Membedah Omnibus Law RUU Cipta Kerja

- 13 Maret 2020, 07:30 WIB
Obrolan Mang Fajar Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Obrolan Mang Fajar Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Usulan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang diinisasi pemerintah pusat menuai pro dan kontra. Penyampaian pemerintah terkait omnibus law yang berniat baik untuk menggabungkan peraturan tumpang tindih dan penghambat investasi, tak meredam emosi buruh. Berbagai upaya penolakan dilancarkan kalangan buruh termasuk di Provinsi Banten, mulai dari aksi unjuk rasa yang melibatkan ribuan massa sampai audiensi bersama stakeholder terkait.

Mereka merasa keberatan, sejumlah poin yang masuk dalam Omnibus law RUU Cipta Kerja dinilai akan merugikan kalangan buruh dan hanya menguntungkan kalangan pengusaha. Tak hanya kalangan buruh, pengamat hukum turut mempernyatakannya. Pola perumusan produk hukum yang baru pertama kali dilakukan di Indonesia ini dikhawatirkan mengangkangi sejumlah tahapan dalam hirarki perundang-undangan.

Pada Obrolan Mang Fajar yang dipandu Direktur PT Fajar Pikiran Rakyat Rachmat Ginandjar di Kantor Redaksi Harian Umum Kabar Banten, Kamis (12/3/2020), sejumlah kalangan mendorong dilakukannya sosialisasi, serta pelibatan unsur buruh dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Sehingga prosesnya gamblang dan tak menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

Pengawas Ketenagakerjaan pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten Karyadi mengatakan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja bertujuan menyederhanakan aturan tentang ketenagakerjaan yang tumpang tindih. Targetnya menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2024. "Mungkin aturan yang dianggap tumpang tindih, terus untuk merevisi beberapa yang menghambat investasi," katanya.

Dalam urusan ketenagakerjaan ada sejumlah poin yang rencananya mengalami perubahan. Meliputi perubahan terkait upah minimum kabupaten/kota (UMK) yang penjelasannya dimuat dalam RPP. "Ada lagi ketentuan itu ada upah sektoral khusus untuk padat karya. Kalau mengenai pesangon dari draf (Omnibus Law) RUU masih ada, yang berubah terkait penghargaan masa kerja," ujarnya.

Mengingat bentuknya baru sebatas RUU, ada sejumlah poin yang membutuhkan penjelasan lebih dalam. Antara lain terkait jam kerja yang maksimal hanya delapan jam. "Perizinan TKA itu masih tetap bahwa akan disyaratkan sertifikat ahli. Kecuali pekerjaan khusus yang masih bisa, misalnya untuk darurat mesin rusak itu tidak ada syarat khusus," ucapnya.

Terkait PWKT, ia mengatakan, dalam RUU itu dijelaskan perusahaan wajib memberikan uang pisah kepada pekerja yang terkena putus hubungan kerja. "Mengenai poin outsourcing pada RUU (Omnibus Law) tidak spesifik sekarang (undang-undang tentang ketenagakerjaan). Kalau sekarang jelas, ada penyedia. Di RUU seolah-olah jadi agak sedikit bias, seolah-olah," tuturnya.

Menurut dia, Omnibus Law RUU Cipta Kerja tak menghilangkan jaminan sosial tenaga kerja. Setidaknya ada tiga program yang nanti diberikan kepada pekerja yang kehilangan pekerjaan. Pertama jaminan mendapatkan pelatihan. Kedua jaminan mendapatkan penempaan kerja. Ketiga jaminan hidup selama beberapa bulan. "Tapi penjelasan selanjutnya di RPP," katanya.

Adapun yang masih menjadi pertanyaan besar dan belum dipahaminya yaitu terkait pemberian penghargaan lain-lain kepada pekerja untuk masa kerja tertentu. "Ini enggak tahu arahan ke mana," ucapnya.

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah