MUI BANTEN GELAR SEMINAR INTERNASIONAL PEMIKIRAN SYEKH NAWAWI

- 29 Oktober 2018, 21:52 WIB
MUI Banten Seminar Internasional
MUI Banten Seminar Internasional

SERANG, (KB).- MUI Provinsi Banten bekerja sama dengan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa mengadakan seminar internasional tentang pemikiran Syekh Nawawi Al Bantani, Senin (29/10/2018). Kegiatan berlangsung di aula Untirta, menghadirkan tiga narasumber dengan menggunakan tiga bahasa, Yakni Indonesia, Inggris, dan Arab. Mereka, Dr. Hj. Sri Mulyati, Hajar Al-Khaitami, MA, dan Dr. Dede Ahmad Permana. Dalam pemaparannya menggunakan bahasa Inggris, Dr. Hj. Sri Mulyati mengatakan, Syekh Nawawi bagai al-Ghazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Ia menyontohkan pandangan Nawawi tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah, dapat diperoleh dengan proses ta’alum (berguru) dan tadarrus (belajar), sehingga mencapai derajat ‘alim. Sementara ilmu batin dapat diperoleh melului proses dzikr, muraqabah dan musyahadah, sehingga mencapai derajat arif. “Seorang abid diharapkan tidak hanya menjadi alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir, tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin,” katanya. Bagi Nawawi, kata dia, tasawuf berarti pembinaan etika (adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata, tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan. Sebaliknya, seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. “Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral,” ungkapnya.
Sementara Hajar Al-Khaitami mengatakan, Syekh Nawawi merupakan ulama yang sangat produktif dalam menulis berbagai karya dalam banyak disiplin ilmu. Salah satunya adalah, ilmu kalam. “Metode menulis Syekh Nawawi menggunakan interpolasi teks, dengan mencoba memberi penjelasan terhadap naskah-naskah yang telah ditulis ulama-ulama pendahulunya,” kata dia. Dikatakannya, dalam ilmu kalam, setidaknya ada lima pembahasan yang bisa dijadikan alat identifikasi corak pemikiran seorang tokoh, termasuk Syekh Nawawi. Pertama, kata dia, posisi wahyu dan akal. Menurut Nawawi, wahyu mempunyai posisi yang lebih tinggi ketimbang akal. Sebab, ada beberapa hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal manusia, kecuali melalui wahyu. Dalam hal mengetahui wujud Tuhan, Syekh Nawawi mengatakan akal mampu menjangkau pengetahuan tentang eksisitensi Tuhan, akan tetapi rincian mengenai asma-asma Tuhan hanya bisa diketahui melalu wahyu. Kedua, konsep iman. Menurut nawawi, iman adalah tashdiq bil qalbi (pembenaran dalam hati). Sedangkan amal saleh hanyalah cabang dari tashdiq. “Artinya, jika seseorang mukmin berbuat dosa, imannya tidaklah hilang, malainkan kualitas iman yang di dalam hati itu menurun,” ungkapnya. Iman di hati dinilai hilang, jika ia meragukan atau mengingkari apa yg diimaninya. Sebab, tidak sah iman yang dibarengi dengan keraguan, apalagi pengingkaran dalam hati. Ketiga, perbuatan manusia. Menurut Nawawi, semua perbuatan manusia baik dan buruk diciptakan Tuhan. Manusia diberikan ikhtiyar dan kasab sebagai bentuk otoritas manusia dalam berbuat. Akan tetapi, masih dalam kendali dan kuasa Tuhan. Sebab, kuasa dan kehendak Tuhan bersifat mutlak. “Dalam hal ini, daya manusia dalam menentukan hasil perbuatannya, lebih kecil ketimbang peran dan daya Tuhan yang absolut itu,” ungkap dia. Keempat, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana yang Tuhan gambarkan dalam Alquran. Semua sifat Tuhan adalah qadim, karena qadimnya dzat tuhan itu. Sifat Tuhan bukanlah dzatnya, tetapi bukan juga lain dari dzatnya. Dr Dede Ahmad Permana yang tampil dalam sesi terakhir memaparkan beberapa sisi pemikiran Syeh Nawawi di bidang ushul fiqh. Selama ini, kata dia, banyak orang beranggapan bahwa Nawawi bukan ahli ushul fiqh. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa dari sekian banyak karya Nawawi, tak ada satu pun karya yang membahas secara khusus Ilmu Ushul Fiqh. "Ketiadaan karya di bidang ushul fiqh, tidaklah berarti Nawawi tidak memiliki konsep di bidang ushul fiqh. Justru ia memaparkan banyak teori ushul fiqh dalam berbagai karyanya", kata Dede, yang menyelesaikan studi S2 dan S3 di Fakultas Syariah Universitas Zaitunah, Tunis. Dede yang menyampaikan presentasinya dalam bahasa Arab, menunjukkan sejumlah teori ushul fiqh dan beberapa kaidah fiqh yang digunakan Nawawi dalam menafsirkan ayat-ayat ahkam dalam Alquran. Di antaranya adalah, tentang kehujahan sunnah fi'liyah, tentang ijma', tentang qiyas dan maqasid syariah. Menurut dia, di antara kaidah fiqh yang dijadikan dasar oleh Nawawi dalam melakukan tafsir terhadap ayat-ayat ahkam, adalah kaidah ad dhararu yuzalu, "bahaya itu harus dihilangkan". “Saat menafsirkan ayat "wa khudzu khidzrokum", Nawawi berkata, orang sakit harus segera berobat. Sebagai upaya menghindari bahaya, duduk di bawah dinding yang miring karena hampir roboh, hukumnya haram.  Karena hal itu akan menyebabkan terjadinya bahaya,” ungkap Dede. Kegiatan dibuka Ketua Umum MUI Banten Dr. KH. AM. Romly, dihadiri sejumlah tokoh. Antara lain, Rektor Untirta Prof. Soleh Hidayat, Direktur Pascasarjana UIN Banten, Prof. B. Safuri, dan pengasuh Pesantren Daar El Istiqomah Kota Serang KH. Sulaeman Ma’ruf. Seminar tersebut dimoderatori Ust. Kholid Ma’mun, Rachman, dan Rohman. (KO)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x