Pada dasarnya tradisi ini dipakai untuk mengguna-gunai atau menulah atau menenung orang lain
Selain itu, Gasiang Tangkurak ini biasanya digunakan seorang pria agar wanita yang dicintainya bisa tergoda dan tergila-gila padanya karena menolak cintanya.
"Jiko nyo lalo tolong jagokan jiko nyo tegak surah jalan di siko kini Denai nantikan tolonglah japu japui tabu surah nya Suji di kaki Denai jiko tak namuah tanggang matonyo tanggang sironyo biar nyo rasai datang si mambang bianyo gilo siang nyo malam nyo cari Denai baru nyo senang dek kiro-kiro".
Bernada pentatonik syair atau mantra tersebut biasanya dilantunkan di sela-sela dengungan Gasiang Tangkurak yang kerap dimainkan pada hari Kamis malam Jum'at.
Gasiang Tangkurak ini merupakan wujud karya kebudayaan Minangkabau yang syarat dengan magis yang tumbuh dan berkembang ketika Minangkabau masih menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme.
Ketika ajaran Islam masuk ke Minangkabau yaitu sekitar abad ke-6 Masehi, Gasiang Tangkurak ini sempat pudar di masyarakat.
Namun Gasiang Tangkurak tidak hilang secara sepenuhnya, imu hitam ini sampai sekarang masih digunakan secara diam-diam oleh orang yang masih memilikinya.
Syair budaya ini dikenal memiliki kemampuan supranatural sebagai peninggalan nenek moyang pada zaman dahulu.
Dimana kemampuan supranatural tersebut biasanya digunakan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dihadapi.
Salah seorang budayawan sekaligus dosen fakultas ilmu budaya jurusan Sastra daerah Minangkabau yaitu Khani Zarchan menyebutkan bahwa Gasiang Tangkurak sendiri terbuat dari bagian tengkorak mayat orang yang pandai dalam ilmu kebatinan atau mayat orang yang mati dalam kondisi tidak wajar yang sudah dikubur selama 3 sampai 6 bulan.