Setelah menyelesaikan pendidikannya, Rasuna Said pernah menjadi guru di Diniyah Putri Padang Panjang. Ia memiliki pemikiran bahwa kemajuan bagi kaum wanita tidak hanya dapat ditempuh melalui pendidikan formal, tetapi harus melalui perjuangan politik.
Sejak menimba ilmu di sekolah, Rasuna Said memang dikenal memiliki pemikiran yang cerdas, kritis, dan berani. Hal ini yang mendorong dirinya memutuskan untuk berhenti mengajar dan aktif di dunia politik.
Rasuna Said mengawali perjuangan politiknya saat bergabung dengan Sarekat Rakyat (SR). Lalu, ia mendirikan Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) di Bukittinggi pada 1930. Pada tahun-tahun selanjutnya PERMI mendirikan sekolah di berbagai daerah.
Rasuna Said juga pernah memberikan kritik keras atas polemik poligami yang pernah terjadi di Sumatera Barat. Menurutnya, saat itu poligami mengakibatkan tingginya angka perceraian.
Selain upayanya dalam memajukan pendidikan kaum wanita, Rasuna Said juga berani mengkritik kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Atas keberaniannya tersebut, Rasuna Said pernah dijebloskan ke penjara di Semarang pada 1932.
Setelah bebas dari penjara, Rasuna Said menjadi pemimpin redaksi di Majalah Raya. Ia aktif membuat tulisan-tulisan yang berani mengkritik pemerintah kolonial, sehingga tulisannya dianggap radikal.
Akhir Hayat
Setelah kemerdekaan Indonesia, Rasuna Said masih aktif berpolitik. Ia pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Sumatera mewakili Sumatera Barat. Rasuna Said juga pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS), dan anggota Dewan Pertimbangan Agung sampai akhir hayatnya.