MUI Banten Gelar Seminar Ekonomi Islam

- 31 Oktober 2017, 10:30 WIB
IMG-20171031-WA0002~2
IMG-20171031-WA0002~2

SERANG, (KB).- Prinsip-prinsip fikih muamalah didasari lima pondasi utama, yakni tidak menggunakan cara-cara natil, meninggalkan perkara yang subhat, mempermudah dalam transaksi, tidak menipu dan tidak zalim, jujur dan menghindari sumpah palsu. Demikian dikatakan H. Hendri Tanjung, Ph.D, dalam seminar sehari tentang ekonomi Islam, Sabtu (14/10/2017). Kegiatan itu diprakarsai Komisi Ekonomi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten. Kegiatan itu menghadirkan sejumlah penceramah, seperti Wakil Ketua Umum MUI Banten Prof. E. Syibli Syarjaya, Dr. Rizqullah Thohuri, MBA, H. Hendri Tanjung, Ph.D, dan Dr. Nurul Huda. Sementara Prof. Syibli Syarjaya membahas ekonomi Islam dari sisi wakaf. Wakaf, kata Syibli, merupakan salah satu pranata sosial keagamaan yang telah dilaksanakan oleh umat Islam sejak lima belas abad lalu. “Wakaf tidak sekedar bernilai ibadah, tetapi ia juga mengandung nilai sosial dan nilai ekonomi,” katanya. Dikatakan, wakaf memiliki keterkaitan langsung secara fungsional dengan upaya pemecahan masalah-masalah sosial dan kemanusiaan. Misalnya, pengentasan kemiskinan, pemberdayaan ekonomi umat, yang bermuara kepada prinsip saling tolong menolong (ta'ãwun) guna meningkatkan tarap hidup manusia. Menurut Syibli, praktek semacam wakaf sudah berkembang sebelum datangnya Islam, walaupun pada saat itu belum dikenal dengan istilah wakaf. Dalam catatan sejarah, katanya, banyak rumah-rumah peribadatan yang dibangun oleh pemeluk agama sebelum Islam. “Bukti yang cukup kuat, bahwa Masjidil Haram dan Mesjid al-Aqsha sudah berdiri jauh sebelum Nabi Muhammad diutus yang tidak ada pemilikanya,” katanya. Dikatakan, wakaf yang pertama kali dalam masyarakat Arab pra Islam adalah Al-Ka’bah Al-Musyarafah, yaitu rumah peribadatan pertama yang dibangun oleh Nabi Ibrahim a.s. sebagai tempat untuk berkumpul (haj) dan tempat yang aman bagi manusia.  Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan, masyarakat Arab waktu itu kemudian menjadikan Kabah sebagai pusat penyembahan berhala, sebagai salah satu upaya pendekatan diri kepada Allah. “Di Jerman, terdapat aturan yang memberi modal kepada salah satu keluarganya dalam jangka waktu tertentu untuk dikelola secara bergantian dimulai dari keluarga laki-laki kemudian keluarga perempuan dengan syarat harta tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh dihibahkan,” katanya. Seiring perkembangan, kata Syibli, wakaf menghadapi banyak tantangan dan permasalahan. Antara lain, pemahaman terhadap wakaf produktif sangat lemah baik masyarakat, wakif, nazhir dan pemerintah sebagai regulator.  Selain itu, lebih dari 90 % peruntukan tanah wakaf adalah pendidikan, masjid & pemakaman. Selain itu, terjadinya ruislagh tanah‐tanah strategis di kota-¬kota besar ke lokasi yang tidak equal secara ekonomis.  “Persoalan lain, belum adanya dukungan dari lembaga keuangan bank/nonbank baik swasta maupun pemerintah,” katanya. Hal itu diperparah dengan detail database tanah wakaf masih lemah, sebagian besar nazhir masih perorangan, kurangnya sosialisasi wakaf uang dan masih adanya perbedaan pendapat, kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga wakaf. Adapun Dr. Rizqullah Thohuri lebih menyoroti tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Menurutnya, kegiatan ekonomi membutuhkan keuangan. Keuangan mencakup kelembagaan, prinsip-prinsip pengelolaan, sistem dan mekanisme operasional. “LKS adalah lembaga keuangan yang berfungsi menunjang aktivitas ekonomi: produksi, distribusi dan konsumsi masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip Islam,” katanya. Dikatakan, tujuan ekonomi syariah yakni meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama golongan ekonomi lemah. Menambah lapangan kerja di tingkat kecamatan untuk menghindari urbanisasi. Membina semangat ukhuwah Islamiyah, serta mempercepat perputaran aktivitas perekonomian. Dr. Nurul Huda, Ketua Program Studi MM Sekolah Pascasarjana Universitas YARSI, mengatakan prinsip ajaran Islam adalah kebenaran. Manusia diperintahkan untuk mengikuti kebenaran dan dilarang mengikuti persangkaan (dzan), dan untuk mengikuti kebenaran manusia harus memiliki pengetahuan. “Masalah ekonomi muncul karena sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan kepada keinginan manusia yang tidak terbatas,” katanya. (Adventorial)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah