Naik Kelas Meski Tak Sekolah, Indonesia Darurat Capaian Belajar?, Berikut Tiga Tren Mengkhwatirkan

- 20 Agustus 2021, 09:41 WIB
Ilustrasi sekolah yang belajarnya dialihkan ke rumah akibat pandemi Covid-19, membuat mereka tetap naik kelas meski tak sekolah.
Ilustrasi sekolah yang belajarnya dialihkan ke rumah akibat pandemi Covid-19, membuat mereka tetap naik kelas meski tak sekolah. / /Pixabay/akshayapatra

KABAR BANTEN-Kondisi pandemi Covid-19 memaksa murid dan siswa tak bisa sekolah, dan harus belajar di rumah. Mereka pun tetap naik kelas meski tak sekolah.

Akan tetapi, kondisi yang membuat mereka naik kelas meski tak sekolah memberikan dampak terhadap capaian belajar anak Indonesia.

Berdasarkan penelitian yang dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari theconvertion.com, pada Selasa, 17 Agustus 2021, berikut tiga tren yang sangat mengkhawatirkan terkait capaian belajar anak Indonesia.

Baca Juga: Anggaran Pendidikan 2022 Dialoksaikan Rp541,7 Triliun, Merdeka Belajar Jadi Prioritas

Tiga tren mengkhawatirkan terkait capaian belajar anak Indonesia:

Pertama, analisis terhadap data IFLS 2014 menunjukkan masih banyak anak sekolah yang tidak mampu menjawab soal berhitung yang seharusnya sudah mereka kuasai di jenjang kelas yang lebih rendah.

Misalnya, hanya dua pertiga anak di jenjang kelas 3 yang mampu menjawab pertanyaan pengurangan '49-23' secara tepat. 

Padahal, ini setara dengan kemampuan berhitung untuk anak di jenjang kelas 1. Rendahnya capaian belajar anak semakin terlihat pada pertanyaan yang lebih sulit.

 

Kedua, peningkatan kemampuan anak semakin mengecil seiring naik jenjang kelas yang ditempuh.

 Anak mengalami peningkatan kemampuan berhitung yang signifikan pada jenjang kelas 1 sampai dengan kelas 6. 

Namun, tren peningkatan tersebut melambat dan menjadi cenderung datar setelah memasuki jenjang kelas 7 ke atas.

 

Ketiga, ketika membandingkan daat IFLS tahun 2014 dengan tahun 2000, ditemukan bahwa kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian.

Dari data tersebut, belum menjelaskan lebih dalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan tren negatif pada pembelajaran anak di Indonesia tersebut.

Namun beberapa dugaan tentang hal-hal apa saja yang mendorong penurunan capaian belajar ini, setidaknya untuk kemampuan berhitung.

Salah satunya adalah perubahan terkait muatan berhitung sejak Kurikulum 2004. Perubahan ini membuat jam belajar untuk berhitung yang tadinya 8-10 jam Kurikulum 1994 berubah menjadi 5 jam per minggu.

Hal ini dapat memengaruhi kemampuan murid dalam numerasi dan pemecahan masalah (problem solving) berbasis hitungan.

Baca Juga: Nasib Lulusan SMA dan SMK di Banten, Kalah Bersaing dengan Angkatan Kerja Pendidikan Ini, Menurut BPS

Meskipun ini baru meninjau capaian belajar selama 2000-2014, namun tren negatif di atas kemungkinan besar juga terus terjadi dari tahun 2015 hingga saat ini. 

Pandemi Covid-19-19 bahkan berpotensi semakin memperparah ketertinggalan belajar murid di Indonesia.***

Editor: Yadi Jayasantika

Sumber: theconversation.com


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah