Namun di sana, katanya, ada pihak swasta berencana membuat kawasan komersial membutuhkan lahan. “Lalu, membuat daratan, membuat reklamasi, jadi ke situ,” katanya.
Bahkan, menurutnya, ada unsur menerabas ketentuan lingkungan hidup atau ada unsur hilangnya hajat hidup para nelayan. Sebab, sebagian berhadapan dengan perkampungan nelayan.
“Misalnya di Kamal Muara di Muara Angke, lalu ini juga berhadapan dengan kawasan Cengkareng Drain, dan muara sungai Angke. Efeknya mengganggu aliran sungai ke laut lepas,” katanya.
“Jadi bukan membantu mengendalikan banjir tapi malah berpotensi menghasilkan banjir. Nah kegiatan reklamasi yang 17 pulau itu sudah dihentikan, dengan cara mencabut 13 izin atas pantai pulau sehingga tidak bisa dilaksanakan,” katanya lagi.
Lebih kanjut, dia mengatakan, lalu empat yang sudah terlanjur jadi harus mengikuti semua ketentuan hukum dan juga ikut memberikan manfaat bagi masyarakat. “Itu janji kita dan alhamdulillah itu sudah dilaksanakan. Jadi Alhamdulillah itu sudah tuntas,” katanya.
Namun kembali soal Ancol, kata dia, lumpur hasil pengerukan sungai dan waduk itu memang menambah lahan. Penambahan lahan itu dalam istilah teknisnya adalah reklamasi, tapi beda sebab maupun maksud dan caranya.
Begitu juga beda pemanfaatannya dengan kegiatan yang selama ini tentang reklamasi 17 pulau itu. Selain itu, juga bukan bagian dari kegiatan reklamasi 17 pulau tersebut.
“Ini adalah bagian dari usaha menyelamatkan Jakarta dari bencana banjir. Masalahnya bukan sekadar soal reklamasi atau tidak reklamasi. masalahnya adalah kepentingan umumnya dimana, kerasa keadilan sosialnya dimana ketentuan hukumnya bagaimana,” katanya.
Untuk itu, 17 pulau itu tidak sejalan dengan kepentingan umum dan kemudian bermasalah dengan hukum serta mengganggu rasa keadilan. Sementara, di Ancol ini adalah proyek pemerintah untuk melindungi warga Jakarta dari banjir.
Baca Juga: Beredar Video Giring Ganesha dan Jokowi, Nampak Kompak dan Akrab Lakukan Ini