Menguak Douwes Dekker Sang Pembawa Api dalam Max Havelaar di Museum Multatuli, Jadi Ikon Sejarah Lebak

- 21 November 2023, 17:55 WIB
Menguak Karya Douwes Dekker Sang Pembawa Api dalam Max Havelaar di Museum Multatuli, Ikon Sejarah Lebak Untuk Indonesia Merdeka
Menguak Karya Douwes Dekker Sang Pembawa Api dalam Max Havelaar di Museum Multatuli, Ikon Sejarah Lebak Untuk Indonesia Merdeka /YouTube /Mang Dhepi

KABAR BANTEN – Multatuli adalah nama samaran seorang penulis yang bernama Eduard Douwes Dekker. Ia pertama kali tiba di Rangkasbitung pada 21 Januari 1856 dan bertugas sebagai asisten residen Lebak. Ia bekerja tidak lebih dari 84 hari, lalu mengundurkan diri setelah berselisih paham dengan pejabat-pejabat kolonial lainnya.


Multatuli kemudian pergi ke Belgia dan menulis sekaligus menerbitkan kegelisahannya dalam bentuk roman berjudul Max Havelaar pada 1860. Novel ini menjadi salah satu karya penting yang membahas sejarah Banten dan Lebak, Secara umum dan sudah menjadi bagian dari historiografi Indonesia, ceritanya memuat bagaimana bobroknya sistem kolonial cultuurstelsel, khususnya persekutuannya dengan sistem feodal.

Baca Juga: Situs dan Petilasan Makam Sultan Ageng Tirtayasa Serang Banten, Ada Keraton yang Dibumihanguskan


Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi, berikut sejarah Museum Multati.

Kisah Multatuli menjadi narasi sebagai aset di Lebak untuk dijadikan pembelajaran tentang bagaimana kolonialisme bekerja dan bagaimana sistem itu diruntuhkan oleh gerakan nasionalisme, dalam bentuk pendirian museum.


Ide pendirian Museum Multatuli telah direncanakan sejak 2015. Pada tahun 2016, delegasi pejabat dan guru dari Pemerintah Kabupaten Lebak pergi ke Belanda untuk mengunjungi Arsip Nasional Belanda dan Multatuli Huis di Amsterdam.


Museum Multatuli yang beralamatkan di Jalan Alun-Alun Timur No.8, Rangkasbitung, Kecamatan Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, ini memiliki luas tanah sekitar kurang lebih 1934 m2.


Menempati sebuah bangunan peninggalan Hindia Belanda yang saat ini berstatus sebagai cagar budaya yang sempat beberapa kali beralih fungsi. Bangunan heritage ini selesai pembangunannya pada 1930, bangunan tersebut digunakan sebagai kantor kawedanan.


Kemudian Pada 1950 dialihfungsikan menjadi Kantor Markas Wilayah (Mawil) Hansip. Terakhir digunakan sebagai kantor BKD (Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Lebak).

Bangunan ini kemudian dipugar pada tahun 2016, berlangsung pemugaran bangunan ini untuk menjadi Museum Multatuli hingga kini.


Museum Multatuli berada di bagian timur dan bertepatan dengan lokasi Kantor Bupati Rangkasbitung di sebelah kanan dan berdampingan dengan Perpustakaan Saidjah Adinda.


Pada 11 Februari 2018 Museum Multatuli secara resmi dibuka untuk umum. Peresmian museum dilakukan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hilmar Farid berserta Bupati Lebak, Hj. Iti Octavia Jayabaya.


Museum Multatuli memiliki luas tanah sekitar kurang lebih 1934 meter dengan fasilitas di dalamnya meliputi pendopo, ruang pameran museum, kantor, toilet, taman dan tempat penyimpanan koleksi.


Menempati sebuah bangunan peninggalan Hindia Belanda yang saat ini berstatus sebagai cagar budaya yang sempat beberapa kali beralih fungsi bangunan Heritage ini selesai pembangunannya pada tahun 1930.


Gedung museum Multatuli terbuat dalam bentuk huruf T dan memiliki pendopo yang dipakai sebagai tempat perkumpulan desain dalam ruangan.


Gedung bergaya modern fraktal dan tidak simestris dengan bantuan pencahayaan ruangan, museum Multatuli terbagi menjadi tujuh ruangan dan empat tema tema.


Tema pertama khususnya mengisahkan sejarah awal penjajah di Nusantara sedangkan tema kedua membahas tentang pribadi tokoh Multatuli dan novelnya yang berjudul Max Havelaar.


Adapun tema ketiga mengisahkan tentang sejarah Banten dan Lebak sedangkan tema keempat mengisahkan sejarah Rangkas Bitung. Koleksi Museum Multatuli yang utama adalah novel berjudul Max Havelaar yang berbahasa Prancis yang dicetak dengan tahun cetakan 1868. Dan ubin bekas tempat tinggal Multatuli, litografi Multatuli, dan peta Rangkas Bitung pada abad ke-20.

Seorang petugas kebersihan tengah menyemprotkan disinfektan pada sebuah Patung replika Eduard Douwes Dekker, di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.
Seorang petugas kebersihan tengah menyemprotkan disinfektan pada sebuah Patung replika Eduard Douwes Dekker, di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Purnama Irawan


Museum Multatuli juga mengoleksi patung-patung hasil karya Doloro Sasinaga, kumpulan foto sejarah Kabupaten Lebak, surat Douwes Dekker untuk Raja William II dan surat Soekarno kepada Samuel Koperbatth.


Museum Multatuli memberikan koleksi informasi sejarah, dengan menggunakan multimedia berupa audio dan video yang ditampilkan melalui layar monitor. Dan di ruangan keempat terdapat video singkat mengenai Multatuli dari hasil wawancara dengan narasumber yaitu Pramudya Ananta Tur.


Ruangan keenam mengisahkan tentang sejarah Lebak, serta video singkat tentang tokoh-tokoh sejarah Rangkas Bitung.


Rekaman seorang penyair asal Indonesia yaitu WS Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-Orang Rangkas Bitung” dapat ditemukan di ruang ketujuh.


Muncul ide untuk mendirikan museum Multatuli sudah dimulai sejak 1990-an ide penciptaan itu terus berlanjut di tahun 2000-an tepatnya pada tahun 2009 sudah ada wacana kembali pendirian museum tapi baru terrealisasi pada 2015.


Proses pengisian koleksi dan pembuatan story line museum mulai berlangsung terdiri dari pengadaan interior museum, film dokumenter, dan pengadaan patung interaktif Multatuli Saijah dan Adinda.


Museum Multatuli sudah menjadi bagian dari sejarah Lebak, penghargaan atas namanya baik versi pemerintah maupun masyarakat Lebak ditasbihkan mulai dari nama jalan alun-alun, apotik hingga LSM, Monumen interaktif Multatuli Saija dan Adinda.


Sementara itu Saija Adinda sebagai drama epik dalam Max Havelaar diabadikan melalui nama perpustakaan taman baca masyarakat dan komunitas kesenian.


Selain itu pemikiran dan karya Multatuli menetes dan diadaptasi menjadi puisi, film, dan teater. Dan atas dasar itu Multatuli menjadi ikon dan bagian sejarah Lebak.


Museum Multatuli bertemakan museum antikolonialisme yang menampilkan sejarah kolonialisme sebagai pengantar sampai dengan pergerakan antikolonialisme yang diceritakan dari berbagai sisi.


Sebagai inti dari museum ini harapannya museum akan menjadi medium pembelajaran sejarah tentang bagaimana kolonialisme bekerja, dan bagaimana pula sistem itu diruntuhkan oleh gerakan nasionalisme.

Sedangkan visi Museum Multatuli menjadi pusat informasi ilmu pengetahuan, sejarah perkembangan masyarakat Lebak dalam bentuk edukatif, rekreatif dan atraktif.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Banten di Museum Situs Kepurbakalaan di Kawasan Kesultanan Banten


Itulah sejarah dan review Museum Multatuli yang berada di Rangkasbitung Lebak sebagai bagian sejarah Lebak untuk Indonesia merdeka.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah