak sedikit dari para tamu yang datang ke sana, mendapat kesempatan untuk menginap di tempat tersebut.

Tidak jauh dari rumah ketua adat, berdiri beberapa rumah panggung berukuran kecil. Penghuninya adalah para pemangku adat yang bekerja membantu kelancaran tugas ketua adat.

Di sana juga terdapat lahan persawahan, leuit ‘lumbung padi tradisional’ milik kasepuhan, juga saung lisung ‘tempat menumbuk padi’.

Padepokan Pasir Koja merupakan pusat Kasepuhan Cisungsang. Dari sanalah ketua adat mewarisi dan menjaga tanah titipan karuhun, menjalankan amanat adat, dan melindungi masyarakat dari serangan kebudayaan baru yang sulit dibendung.

Selain itu, dari Padepokan Pasir Koja pula dia memimpin masyarakat adat Kasepuhan Cisungsang, sesuai aturan adat yang menata hubungan sosial antarsesama warga kasepuhan.

Aturan tersebut terkristalkan dalam lembaga adat Kasepuhan Cisungsang.
Struktur lembaga adat Kasepuhan Cisungsang diduduki para pejabat adat yang terdiri atas abah (ketua adat), penasehat, dukun, paraji, panei, bengkong, amil, dan rendangan.

Pimpinan tertinggi dalam struktur kasepuhan itu adalah abah. Abah adalah sebuah jabatan yang dipegang oleh keturunan dari cikal bakal pembuka Kampung Cisungsang, yakni Mbah Rukman.

Keturunan Mbah Rukman adalah orang yang memiliki hak penuh untuk memimpin Kasepuhan Cisungsang atau menjadi ketua adat.

Hanya anak laki-laki yang akan mewarisi tampuk kepemimpinan, yang penunjukannya terjadi melalui proses wangsit ‘petunjuk mimpi’ dari leluhur.

Sebagai ketua adat, abah memiliki keahlian dalam bidang pertanian, baik teknis maupun simbolis.

Selain itu, dia juga bertindak sebagai pemberi doa dan restu bagi segala kegiatan yang akan dilaksakanan warga Kasepuhan Cisungsang. Jika abah tidak merestui, warga tidak akan berani melanggarnya.

Pelanggaran terhadap larangan dari abah dipercaya akan mendatangkan petaka, seperti sakit, gagal dalam aktivitas ekonomi, bahkan hingga meninggal.

Jika pelanggaran terlanjur dilakukan, ada ritual khusus yang dapat mencegah pelanggarnya tertimpa musibah.

Ritual itu dinamakan lukun, yaitu semacam pengakuan dosa yang dilakukan dengan melaksanakan ritual tertentu disertai doa-doa.

Baca Juga: Ini 3 Pesona Wisata Alam Yogyakarta yang Populer dan Indah, Istimewa Kecantikannya Bikin Candu

Itulah Kasepuhan Cisungsang yang merupakan masyarakat adat dan menjadi pemelihara ritual warisan leluhur dalam kehidupan sehari-hari. ***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah