Kisah Sejarah Cikal Bakal Sunda Wiwitan, Prabu Pucuk Umun dan Sultan Maulana Hasanuddin Banten

- 11 Oktober 2023, 15:15 WIB
Kisah Sejarah Cikal Bakal Sunda Wiwitan, Pucuk Umun dan Sultan Hasanuddin Banten
Kisah Sejarah Cikal Bakal Sunda Wiwitan, Pucuk Umun dan Sultan Hasanuddin Banten /Tangkapan layar YouTube /Borin Vlog

KABAR BANTEN - Sultan Maulana Hasanuddin merupakan putra kedua dari Syekh Syarif Hidayatullah, anak Pangeran Cakrabuana, atau yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati.

Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyi Kawunganten yang merupakan putri dari Prabu Surosowan. Dan Sunan Gunung Jati salah satu dari sembilan wali atau yang biasa disebut Wali Songo.

Ketika Prabu Surosowan wafat, pemerintahan Kerajaan Banten diserahkan kepada putranya Arya Suryajaya, atau yang bergelar Prabu Pucuk Umun.

Pusat pemerintahannya meliputi wilayah Banten Girang (Banten hulu) di bawah Kerajaan Pajajaran yang masih menganut agama Sunda Wiwitan.

Baca Juga: Sejarah dan Fakta Menarik Suku Baduy yang Harus Diketahui

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal YouTube Zona Hasanah, berikut cikal bakal Sunda Wiwitan di Banten.

Sultan Maulana Hasanuddin merupakan sultan pertama di Banten yang sangat berpengaruh dalam penyebaran agama Islam di Banten.

Beliau mendapat gelar Pangeran Sabakingking atau Sedakinkin dari kakeknya yaitu Prabu Surosowan yang pada masa itu menjabat sebagai bupati di Banten.

Sultan Maulana Hasanuddin sendiri adalah putra kedua dari Syekh Syarif Hidayatullah, Putra Pangeran Cakrabuana atau yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Beliau merupakan salah satu dari 9 Wali Songo dan ibunya yang bernama Nyi Kawunganten.

Ia adalah putri dari Prabu Surosowan. Dan ketika Prabu Surosowan jatuh sakit ia menderita penyakit yang sangat parah, banyak tabib yang didatangkan ke istana untuk mengobati penyakit beliau.

Berbagai macam pengobatan dan ramuan dari dedaunan yang didatangkan dari Gunung Karang, Pulosari, Paseban, dan Pinang.

Tetapi semuanya berakhir sia-sia, walaupun sudah berupaya untuk mendatangkan tabib-tabib ternama dari seluruh Banten.

Akhirnya Prabu Surosowan sebelum menghembuskan nafas terakhirnya berpesan kepada istrinya, "Wahai istriku, tolong jaga anak-anakku terus pegang teguh dan lestarikan Sunda Wiwitan. Dan jadikan Sunda Wiwitan sebagai pedoman hidup rakyat dan anak cucu kita".

Sang istri, Nyi Kawunganten menurunkan kepercayaan Sunda Wiwitan sebagai pedoman hidup anak cucu dengan bersungguh-sungguh.

Memegang teguh ajaran Sunda Wiwitan dan akan terus menjaganya hingga akhir hayat ketika Prabu wafat pemerintahan Banten diwariskan kepada putranya yaitu Arya Surajaya atau yang lebih dikenal dengan Prabu Pucuk Umun.

Oleh karena itu selama masa pemerintahan Prabu Pucuk Umun yang meliputi Banten Girang atau Banten Hulu di bawah Kerajaan Pajajaran, masih menganut agama Sunda Wiwitan.

Prabu Arya Surajaya menjalankan wasiat itu dengan penuh kesungguhan.

Kisah Sejarah Cikal Bakal Sunda Wiwitan, Pucuk Umun dan Sultan Hasanuddin Banten
Kisah Sejarah Cikal Bakal Sunda Wiwitan, Pucuk Umun dan Sultan Hasanuddin Banten

Dan pada saat itu Syekh Syarif Hidayatullah, Bapak dari Sultan Maulana Hasanuddin harus ke Cirebon menggantikan Pangeran Cakrabuana yang wafat sebagai Bupati Cirebon.

Sementara itu Pangeran Hasanuddin sendiri sudah menjadi guru agama Islam di Banten, bahkan Hasanuddin lebih dikenal sebagai guru agama yang memiliki banyak santri di wilayah Banten sehingga beliau mendapatkan gelar Syekh Maulana Hasanuddin.

Karena tidak sejalan dengan kepercayaan yang dipegang teguh oleh Prabu Pucuk Umun, maka Maulana Hasanuddin mendapat tentangan dari Prabu Pucuk Umun.

Dan Prabu Pucuk Umun mengajak Sultan Maulana Hasanuddin untuk bertarung, barangsiapa yang kalah di dalam pertarungan harus mengikuti kehendak orang yang memenangi pertarungan.

Waktu pertarungan antara Sultan Maulana Hasanuddin dan juga Prabu Pucuk Umun akhirnya tiba.

Ayam milik Pucuk Umun bernama Jalak Rarawe, seekor ayam petarung berwarna hitam yang belum pernah kalah sekalipun di ajang adu ayam.

Jalak Rarawe diciptakan dari besi baja berpamor air raksa dan berinti besi berani.

Ayam jago milik Prabu Pucuk Umun telah diberi ajian otot kawal tulang besi dan di kedua tajinya dipasangi keris yang berbisa.

Si Jalak Rarawe menjadi ayam yang terkuat, dan seorang Mpu telah membuatkan keris yang dipasang di tajinya.

Sementara itu ayam Sultan Maulana Hasanuddin bernama Saung Patok. Ia merupakan penjelmaan salah seorang pengawal sekaligus penasehatnya yang bernama Syekh Muhammad Saleh.

Ia adalah murid Sunan Ampel dan tinggal di Gunung Santri di Bojonegoro Serang. Oleh karena ketinggian ilmunya dan atas kehendak Allah, ia mengubah dirinya menjadi ayam jago yang berwarna putih.

Meski Saung Patok atau ayam milik Sultan Maulana Hasanuddin tidak dipasangi senjata apapun, tetapi karena merupakan penjelmaan dari orang yang memiliki ilmu yang tinggi atas seizin Allah, tubuhnya kebal terhadap senjata tajam.

Sebelum pertarungan dimulai, Sultan Maulana Hasanudin berdoa untuk meminta petunjuk agar ia dapat memenangi pertarungan adu ayam dengan pamannya, Prabu Pucuk Umun.

Ia berdoa dengan sepenuh hati dan pada malam harinya Sultan Maulana Hasanuddin bermimpi menemui ayahandanya di Cirebon.

Ia pun mengutarakan kegundahannya di dalam mimpinya itu. Sultan Maulana Hasanuddin mulai mengutarakan penyebab dari permasalahannya itu lalu apa yang mengganjal.

Setelah mendapatkan petunjuk dari ayahnya melalui mimpi, dengan mantap Sultan Maulana Hasanuddin pun terbangun dari tidurnya dengan wajah berseri-seri.

Waktu pertarungan yang telah ditentukan kedua pihak pun tiba. Maka mereka beramai-ramai mendatangi lokasi.

Bukan hanya ayam jago yang dibawa oleh Prabu Pucuk Umun dan Sultan Maulana Hasanuddin melainkan juga pasukan untuk meramaikan dan menyaksikan pertarungan tersebut.

Bahkan kedua pasukan membawa senjata untuk menghadapi berbagai kemungkinan Prabu Pucuk Umun yang terlihat membawa golok yang terselip di pinggangnya dan tombaknya digenggamnya.

Sedangkan Sultan Maulana Hasanuddin hanya membawa sebelah keris pusaka milik ayahnya Sunan Gunung Jati yang diwariskan kepadanya.

Sultan Maulana Hasanuddin berdiri di sisi Selatan dengan berjubah dan bersorban putih di kepalanya, dari pinggir arena kedua belah pihak yang akan bertarung terlihat tegang.

Sultan Maulana Hasanuddin yang datang bersama rombongannya yaitu para ustad dan santri larut dalam doa memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Sementara itu pihak Prabu Pucuk Umun yang terdiri atas ratusan penasehat dan prajurit juga terlihat berkomat-kamit membacakan mantra.

Di tengah-tengah suasana tegang itu, majulah salah seorang prajurit yang mewakili kedua belah pihak masuk ke tengah arena dan membacakan pengumuman dengan lantang.

Pertarungan pun dimulai, dan ayam Prabu Pucuk Umun kalah, pihak Sultan Maulana Hasanuddin berhak dan bebas menyebarkan Islam di Banten.

Prabu Pucuk Umun yang mengakui kekalahannya dengan menyerahkan senjata yang dibawa kepada pihak yang menang dan terakhir siapapun yang hadir di sini harus menahan diri dan menjaga ketertiban dengan cara tidak memasuki arena selama adu ayam berlangsung setelah pengumuman.

Prabu Pucuk Umun pun memberikan perintah kepada para pengikutnya yang bermukim di Hulu Sungai di Ujung di sekitar wilayah Gunung Kendeng.

Para pengikut setiap Prabu Pucuk Umun membuat cikal bakal orang Kanekes yang kini lebih dikenal sebagai suku Baduy yang hingga kini masih melanggengkan ajaran Sunda Wiwitan.

Dan sementara itu para pengikut Prabu Pucuk Umun lainnya yang terdiri atas penasehat dan penggawa kerajaan Pajajaran menyatakan masuk Islam di hadapan Sultan Maulana Hasanuddin.

Dengan demikian semakin muluslah jalan bagi Sultan Maulana Hasanuddin dalam menyebarkan dakwah Islam di Banten.

Baca Juga: Pertama Kalinya, Pascasarjana UIN Banten Terima Dua Mahasiswa Internasional

Itulah cikal bakal Sunda Wiwitan yang ada di Banten tempo dulu. Semoga bermanfaat.**"

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Zona Hasanah


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah