MA Terbitkan SE Larangan Nikah Beda Agama, MUI: Wajib Ditaati

19 Juli 2023, 06:25 WIB
Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat Asrorun Ni'am Sholeh mengapresiasi terbitnya SE MA mengenai larangan nikah beda agama. /Instagram@ni'am_sholeh

KABAR BANTEN - Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran atau SE mengenai larangan nikah beda agama.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2/2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan diterbitkan pada 17 Juli 2023 dan ditandatangani Ketua MA Muhammad Syarifuddin.

SEMA nikah beda agama tersebut memuat dua poin penting. Pertama, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Baca Juga: Temui Ketua MA, Wakil Ketua MPR dan Ketum PB Al Khairiyah Bahas Putusan Pernikahan Beda Agama

Kedua, pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Menanggapi terbitnya SEMA nikah beda agama dari MA, Ketua Bidang Fatwa MUI Pusat Aarorun Ni'am Sholeh mengapresiasi langkah MA yang menerbitkan SEMA nikah beda agama tersebut.

"Saya mengapresiasi langkah Mahkamah Agung dalam menerbitkan aturan tentang larangan pencatatan perkawinan beda agama. Penerbitan SEMA ini sangat tepat untuk memberikan kepastian hukum dalam perkawinan dan upaya menutup celah bagi pelaku perkawinan antar agama yang selama ini bermain-main dan berusaha mengakali hukum," kata Asrorun Ni'am Sholeh dikutip dari unggahan di akun Instagram pribadinya@ni'am_sholeh, Selasa 18 Juli 2023.

Menurut dia, aturan ini wajib ditaati semua pihak, terutama bagi hakim yang selama ini tidak paham atau pura-pura tidak paham terhadap hukum perkawinan.

Baca Juga: Sinopsis Bukannya Aku Tidak Mau Nikah, Ketika Amanda Rawles Bertemu Orang yang Tepat di Waktu yang Tidak Tepat

Ni'am menjelaskan Undang-Undang Perkawinan sudah secara gamblang menjelaskan bahwa perkawinan itu sah jika dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama.

Dengan demikian, kata dia, peristiwa pernikahan pada hakikatnya adalah peristiwa keagamaan. Sementara negara hadir untuk mengadministrasikan peristiwa keagamaan tersebut agar tercapai kemaslahatan lewat pencatatan.

"Pencatatan perkawinan itu merupakan wilayah administratif sebagai bukti keabsahan perkawinan. Kalau Islam menyatakan perkawinan beda agama tidak sah, maka tidak mungkin bisa dicatatkan," ujar dia.

Namun, menurut Niam, selama ini ada orang yang mengakali hukum dengan mengajukan penetapan putusan pengadilan, dengan dalih UU Administrasi Kependudukan memberi ruang.

Baca Juga: Pengurus MUI Dilarang Bermain Politik Praktis, Sekum MUI Banten: Jika Ada Sebaiknya Mundur

Sementara, pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 secara jelas mengatur perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Selanjutnya, Pasal 8 huruf f UU Perkawinan mengatur larangan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dalam Islam, kata Niam, perkawinan beda agama itu terlarang.

"Jadi, tidak ada celah untuk praktik perkawinan beda agama. Islam mengharamkan, dan UU melarang. SE ini menegaskan larangan tersebut untuk dijadikan panduan hakim. Karenanya, pelaku, fasilitator, dan penganjur kawin beda agama adalah melanggar hukum," kata Niam.

Sebelumnya, dalam proses penyusunan SEMA, Mahkamah Agung mengundang wakil lembaga-lembaga agama untuk dimintai pendapatnya.

Niam sempat hadir dalam pertemuan tersebut guna mendiskusikan berbagai permasalahan seputar perkawinan beda agama, kasus-kasus putusan peradilan yang beragam, dan pentingnya memberikan panduan agar dipedomani para hakim.

Beberapa pekan sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Yandri Susanto dan Ketua Umum PB Al Khairiyah Ali Mujahidin bertemu Ketua MA Muhammad Syarifuddin.

Baca Juga: Seni Hajatan Akad Nikah di Banten, Begini Ceritanya

Dalam pertemuan tersebut, Yandri meminta MA segera membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama.

Menurut Yandri, pernikahan beda agama bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005 yang menolak pernikahan beda agama.

"Ini sangat penting, saya minta ke MA, agar masalah ini tidak berlarut-larut dan ke depan tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda terkait pernikahan beda agama," kata Yandri.***

Editor: Maksuni Husen

Sumber: Instagram@ni'am_sholeh

Tags

Terkini

Terpopuler