Mengenal Asal Usul Nama Jalan Multatuli Rangkasbitung, Jejaknya Ada di Surat Kabar Tahun 1933

16 Juli 2021, 19:04 WIB
Jalan Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. /Kabar Banten/Purnama Irawan

KABAR BANTEN - Asal usul nama Jalan Multatuli di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, terlacak dari pemberitaan di surat kabar (koran).

Surat kabar yang menunjukan asal usul nama Jalan Multatuli Rangkasbitung, Kabupaten Lebak itu diterbitkan pada tahun 1933.

Dalam surat kabar terbitan tahun 1933 itu tertuang dalam berita singkat terkait tempat tinggal pastor dan gereja berada tepat di sebelah rumah sakit di Jalan Multatuli, Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.

"Tidak dapat dipungkiri, nama Multatuli sudah menjadi identitas masyarakat Kabupaten Lebak, khususnya di Rangkasbitung sampai saat ini," kata Edukator Museum Multatuli Hendra Permana kepada Kabar Banten, Jumat, 16 Juli 2021.

Namanya diabadikan menjadi nama jalan, sekolah, radio, gedung dan lainnya. Pembentukan identitas itu pastilah melalui proses sejarah.

"Lalu, sejak kapan tepatnya?, cukup sulit menemukan data atau sumber-sumber untuk menjawab pertanyaan itu. Saya hanya menemukan berita singkat di surat kabar tahun 1933 mengenai Jalan Multatuli," katanya.

Baca Juga: Jalan Multatuli di Kabupaten Lebak, Akan Mencontoh Jalan Malioboro Yogyakarta

Itu pun tidak menjelaskan tentang sejak kapan dan kenapa dinamakan jalan Multatuli. Hanya sebuah berita mengenai kegiatan misi Katolik di Rangkasbitung.

"Di paragraf terakhir disebutkan, tempat tinggal pastor dan gereja berada tepat di sebelah rumah sakit di Jalan Multatuli," katanya.

Dari sini bisa disimpulkan Multatuli sejak 1933 sudah menjadi nama jalan di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak.

"Informasi lain datang dari R. Broersma yang pernah menulis di surat kabar Nieuwe Rotterdam, lalu dimuat ulang Algemeen Handelsblad terbitan Semarang pada 9 Juni 1926," katanya.

Ia menceritakan tentang monumen meja batu di halaman rumah bekas kediaman Douwes Dekker (Eduard Douwes Dekker sebagai Asisten Residen di Lebak yang memiliki nama pena Multatuli) di Rangkasbitung.

Hal yang menarik adalah, ia menjelaskan bahwa tidak ada jalan yang dinamai menurut namanya (Multatuli).

"Dua informasi dari surat kabar ini dapat ditarik asumsi awal bahwa penamaan jalan utama di Rangkasbitung itu berkisar di rentang tahun 1926 hingga 1933," katanya.

Baca Juga: Kunjungi Museum Multatuli Rangkasbitung, Warga Amerika Jadi Satu-satunya Wisatawan Asing Saat Pandemi Covid-19

Ada hal menarik di rentang waktu itu karena mulai awal abad ke-20 hingga senja kalanya pemerintahan kolonial pada 1941, Indonesia (Hindia-Belanda) mulai menerapkan sistem Politik Etis.

Ditandai dengan pidato Ratu Belanda (Wihelmina), perlu adanya balas budi kepada tanah jajahan.

"Memang, politik etis memberikan cukup perubahan di koloni, khususnya diberikan pendidikan masif hingga jadi senjata makan tuan karena memunculkan nasionalisme Indonesia," katanya.

Pada tahun 1926 pula menjadi tanda Hindia-Belanda secara kehidupan menjadi semacam negara polisi (politiestaat) untuk membumihanguskan gerakan-gerakan nasionalis saat itu.
Politik Etis merupakan buah pikiran orang-orang Liberal di Belanda dari hasil perdebatan panjang sejak cultuurstelsel.

"Sistem ini menjadi sebuah kompromi dengan kaum konservatif Belanda untuk menjalankan koloni sesuai dengan ide humanis yang berkembang di Eropa pada masa itu," katanya.

Baca Juga: Serunya Berkeliling Museum Multatuli Lebak Secara Virtual, Jangan Kaget Disambut Saijah dan Adinda

Dalam perdebatan itu, tidak sedikit orang-orang Liberal menggunakan penggambaran dalam roman Max Havelaar (Novel karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker) untuk menunjukkan kebobrokan sistem sebelumnya.

Kalau tidak dilebih-lebihkan, Multatuli bagi kaum Liberal Belanda mungkin dianggap pahlawan karena mendukung ide-ide pembaruannya.

"Atas jasa-jasanya karena menunjukkan kehidupan di tanah jajahan, perlu adanya “sites of memory”, yaitu penanda ingatan masa lalu namun dalam tatapan atau kendali sejarah," katanya.

Ingatan atau memori tidak lagi bersifat spontan dan naruliah, tetapi bagian dari “duty of remember” (kewajiban untuk mengingat). Inilah yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, memainkan politik memori dengan menghidupkan sosok Multatuli di tempat ia bertugas melalui nama jalan atau pendirian monumen meja batu (seperti yang diceritakan Broersma).

"Saya bisa berkata demikian karena memang jalan protokol itu sudah dinamakan sejak zaman kolonial, bukan ketika Indonesia merdeka. Terlepas dari hal itu, upaya yang dilakukan oleh pemerintah kolonial pada akhirnya menciptakan memori kolektif di tengah masyarakat," katanya.

Baca Juga: Sepak Terjang Multatuli Terkenal Karena Novel, Nyimas Gamparan Angkat Senjata Melawan Kolonial

Nama Multatuli jadi identik dengan Kabupaten Lebak, khususnya Rangkasbitung.

"Jadi, identitas kita, Rangkasbitung kotanya Multatuli adalah “warisan kolonial," katanya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, mengapa identitas itu masih bertahan hingga hari ini? Jawabannya sederhana, karena memang masih sedikit narasi tandingan, khususnya sejarah lokal yang merekam kehidupan sehari-hari masyarakat Lebak dengan dinamika internalnya.

"Hal itu juga menjadi otokritik bagi sejarawan, terlebih saya, untuk mengeksplorasi peristiwa-peristiwa masa lalu di Lebak dari perspektif masyarakat lokal sebagai subyek, bukan obyek," katanya.

Upaya yang dilakukan oleh Museum Multatuli yang baru berdiri sekitar 2 tahun sebetulnya sudah bagus. Dalam dioramanya tidak hanya menceritakan Multatuli dengan peristiwa yang dulu disebut “Perkara Lebak” saja.

Baca Juga: Mengenal asal usul Nama Leuwidamar, Tempat Bermukim Masyarakat Baduy, Bermakna Hutan dan Tanaman

Tapi ia juga menghadirkan narasi lain seperti anti-kolonialisme, proto-nasionalisme awal, hingga tokoh-tokoh yang punya kedekatan emosional dan kultural dengan Lebak.

"Namun, tetap saja harus mengeksplorasi lebih jauh sampai batas menemukan identitas lain yang tidak berhubungan dengan Multatuli saja, baik sejarah maupun budayanya. Pada akhirnya pemaknaan Multatuli haruslah dipahami sebagai bagian dari proses sejarah di Lebak," katanya.

Selain itu Multatuli yang selalu identik dengan Kabupaten Lebak yang diduga bentukan atau warisan Kolonial bukan sesuatu hal buruk juga karena kebenaran itu sifatnya relatif. Pun bagi yang menganggap Multatuli Pahlawan atau bukan, jangan dijadikan persoalan rumit.

"Keberagaman pendapat itulah yang menarik untuk terus diperdebatkan, asal dalam tataran akademis. Dari sana akan terbentuk pemahaman masa lalu kita mengenai sejarah yang tidak selalu identik dengan pelayan nasionalisme," katanya.***

Editor: Kasiridho

Tags

Terkini

Terpopuler