Tiga Penyebab Utama Korupsi, Salah Satunya Rekrutmen ASN dengan Imbalan, Mendagri Ungkap Celah Administrasi

- 25 Januari 2022, 11:28 WIB
Ilustrasi OTT KPK terhadap kepala daerah membuat Mendagri prihatin dan mengungkap tiga penyebab utama korupsi.
Ilustrasi OTT KPK terhadap kepala daerah membuat Mendagri prihatin dan mengungkap tiga penyebab utama korupsi. /ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

KABAR BANTEN-Inilah tiga penyebab utama yang membuat kasus korupsi masih kerap terjadi.

Dari tiga penyebab utama kasus korupsi masih terjadi, di antaranya penerapan administrasi pemerintahan yang membuka peluang tindakan tersebut.

Tiga penyebab utama kasus korupsi masih sering terjadi diungkap Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian.

Baca Juga: Kerengkeng Manusia di Rumah Bupati Langkat Nonaktif, Usut Dugaan Perbudakan, Polri Turun Tangan

Mendagri mengungkapkan itu pada Rapat Kerja bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Senin, 24 Januari 2022.

Rapat tersebut dihadiri Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dengan Kepala Daerah dan Ketua DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota se-Indonesia secara virtual.

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan Kemendagri, Tito Karnavian mengungkap tiga penyebab utama kasus korupsi masih sering terjadi.

Berikut tiga penyebab utama kasus korupsi masih sering terjadi:

1. Masih adanya sistem yang membuka celah terjadinya tindakan korupsi. 

Termasuk di dalamnya, sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan.

Selain itu, politik berbiaya tinggi, dan rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan. 

Mendagri membeberkan sejumlah penerapan administrasi pemerintahan yang membuka peluang terjadinya tindakan korupsi. 

Baca Juga: Belasan Orang Meninggal, Dibacok dan Terbakar di Ruang Karaoke, Pertikaian Dua Kelompok Warga di Sorong

Hal itu seperti sistem yang masih mengandalkan pertemuan fisik, alur birokrasi yang berbelit-belit, dan regulasi yang terlalu panjang. 

Dengan penerapan sistem administrasi pemerintahan seperti itu, berpotensi memunculkan tindakan transaksional. 

Karena itu, perlunya penerapan sistem administasi pemerintahan yang lebih transparan dan mengurangi kontak fisik. 

Di antaranya dengan memanfaatkan layanan digitalisasi di berbagai bidang, mulai dari perencanaan hingga eksekusi kebijakan.

Hal itulah yang memunculkan konsep smart city, smart government, dan e-government. 

“Banyak saya kira hal-hal tindak pidana korupsi by system karena sistemnya, oleh karena itu perbaikan sistem perlu kita lakukan,” ujarnya dikutip dari kemendagri go.id. 

2. Kurangnya integritas yang dimiliki individu, sehingga memunculkan tindakan korupsi. 

Hal itu juga didorong dengan kurangnya kesejahteraan yang didapatkan oleh penyelenggara negara. 

Karena itu, aspek kesejahteraan perlu dipikirkan untuk mencegah terjadinya korupsi. 

Meski, hal itu juga tidak sepenuhnya menjamin mampu menghilangkan perilaku korup.

“Tapi yang hampir pasti kalau semua kurang ya dia berusaha untuk mencari dan akhirnya melakukan tindak pidana korupsi,” terang Mendagri. 

3. Budaya atau culture yang seringkali ditemukan praktik-praktik yang salah, tapi dianggap benar karena kebiasaan.

Contohnya, adanya pimpinan yang menganggap bahwa prestasi bawahan diukur dari loyalitas yang salah kaprah. 

Baca Juga: Jadwal Pemilu 2024: Pilkada Digelar Terpisah, Lebih Dulu Pilpres, DPR, DPD, dan DPRD

“Budaya-budaya (korupsi) ini harus dipotong, dan ini memerlukan kekompakan dari atas sampai dengan bawah, memiliki satu mindset, frekuensi yang sama,” kata Mendagri. 

Menurutnya, tindak pidana korupsi harus ditekan seminimal mungkin untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. 

Karena dengan terselenggaranya pemerintahan yang bersih, diharapkan pendapatan asli daerah (PAD) dan kesejahteraan ASN akan ikut meningkat. 

“Kesejahteraan ASN, misalnya, itu akan dapat didongkrak dan naik, sehingga salah satu solusi (yaitu) untuk menekan tindak pidana korupsi,” tuturnya. 

Mendagri berpesan, penyebab-penyebab tersebut perlu diatasi.

Namun, upaya itu memerlukan kekompakan dari struktur paling atas hingga jajaran yang di bawah. 

Mendagri sendiri mengaku telah menyampaikan hal itu kepada jajarannya. 

Adapun rapat bersama tersebut digelar karena keprihatinan Mendagri terhadap fenomena operasi tangkap tangan (OTT) KPK kepada berbagai pihak, termasuk kepala daerah.

Mendagri terus mengingatkan tentang bahaya tindak pidana korupsi. 

Menurut Mendagri, kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah.

Selain berdampak pada individu yang bersangkutan, juga berdampak pada sistem pemerintahan.

"Termasuk kepercayaan publik terhadap pemerintah. Tergerusnya kepercayaan publik ini juga dapat menghambat pembangunan," ucapnya. 

Bukan hanya itu, juga dapat mengganggu sistem pemerintahan sebagai tulang punggung jalannya administrasi pemerintahan dan kenegaraan. 

Baca Juga: 370 Tersangka Terorisme Ditangkap, Barang Bukti dari Senpi hingga Detonator, Kapolri: Aksi Teror di 2021 Turun

“Saya sangat yakin banyak sekali kepala daerah yang berprestasi, yang telah melakukan kinerja dengan sangat baik," katanya.

"Namun apa pun juga, masalah-masalah hukum yang dalam bulan ini ditangani oleh penegak hukum, wabil khusus KPK, ini akan berdampak kepada kepercayaan publik,” jelasnya. ***

Editor: Yadi Jayasantika

Sumber: Kemendagri.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x