Sejarah Kerajaan Banten Versi Lengkap dari Awal Berdiri Kesultanan, Kisah Raja-raja Hingga Bangunan Budaya

- 15 Juni 2023, 17:28 WIB
Ilustrasi terkait Sejarah Banten, dahulu Banten dikenal dengan sebutan Bantam
Ilustrasi terkait Sejarah Banten, dahulu Banten dikenal dengan sebutan Bantam /Tangkapan layar YouTube Griya Kisah



Kabar Banten - Pada awal abad Masehi, Banten dikenal sebagai daerah dengan jalur perdagangan Internasional yang memiliki hubungan dengan negara-negara lain.

Saat itu, Banten menjadi salah satu target dakwah Islam pada jalur perniagaan. Akhirnya, Islam mulai masuk di pelabuhan pada abad ke-16 yang saat itu berada di bawah kekuasaaan Raja Sunda yang beragama Hindu.

Baca Juga: 7 Kuliner Khas Banten yang Bikin Ngiler Cocok Untuk Dijadikan Hidangan Idul Adha

Ajaran Islam disebarkan melalui salah seorang tokoh pemimpin Islam yang berasal dari Cirebon yaitu Syaikh Syarif Hidayatullah atau biasa dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Setelah Sunan Gunung Jati, penyebaran Islam dilakukan secara perlahan dilakukan oleh Maulana Hasanudin yang merupakan putera Sunan Gunung Jati.

Dominasi Maulana Hasanudin sangat terasa dalam penyebaran Islam di Banten, sebab beliau merupakan seorang sultan pertama yang berhasil menjadi penguasa di ruang kerajaan Banten.

Beliau juga dianugerahi gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin yang diberikan oleh kakeknya sendiri, yaitu Prabu Surasowan yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Banten.

Setelah Prabu Surasowan wafat, roda pemerintahaan Banten diwariskan kepada anaknya sendiri, yaitu Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang pada saat itu menganut agama Hindu.

Pada pemerintahan Arya Surajaya, Syaikh Syarif Hidayatullah mendapat panggilan dari pemerintah Bupati Cirebon karena Pangeran Cakrabuana wafat.

Beliau kembali ke tanah Cirebon dan langsung diangkat sebagai Bupati Cirebon sekaligus menjadi Susuhanan Jati.

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal YouTube Menara Pembelajar, berikut sejarah Kerajaan Banten.

Pada awal abad ke-16, daerah Pajajaran yang beragama Hindu, memiliki pusat kerajaan yang berlokasi di Pakuan atau sekarang bernama Bogor.

Kerajaan Pajajaran memiliki bandar-bandar penting seperti Banten, Sunda Kelapa, atau Jakarta dan Cirebon.

Kerajaan Pajajaran telah mengadakan kerjasama dengan Portugis. Oleh karena itu Portugis diizinkan mendirikan kantor dagang dan benteng pertahanan di Sunda Kelapa. Untuk membendung pengaruh Portugis di Pajajaran, Sultan Trenggono dari Demak memerintahkan Fatahillah selaku panglima perang Demak, untuk menaklukkan bandar-bandar.

Kemudian pada tahun 1526, armada Demak berhasil menguasai Banten, dan pasukan Fatahillah juga berhasil merebut Pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni tahun 1527.

Sejak saat itu nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta atau Jakarta yang berarti kota kemenangan, dan tanggal itu tanggal 22 Juni kemudian dijadikan hari jadi kota Jakarta.

Dalam waktu singkat seluruh pantai utara Jawa Barat, dapat dikuasai Fatahillah.
Sehingga agama Islam lambat laun tersebar di Jawa Barat.

 

Fatahillah kemudian menjadi wali atau ulama besar dengan gelar Sunan Gunung Jati dan berkedudukan di Cirebon.

pada tahun 1552, putra Fatahillah yang bernama Hasanuddin diangkat menjadi penguasa Banten, putranya yang lain Pasareyan yang diangkat menjadi penguasa di Cirebon.

Fatahillah sendiri mendirikan pusat kegiatan keagamaan di Gunung Jati Cirebon, sampai beliau wafat pada tahun 1568. Jadi pada awalnya, Kerajaan Banten merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Demak.

Syiar Islam ke Banten dan pendirian Kesultanan Banten pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syaikh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati bersama dengan Pangeran Walangsungsang, sempat melakukan syiar Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten.

Syarif Hidayatullah tafsirnya menjelaskan bahwa arti jihad atau perang tidak hanya dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja, namun juga perang melawan hawa nafsu.

Penjelasan inilah yang kemudian menarik hati masyarakat Wahanten dan Pucuk Umun atau penguasa Wahanten Pasisir.

Pada masa itu di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan atau anak dari Prabu Jaya Dewata atau Siliwangi yang menjadi Pucuk Umun atau penguasa untuk wilayah Wahanten Pasisir.

Dan Arya Suranggana yang menjadi Pucuk Umun untuk wilayah Wahanten Girang di wilayah Wahanten Pasisir.

Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawunganten atau putri dari Sang Surosowan, lalu keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua orang anak yaitu Ratu Wi Naon lahir Pada 1477 Masehi dan Pangeran Maulana Hasanudin atau Pangeran Sabakingking, nama pemberian dari kakeknya Sang Surosowan yang lahir pada 1478 Masehi.

Sang Surosowan walaupun tidak memeluk agama Islam, namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke wilayahnya.

Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke Kesultanan Cirebon untuk menerima tanggungjawab sebagai penguasa Kesultanan Cirebon pada 1479, setelah sebelumnya menghadiri rapat para wali di Tuban.

Rapat yang menghasilkan keputusan menjadikan Syarif Hidayatullah sebagai Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin dari para wali penguasaan Banten.

Pada tahun 1522 Maulana Hasanudin membangun Kompleks istana yang diberi nama Keraton Surosowan, pada masa tersebut dia juga membangun alun-alun pasar Masjid Agung serta masjid di kawasan Pacitan.

Sementara yang menjadi Pucuk Umun atau penguasa di Wahanten Pasisir pasisir adalah Arya Surajaya atau putra dari Sang Surosowan dan Paman dari Maulana Hasanudin, setelah meninggalnya Sang Surosowan.

Pada 1519 Masehi, Arya Surajaya diperkirakan masih memegang pemerintahan Wahanten Pasisir hingga tahun 1526 Masehi. Dan pada tahun 1524 Masehi Sunan Gunung Jati bersama Pasukan gabungan dari Kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mendarat di pelabuhan Banten.

Pada masa ini tidak ada Pernyataan yang menyatakan bahwa Wahanten Pasisir menghalangi kedatangan Pasukan gabungan Sunan Gunung Jati, sehingga pasukan difokuskan untuk merebut Wahanten Girang.

Namun dalam cerita sejarah Banten dikatakan ketika Pasukan gabungan Kesultanan Cirebon dan kesultanan Demak mencapai Wahanten Girang, Ki Jongjoo atau seorang kepala prajurit penting, dengan sukarela memihak kepada Maulana Hasanudin.

 

Di dalam sumber-sumber lisan dan tradisional diceritakan bahwa Pucuk Umun atau penguasa Wahanten girang, yang terusik dengan banyaknya aktivitas dakwah Maulana Hasanuddin, berhasil menarik simpati masyarakat termasuk Masyarakat pedalaman Wahanten yang merupakan wilayah kekuasaan Wahanten Girang.

Sehingga Pucuk Umun Arya Suranggana meminta Maulana Hasanudin Untuk menghentikan aktifitas dakwahnya dan menantangnya sabung ayam atau adu ayam, dengan syarat jika sabung ayam di menangkan Ariya Suranggana maka Maulana Hasanudin harus menghentikan aktifitas dakwahnya.

Sabung ayam pun dimenangkan oleh Maulana Hasanuddin dan dia berhak melanjutkan aktifitas dakwahnya.

Arya Suranggana dan masyarakat yang menolak untuk masuk Islam kemudian memilih masuk hutan di wilayah Selatan.

Sepeninggal Arya Suranggana Kompleks Banten Girang digunakan sebagai pesanggrahan bagi para penguasa Islam, paling tidak sampai dipenghujung abad ke-17.

Banten sebagai kesultanan

Kesultanan Banten menjadi Kesultanan yang mandiri pada tahun 1552, setelah Maulana Hasanudin ditasbihkan oleh ayahnya yaitu Sunan Gunung Jati sebagai Sultan di Banten.

Maulana Hasanuddin juga melanjutkan perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Dia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan tersebut.

Selain itu, dia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malang Kabau atau Minangkabau, kerajaan Indrapura, Sultan Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.

Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanudin naik tahta pada tahun 1570, melanjutkan ekspansi Banten Ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran.

Pada tahun 1579 kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di Nusantara.

Namun usahanya gagal karena ia meninggal dalam penaklukan tersebut. Pada masa Pangeran Ratu, anak dari Maulana Muhammad Ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar Sultan.

Pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu AL Mafakhir Mahmud Abdul Kadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu.

Salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada raja Inggris James Pertama tahun 1605 dan tahun 1620 mengirimkan surat kepada Raja Charles Pertama.

Terjadi perang saudara sekitar tahun 1680, muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten akibat perebutan kekuasaan dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji.

Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.

Sementara dalam memperkuat posisinya Sultan Haji atau Sultan Abu Nasir Abdul Qohar juga sempat mengirimkan dua orang utusannya menemui Raja Inggris di London tahun 1682, untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan.

Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur di istananya dan pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada tanggal 28 Desember tahun 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji bersama VOC.

Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makassar, mundur ke arah Selatan pedalaman Sunda. Namun pada tanggal 14 Maret tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap kemudian ditahan di Batavia, sementara VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf.

Pada tanggal 5 Mei tahun 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat Letnan beserta pasukan Balinya bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Yohanes Maurits Van Hauffeul untuk menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur.

Dimana pada tanggal 14 Desember tahun 1683, mereka berhasil menahan Syekh Yusuf sementara, setelah terdesak akhirnya Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri.

Kemudian Untung Surapati disuruh oleh Kapten Johan Ruiz untuk menjemput Pangeran Purbaya dan dalam perjalanan membawa Pangeran Purbaya ke Batavia. Disana mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh William Covoler, namun terjadi pertikaian diantara mereka.


 Puncaknya pada tanggal 28 Januari tahun 1684 pos pasukan William Covoler dihancurkan.

Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC, sedangkan Pangeran Purbaya sendiri baru pada tanggal 7 Februari tahun 1684 sampai di Batavia.

Raja-raja Kerajaan Banten

1. Sultan Hasanuddin
Ketika terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Demak, daerah Banten dan Cirebon berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Demak.

Akhirnya Banten dan Cirebon menjadi kerajaan yang berdaulat lepas dari pengaruh Demak.

Sultan Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama, beliau memerintah Banten selama 18 tahun yaitu tahun 1552 hingga 1570 Masehi.

Dalam pemerintahannya, Banten berhasil menguasai Lampung atau Sumatera yang banyak menghasilkan rempah-rempah dan Selat Sunda yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan.

Selama pemerintahannya, Sultan Hasanuddin berhasil membangun pelabuhan Banten menjadi pelabuhan yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai bangsa, para pedagang dari Persia, Gujarat dan Venisia berusaha menghindari Selat Malaka yang dikuasai Portugis dan beralih ke Selat Sunda Banten.

Kemudian berkembang menjadi Bandar perdagangan maupun pusat penyebaran agama Islam. Setelah Sultan Hasanuddin wafat pada tahun 1570 Masehi, ia digantikan oleh putranya yaitu Maulana Yusuf.

2. Maulana Yusuf

Maulana Yusuf memerintah Banten pada tahun 1570 hingga 1580 Masehi.

Pada tahun 1579 Maulana Yusuf menaklukkan Kerajaan Pajajaran di Pakuan Bogor, dan sekaligus menyingkirkan rajanya yang bernama Prabu Sedah.

Akibatnya banyak rakyat Pajajaran yang menyingkir ke pegunungan, mereka inilah yang sekarang dikenal sebagai orang-orang Baduy atau Suku Baduy di Rangkas Bitung Banten.

3. Maulana Muhammad

Setelah Sultan Maulana Yusuf wafat, putranya yang bernama Maulana Muhammad naik tahta pada usia sembilan tahun. Oleh karena Maulana Muhammad masih sangat muda, pemerintahan dijalankan Mangkubumi Jayanegara sampai Maulana Muhammad dewasa tahun 1580 hingga 1596.

16 tahun kemudian Sultan Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang yang didirikan oleh Ki Gendeng Sure, seorang bangsawan Demak Kerajaan Banten yang juga keturunan Demak, karena merasa berhak atas daerah Palembang.

Akan tetapi, Banten mengalami kekalahan sehingga Sultan Maulana Muhammad tewas dalam pertempuran itu.

4. Pangeran Ratu atau Abdul Mufakhir Pangeran Ratu yang berusia lima bulan menjadi Sultan Banten yang keempat tahun 1596 hingga 1651.

Sampai pangeran dewasa pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi Rana Manggala. Saat itulah untuk pertama kalinya bangsa Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman mendarat di Banten pada tahun tanggal 22 Juni tahun 1596.

Pangeran Ratu mendapat gelar Kanjeng Ratu Banten, ketika wafat beliau digantikan oleh anaknya yang dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa.

5. Sultan Abu Al Madkhali Ahmad pada tahun 1647 hingga 1651, Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu Al-Fath Abdul Fatah. Sultan Ageng Tirtayasa memerintah Banten pada tahun 1651 hingga 1682 Masehi.

Kerajaan Banten pada masa beliau mencapai masa kejayaan. Sultan Ageng Tirtayasa berusaha memperluas wilayah kerajaannya ini.

Pada tahun 1671 Masehi Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putranya menjadi raja pembantu dengan gelar Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji Sultan.

Sultan Haji menjalin hubungan baik dengan Belanda, melihat hal itu Sultan Ageng Tirtayasa kecewa dan menarik kembali jabatan Raja pembantu bagi Sultan Haji.

Akan tetapi Sultan Haji berusaha mempertahankan dengan meminta bantuan kepada Belanda, akibatnya terjadilah perang saudara.

 

Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga beliau wafat pada tahun 91 Masehi.

7. Sultan Haji atau Sultan Abu Nasir Abdul Qohar tahun 1683 hingga 1687.

8. Sultan Abul Fadhil Muhammad Yahya tahun 1687 hingga 1699.

9. Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin tahun 1690 hingga 1733

10. Sultan Abdul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin tahun 1733 hingga 1747.

11. Ratu Syarifah Fatimah tahun 1747 hingga 1750.

12. Sultan Arif Zainul Asyiqin Al-Qadiri tahun 1753 hingga 1773.

13. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin tahun 1773 hingga 1799.

14. Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin tahun 1799 hingga 1835.

15. Sultan Abdul Nasser Mohammad Ishaq Zainul Muttaqin tahun 1803 hingga 1886.

16. Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin tahun 1809 hingga 1813

Peninggalan Kerajaan Banten selama berkuasa kurang lebih 3 Abad meninggalkan beberapa bukti bahwa kerajaan ini pernah berjaya di Pulau Jawa.

Lantas apa saja peninggalan Kerajaan Banten yaitu sebagai berikut:

1 Masjid Agung Banten Masjid Agung Banten adalah salah satu bukti peninggalan Kerajaan Banten sebagai salah satu kerajaan Islam di Indonesia.

Masjid yang berada di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, ini masih berdiri kokoh sampai sekarang. Masjid Agung Banten dibangun pada tahun 1658 tepat pada masa pemerintahan Putra pertama Sunan Gunung Jati yaitu Sultan Maulana Hasanudin. Selain itu Masjid Agung Banten juga merupakan salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia yang masih berdiri sampai sekarang.

Keunikan masjid ini yaitu bentuk menaranya yang mirip mercusuar dan atapnya mirip atap pagoda khas China. Selain itu di kiri kanannya bangunan masjid tersebut ada sebuah serambi dan kompleks pemakaman Sultan Banten bersama keluarganya.

2. Istana Keraton Kaibon. Peninggalan Kerajaan Banten yang selanjutnya yaitu bangunan istana. Keraton Kaibon adalah istana yang dulunya digunakan sebagai tempat tinggal Bunda Ratu Aisyah, yang merupakan ibu dari Sultan Saifudin.

Tapi kini bangunan ini sudah hancur dan tinggal sisa-sisa reruntuhannya saja.

Sebagai akibat dari bentrokan yang pernah terjadi antara Kerajaan Banten dengan Pemerintahan Belanda di Nusantara pada tahun 1832.

3. Istana Keraton Surosowan

Selain Istana Keraton Kaibon, ada satu lagi peninggalan Kerajaan Banten yang berupa istana yaitu Istana Keraton Surosowan.

Istana ini digunakan sebagai tempat tinggal Sultan Banten sekaligus menjadi tempat pusat pemerintahan.

Nasib istana yang dibangun pada 1552 ini juga kurang lebih sama dengan Istana Keraton Kaibon.

Dimana saat ini tinggal sisa-sisa reruntuhan saja yang bisa kita lihat bersama dengan sebuah kolam pemandian para putri kerajaan.

4. Benteng Speelwijk

Benteng Speelwijk adalah peninggalan Kerajaan Banten sebagai bentuk dalam membangun poros pertahanan maritim kekuasaan kerajaan di masa lalu.

Benteng setinggi tiga meter ini dibangun pada tahun 1580.

Selain berfungsi sebagai pertahanan dari serangan laut, benteng Ini juga digunakan untuk mengawasi aktivitas pelayaran di sekitar Selat Sunda.

Benteng ini juga memiliki mercusuar dan di dalamnya juga ada beberapa meriam serta sebuah terowongan yang menghubungkan benteng tersebut dengan Istana Keraton Surosowan.

 

5. Danau Tasikardi

Di sekitar Istana Keraton Kaibon ada sebuah danau buatan yaitu Danau Tasikardi yang dibuat pada tahun 1570 hingga 1580 pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf.

Danau ini dilapisi dengan ubin dan batu bata. Danau ini dulunya memiliki luas sekitar 5 hektar, tetapi kini luasnya menyusut karena di bagian pinggirnya sudah tertimbun tanah sedimen yang dibawa oleh arus air hujan dan sungai di sekitar danau tersebut.

Danau Tasikardi pada masa itu berfungsi sebagai sumber air utama untuk keluarga kerajaan yang tinggal di Istana Keraton Kaibon, dan sebagai saluran air irigasi persawahan di sekitar Banten.

6. Vihara Avalokitesvara

Walaupun Kerajaan Banten adalah kerajaan Islam tapi toleransi antara warga biasa dengan pemimpinnya dalam hal agama sangat tinggi.

Ini buktinya adalah adanya peninggalan Kerajaan Banten yang berupa bangunan tempat ibadah agama Budha.

Tempat ibadah umat Budha tersebut yaitu Vihara Avalokitesvara, yang sampai sekarang masih berdiri kokoh yang unik dari bangunan ini yaitu di dinding Vihara tersebut ada sebuah relief yang mengisahkan tentang legenda siluman ular putih.

7. Meriam Ki Amok

Seperti yang disebut sebelumnya di dalam Benteng Speelwijk ada beberapa meriam, dimana diantara meriam tersebut ada meriam yang ukurannya paling besar dan diberi nama meriam Ki Amok.

Dinamakan seperti itu karena konon katanya meriam ini memiliki daya tembakan sangat jauh dan daya ledaknya sangat besar.

Meriam ini adalah hasil rampasan Kerajaan Banten terhadap pemerintah Belanda pada masa perang.

Kehidupan politik Kerajaan Banten Sultan pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang memerintah tahun 1522 hingga 1570. Ia adalah putra Fatahillah seorang panglima tentara Demak yang pernah diutus oleh Sultan Trenggana, dan menguasai bandar-bandar di Jawa Barat pada waktu kerajaan Demak berkuasa.

Daerah Banten merupakan bagian dari kerajaan Demak, namun setelah kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Demak.

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 membuat para pedagang muslim memindahkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan.

Sultan Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada Lampung di Sumatera Selatan yang sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat.

Dengan demikian ia telah meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai Pelabuhan lada pada tahun 1570. Sultan Hasanuddin wafat penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf tahun 1570 hingga 1580.

Kerajaan Banten di bawah kekuasaan Hasanuddin pada tahun 1629 berhasil menaklukkan dan menguasai Kerajaan Pajajaran Hindu, akibatnya pendukung setia.

Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yaitu daerah Banten Selatan mereka dikenal dengan suku Baduy. Setelah Pajajaran ditaklukkan konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam.

Maulana Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad tahun 1580 hingga 1596, pada akhir kekuasaannya Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang dalam usaha menaklukkan Palembang.

Maulana Muhammad tewas dan selanjutnya Putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik tahta, ia bergelar Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Qodir.

Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan pada masa Putra Pangeran Ratu yang bernama Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1651 hingga 1682.

 

Ia sangat menentang kekuasaan Belanda, dan berusaha untuk mengalahkan orang-orang Belanda yang telah membentuk VOC serta menguasai Pelabuhan Jayakarta, dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.

Ia mengalami kegagalan setelah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa Banten mulai dikuasai oleh Belanda.

Di bawah Pemerintahan Sultan Haji Kerajaan Banten dapat berkembang menjadi Bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi,

1. Karena letaknya strategis dalam lalu-lintas perdagangan.

2. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten.

3. Banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada Banten yang menjadi maju banyak dikunjungi Pedagang pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu. Seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pekojan, orang Cina mendirikan Kampung Pacinan, orang-orang Indonesia mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa dan sebagainya.

Kehidupan sosial dan budaya kerajaan Banten

Sejak Banten diislamkan oleh Fatahillah atau Falatehan tahun 1527, kehidupan sosial masyarakat secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman.

Pendukung Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman yakni ke daerah Banten Selatan mereka dikenal sebagai suku Baduy.

Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam dalam kehidupan sosial.

Masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik karena Sultan memperhatikan kehidupan dan kesejahteraan rakyatnya, namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan sosial, masyarakat berubah merosot tajam.

Seni budaya masyarakat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten atau tumpang lima dan bangunan gapura di Kerajaan Banten.

Disamping itu juga bangunan istana yang dibangun oleh Van Lucas Cardeel, orang Belanda pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam.Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa.

Baca Juga: Lirik Lagu Tutur Batin Yura Yunita, Tak Perlu Sempurna Apa Adanya

Itulah sejarah kerajaan Banten yang menjadi pengalaman hidup bagi masyarakat Indonesia khususnya di Banten. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan.***

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Menara Pembelajar


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah