Inilah Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani Ulama Banten yang Bertaraf Internasional

14 Oktober 2022, 07:00 WIB
Inilah Syekh Nawawi Al-Bantani ulama Banten yang mendunia. /tangkap layar channel youtube ASKAMZA./

KABAR BANTEN - Siapa yang tidak kenal dengan ulama Banten yang satu ini, beliau adalah Syekh Nawawi Al-Bantani, beliau seorang ulama asal Banten bertaraf Internasional.

Beliau bergelar Al-Bantani karena Syekh Nawawi Al-Bantani berasal dari provinsi Banten Indonesia.

Seorang ulama yang produktif, Syekh Nawawi Al-Bantani pernah menjadi Imam Masjidil Haram dan banyak menulis kitab-kitab penting sebagai referensi pembelajaran pesantren.

Baca Juga: Selain di Banten, Syekh Nawawi Al Bantani Dijadikan Nama Jalan di Jakarta, Ini Harapan Anies Baswedan

Selain itu Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan ulama sufi yang sering disebut sebagai penyambung sanad ulama Indonesia.

Sebagaimana dikutip Kabar Banten dari YouTube ASKAMZA channel, berikut biografi Syekh Nawawi Al-Bantani.

Syekh Nawawi Al-Bantani lahir di Kampung Tanara, Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten.

Pada tahun 1813 Masehi atau 1230 Hijriah, Syekh Nawawi Al-Bantani lahir di lingkungan pesantren, yang menjadi keseharian keluarganya.

Ayahnya bernama Kiai Umar bin Arabi dan ibunya bernama Zubaidah, Syekh Nawawi Al Bantani merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), lebih tepatnya lagi dari jalur putra Maulana Hasanuddin ( Sultan Banten I).

Pendidikan Syekh Nawawi Al-Bantani dimulai sejak kecil, beliau dapat tempaan dan bimbingan langsung dari orang tuanya, beliau mengaji dari ayahandanya kitab-kitab nahwu, sharaf, fiqih dan tafsir.

Pada usia 15 tahun, Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan kesempatan untuk mengaji ke tanah suci, di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji sekaligus belajar dengan beberapa ulama.

Di tanah suci mekah tersebut beliau belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadist, tafsir, dan fiqih.

Diantara guru-guru beliau yaitu Sayid Ahmad Nahrawi, Sayid Ahmad Dhimyati, Ahmad Zaini Dahlan, dan Muhamad Khatib Al Hambali.

Setelah mengaji dengan beberapa guru di Mekkah, Syekh Nawawi Al-Bantani melanjutkan belajar di Mesir dan Syam.

Kemudian Syekh Nawawi Al-Bantani sempat pulang ke Indonesia selama 3 tahun.

Ketika itu pada masa penjajahan Belanda, kawasan Banten tidak dalam situasi yang kondusif.

Syekh Nawawi Al-Bantani menyaksikan praktek-praktek ketidak adilan, kesewenang-wenangan dan penindasan yang dilakukan
Pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Tak ragu-ragu gelora jihad pun berkobar, sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran.

Lalu Syekh Nawawi Al-Bantani berdakwah keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah sampai Pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya.

Seperti dilarang berkhutbah di masjid-masjid, bahkan belakangan Syekh Nawawi Al Bantani dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Akhirnya Syekh Nawawi Al-Bantani kembali ke Mekah setelah ada tekanan pengusiran dari Belanda.

Tepat ketika puncak terjadinya perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830.

Begitu sampai di Mekkah, Syekh Nawawi Al-Bantani segera kembali memperdalam ilmu agama pada guru-gurunya.

Dalam catatan perjuangan kebangsaan, Syekh Nawawi Al-Bantani termasuk sebagai ulama sekaligus pejuang yang berani melawan penjajah.

Bahkan ketika Syekh Nawawi Al-Bantani di Mekah beliau menghimpun santri-santri Nusantara agar menolak penjajahan dengan tidak mengikuti adat istiadat serta sistem yang diajarkan oleh Belanda.

Salah satu diantaranya adalah penolakan untuk mengikuti pakaian seperti pejabat-pejabat Belanda.

Terkait dengan perjuangan para santri dan kiai pada tahun 1888 di Cilegon Banten, sarjana-sarjana yang dididik oleh sistem kolonial atau peneliti yang menggali dari arsip kolonial, akan melihat bahwa peristiwa Cilegon 1888 merupakan pemberontakan.

Namun dengan prespektif yang berbeda bahwa peristiwa ini dapat dilihat sebagai perjuangan untuk melawan kuasa kolonial.

Jaringan Tarekat yang menjadi tulang punggung pergerakan, juga terkait dengan jaringan santri kiai yang melibatkan Syekh Nawawi Al Bantani sebagai episentrum pergerakan.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 9 juli 1888 di Cilegon Banten, gerakan ini dipimpin oleh Haji Abdul Karim, Tubagus Ismail, Haji Marzuki, dan Haji Wasid

Diketahui Haji Wasid merupakan murid Syekh Nawawi Al-Bantani selama mengaji di Mekah yang kemudian kembali ke tanah air Indonesia dan mengajar santri di kampung halamannya di daerah Beji Cilegon Banten.

Selama di Mekah pada periode ke dua ini, Syekh Nawawi Al-Bantani mengabdikan diri dan mengajar dan menulis kitab.

Sebagai ulama yang ngajar di Mekkah, Syekh Nawawi Al Bantani menjadi jembatan mata rantai jaringan ulama Nusantara dan Arab.

Syekh Nawawi Al-Bantani juga merupakan salah seorang ulama yang mengajar di Masjidil Haram Mekkah Al Mukarramah bersama dengan kawan seperjuangannya yaitu Syekh Ahmad Khatib dan Shekh Mahfudz pada akhir abad 19 dan awal abad 20

Syekh Nawawi Al Bantani mulai terkenal saat menetap di Syi'ib Ali Mekkah, beliau mengajar di halaman rumahnya.

Awal mula muridnya hanya puluhan, tetapi semakin lama jumlahnya semakin bertambah.

Murid Syekh Nawawi Al-Bantani datang dari berbagai penjuru dunia, hingga jadilah Syekh Nawawi Al-Bantani sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama terutama dalam bidang ilmu tauhid, fiqih, tafsir dan tasawuf.

Banyak santri-santri dari Indonesia yang datang berguru kepada beliau, di antaranya adalah Kiai Kholil Madura, Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Asnawi, Kiai Asy'ari Bawean, Kiai Tubagus Muhammad Asnawi, Kiai Najihun, Kiai Ilyas, Kiai Abdul Ghaffur, dan Kiai Tubagus Sukri dari jawa barat.

Nama Syekh Nawawi Al-Bantani mulai terkenal ketika beliau ditunjuk sebagai Imam Masjidil Haram menggantikan Syekh Ahmad Khatib As Syambasi.

Tidak hanya di kota Mekkah dan kota Madinah saja Syekh Nawawi Al-Bantani dikenal, bahkan di Negara Suriah, Mesir, Turki hingga Hindustan namanya begitu terkenal.

Dalam pemahaman tasawuf, Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan tokoh sufi beraliran Kodiriyah, aliran tersebut berdasarkan pemahaman pada ajaran Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Pada ranah Tasawuf Syekh Nawawi Al-Bantani menulis kitab Salalimul Fudhala, yang di dasarkan pada teks pelajaran tasawuf, hidayah al adzkiya illa thariq al auliyal karya Zain ad Din al Malibari yang ditulis pada tahun 914 Hijriah atau 508 Masehi, kitab ini populel di pesantren-pesantren tanah jawa.

Syekh Nawawi Al-Bantani sering mengaku sebagai pengikut Imam Asy'ari atau Asy'ariyah, sebagai pengikut Imam Asy'ari.

Syekh Nawawi Al-Bantani memperkenalkan konsep sifat-sifat Allah SWT.

Dengan demikian seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya, karena sifat Allah adalah perbuatannya.

Untuk menjelaskan kepada pembaca awam, Syekh Nawawi Al-Bantani membagi sifat Allah dalam tiga bagian yaitu wajib, mustahil dan jaiz.

Dari penjabaran tersebut sifat wajib memiliki sifat tasdih yang melekat pada Allah SWT, dan mustahil tidak adanya.

Sedangkan sifat mustahil merupakan sifat yang pasti tidak ada pada Allah SWT dan wajib tidak adanya.

Sedangkan sifat jaiz atau mungkin adalah sifat yang boleh ada dan boleh tidak ada pada Allah.

Dari kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi Al-Bantani, terlihat bahwa beliau berhasil memperkenalkan teologi Asy'ari dalam sistem pemikiran kaum muslim di Indonesia terutama transmisi pengetahuan melalui komunitas pesantren.

Syekh Nawawi Al-Bantani juga membahas tentang dalil naqli dan aqli, menurut beliau dalil ini harus digunakan bersama-sama.

Jika terjadi pertentangan diantara keduanya, maka dalil naqli harus di dahukan, menurut Syekh Nawawi Al-Bantani menjadi kewajiban seorang muslim untuk memahami keesaan Allah dengan memahami dalil-dalil yang menjadi petunjuk keberadaan dan kemaha besaran sang Khalik.

Bagi Syekh Nawawi Al-Bantani pemikiran-pemikiran dalam bidang tasawuf yang disampaikan dalam karya-karyanya berakar dari telaah sekaligus petualangan batinya

Syekh Nawawi Al-Bantani mengibaratkan syariat sebagai sebuah kapal dan tarekat dengan sebuah laut, dan hakikat merupakan ikan dalam lautan yang hanya dapat diperoleh dengan kapal yang berlayar di samudera luas.

Syariat dan tarekat menurut Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan awal perjalanan seorang sufi, sementara hakikat merupakan hasil dari syariat dan tarekat.

Dengan demikian Syekh Nawawi Al-Bantani menilai bahwa ilmu tarekat menjadi jembatan menuju hakikat, asalkan tidak bertentangan dengan syariat.

Pemikiran Syekh Nawawi Al-Bantani berbeda dengan beberapa sufi Indonesia lainnya, seperti dengan Hamzah Fanduri, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf as-Singkili.

Syekh Nawawi Al-Bantani lebih dekat dengan pemahaman Imam Al Ghazali dalam memandang sinergi tarekat, syariat, dan hakikat.

Dalam catatannya tentang fiqih dan tasawuf, terutama dalam kitab jalalen al fudhala, Syekh Nawawi Al-Bantani terlihat sebagai Imam Al Ghazali di era abad ke-20.

Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani ilmu lahiriah dapat diperoleh langsung dari ptoses berguru dan belajar, sehingga mencapai derajat alim.

Sedangkan ilmu batin diperoleh melalui proses dzikir, muraqabbah, musyahadah, sehingga mendapatkan derajat arif.

Dalam pandangan Syekh Nawawi Al-Bantani seorang muslim yang abid, tidak hanya menjadi alim dengan menguasai ilmu-ilmu lahiriah, namun juga mengasah kepekaan batin dengan menyikap rahasia spiritual.

Keseimbangan ilmu lahir dan ilmu batin, kemampuan analisa dan kepekaan rasa menjadikan seorang muslim mendapatkan cahaya yang lebih terang untuk memahami kekuasaan dan ilmu pengetahuan Allah.

Dengan demikian tasawuf bagi Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan sebagai jembatan untuk memperbaiki adat dan etika manusia .

Dari prespektif ini, dapat dipahami bahwa penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batiniah, maka akan berakibat pada terjerumusnya manusia pada kefasikkan.

Sedangkan penguasaan ilmu batin semata tanpa ada perimbangan ilmu lahiriah, hanya akan menjadikan manusia terjebak pada perilku zindik.

Syekh Nawawi Al-Bantani merupakan penulis yang produktif dengan karya yang populer di komunitas pesantren Indonesia.

Beberapa karya beliau seperti ilmu kalam, fiqih, akhlak, dan tasawuf hingga tafsir.

Dalam bidang ilmu kalam, Syekh Nawawi Al-Bantani menulis kitab fathul majid, tijn ad Darari, kasyafatus syaja, an Nahjatul Jaddah, dazariatul yaqin alaummul barahi, ar Risalah al Jamia baina ushuluddin wal fiqh wat tasawuf, ats tsimar al yaniah, dan nurad dhalam.

Kitab-kitab Syekh Nawawi Al-Bantani tentang ilmu fiqih adalah at tausyiah, sulam al munajat, nihayatuz zayn, mirqat as as shuud at tasdhdiq, uqud al lujjain fi bayyan huqq az zaujaini, qutul habib al gharib

Sedangkan kitab-kitab Syekh Nawawi Al-Bantani dalam ilmu tafsir adalah at tafsir al munir li ma'alim at tanzil (tafsir marah labib).

Syekh Nawawi Al-Bantani wafat di Mekkah pada tanggal 23 syawal 1314 Hijriah atau 1897 Masehi, makamnya terletak di Jannatul Mualam Mekkah.

Makam Syekh Nawawi Al-Bantani bersebelahan dengan makam anak perempuan Sayyidina Abu Bakar As Sidiq yaitu Asmah binti Abu Bakar As Sdiq.

Diantara gelar kehormatan yang disematkan pada Syekh Nawawi Al-Bantani adalah Al Sayyid Al Ulama Al Hijaz yaitu tokoh ulama Hujaz atau Sayyidul Hijaz atau penjaga hijaz, Nawawi At Tsani atau Nawawi ke dua, Al Imam Wa Al Fahm Al Mudaqqiq atau tokoh dan pakar dengan pemahaman dengan sangat mendalam, A'Yan Ulama Al Qarn Ar Ram 'Asyar Li Al Hijrah atau tokoh ulama abad 14 Hijriah, Imam Ulama Al Haramain atau Imam Ulama dua kota suci, Asy Syaikh Al Fakih atau disematkan oleh kalangan pesantren, sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia atau disematkan oleh para ulama Indonesia.

Ada sebuah kisah yang disarikan dalam cerita lisan yang berkembang di komunitas pesantren.

Suatu hari Syekh Nawawi Al-Bantani sedang menulis kitab Bidayah Al Bidayah saat itu lampu minyak yang digunakan untuk meneranginya padam padahal ketika itu beliau sedang menaiki unta.

Sungguh dan ketekunan yang tiada tara menggambarkan Syekh Nawawi Al-Bantani tidak menyiakan waktu dalam menulis.

Kemudian Syekh Nawawi Al-Bantani berdoa jika kitab ini dianggap penting dan bermanfaat untuk kaum muslimin semoga Allah memberikan sinar agar beliau dapat melanjutkan menulis.

Setelah itu tidak disangka-sangka jempol beliau mengeluarkan api hingga bersinar terang, lalu beliau dengan tenang melanjutkan menulis .

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi, bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali.

Kemudian tulang jenazah diambil dan disatukan dengan tulang jenazah yang lainnya.

Selanjutnya semua tulang belulang itu dikuburkan di tempat lain diluar kota dan lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya dan silih berganti

Kebijakan tersebut dilakukan tanpa pandang bilu, setelah makamnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburannya.

Tetapi yang terjadi adalah hal yang tidak lazim, para petugas kuburan itu tidak menemukan tulang belulang seperti biasanya.

Yang ditemukan adalah satu jasad yang masih utuh, tidak kurang satu apapun, tidak lecet dan tidak ada tanda-tanda pembusukan seperti jenazah-jenazah pada umumnya.

Baca Juga: Sering Terlupakan, Berikut 7 Ulama yang Telah Berjasa dalam Kemerdekaan Indonesia

Bahkan kain kafan penutup jasad Syekh Nawawi Al-Bantani tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.

Itulah biografi Syekh Nawawi Al-Bantani, yang merupakan ulama Banten yang yang bertaraf internasional, semoga bermanfaat.***

Editor: Rifki Suharyadi

Sumber: YouTube Azkamsa Channel

Tags

Terkini

Terpopuler