Network
KABAR BANTEN - Krisis properti yang melanda Tiongkok telah mengirimkan gelombang kejut melalui pasar global, menciptakan kekhawatiran akan potensi "Lehman Brothers moment" bagi ekonomi terbesar kedua di dunia.
Artikel ini akan mengupas lebih dalam tentang krisis Evergrande, melacak asal-usulnya, menjelajahi dampak yang sangat luas, serta menilai implikasi potensialnya baik bagi Tiongkok maupun ekonomi internasional.
Kenaikan dan Keruntuhan Evergrande
Evergrande, yang dulunya adalah raksasa properti, memulai perjalanan ambisius untuk menjadi konglomerat yang beragam.
Namun, kenaikan pesat perusahaan ini dibangun di atas fondasi yang goyah, dengan ekspansi yang didorong oleh hutangutang, praktik keuangan yang tidak transparan, dan investasi di sektor yang kurang menguntungkan.
Mengutip dari kanal ColdFusion di youtube, hingga tahun 2021, Evergrande telah mengumpulkan utang yang mencapai lebih dari $300 miliar dolar, jumlah yang melebihi PDB negara-negara tertentu.
"Tiga Garis Merah" Tiongkok
Menanggapi pertumbuhan tanpa kendali sektor properti, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, memperkenalkan kebijakan "tiga garis merah" pada tahun 2020.
Regulasi ketat ini bertujuan untuk mengendalikan pengaruh pasar properti terhadap ekonomi negara yang telah mencapai hampir 30% dari PDB.
Evergrande, bersama dengan pengembang lainnya, kesulitan untuk mematuhi peraturan ini, yang semakin memperburuk masalah keuangan mereka.
Krisis Likuiditas Berbahaya Evergrande
Situasi semakin memburuk dengan berhentinya perdagangan pada bulan Oktober 2021, yang berlangsung selama 17 bulan. Selama periode ini, Evergrande semakin terjebak dalam krisis likuiditas, gagal membayar utang obligasi, dan kehilangan kepercayaan investor.
