Kisah Pangeran Astapati, Sang Panglima Perang Kesultanan Banten dari Kanekes Baduy

11 Januari 2024, 16:03 WIB
Kisah Pangeran Astapati, Sang Panglima Perang Banten dari Baduy /Google /First Step

 


KABAR BANTEN – Raden Wirasuta yang mempunyai gelar Pangeran Astapati, adalah panglima perang Kesultanan Banten yang berasal dari Baduy.

Penduduk Baduy yang berbahasa Sunda ini, menamakan dirinya sebagai orang Kanekes, sedangkan istilah Baduy adalah sebutan orang luar yang justru tidak disenangi oleh orang Kanekes itu sendiri.

Cerita menarik tentang Kesultanan Banten belum lengkap bila tidak menceritakan riwayat Pangeran Astapati yang sakti mandraguna.

Baca Juga: Sejarah Cina Benteng Tangerang Sebagai Awal Peradaban Tionghoa di Banten

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi Cahnnel, berikut sejarah hidup Raden Wirasuta atau Pangeran Astati.


Pangeran Astapati ini tidak dimakamkan di komplek pemakaman raja-raja di serambi Masjid Agung Banten, akan tetapi berada di pemakaman keluarga di Kampung Odel, Desa Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.

Siapa sebenarnya Pangeran Astapati itu? Dari catatan Babad Banten, berada pada masa sultan Banten ke-6.

Dimana Kesultanan Banten penuh dengan konflik, yakni masa pemerintahan Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Haji yang memerintah dari tahun 1672 - 1687.

Sultan Haji adalah anak sulung Sultan Ageng Tirtayasa yang bernama 'Abul Fath 'Abdul Fattah yang memerintah dari tahun 1651 - 1672.

Dari keempat istrinya Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 27 anak (putera dan puteri), di mana sesuai dengan kebiasaan dalam tata pemerintahan, beliau mengangkat putra pertamanya menjadi Putra Mahkota.

Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam struktur pemerintahan.

Wewenang Putra Mahkota cukup besar, mengingat setiap keputusan kerajaan, merupakan hasil musyawarah antara Sultan, Mangkubumi dan Putra Mahkota.

Karena itu pula maka Putra Mahkota mempunyai pembantu-pembantu sendiri.

Pada masa itu Sultan Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa yang dikenal sebagai Sultan Banten yang anti terhadap Belanda, karena itu beliau membangun istana kedua di Desa Tirtayasa.

Desa Tirtayasa adalah daerah yang paling dekat untuk menyerang pertahanan Belanda di Tangerang dan Angke.

Karena itulah Sultan Ageng lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.

Keberadaan Sultan di Tirtayasa meninggalkan Surosoan dimanfaatkan oleh Belanda untuk mengadu domba dan memecah belah Kesultanan Banten.

Belanda menghasut Sultan Haji, melalui persahabatan antara Sultan Haji dan Belanda menjadikan Belanda memberikan tentaranya sebagai pasukan tambahan di Keraton Surosoan.

Sultan Haji mengirimkan utusan ke Batavia untuk memberitahukan pada VOC bahwa yang berkuasa di Surosoan adalah Sultan Haji serta mengirimkan ucapan selamat kepada Cornelis Spelman atas diangkatnya sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia.

Padahal Belanda baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon, sehingga Belanda dapat menguasai Cirebon hal tersebut semakin memperuncing keadaan dan terbelahnya kekuatan politik militer Kesultanan Banten dalam menghadapi Belanda.

Sikap politik Sultan Haji tersebut kemudian berbuntut terjadinya penyerbuan Sultan Ageng Tirtayasa ke Surosoan yang berakibat Surosoan dapat diduduki Belanda.

Nama Kanekes berasal dari nama Sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu.

Selain itu nama orang Kanekes biasa pula menamakan dirinya orang Rawayan.

Nama ini berasal dari nama sebuah Sungai Cirawayan, dekat kampung Cikeusik di daerah Baduy Dalam.

Mengenai hubungan Baduy dengan Banten, dapat ditelusuri dari berbagai sumber naskah kuno seperti: Cariosan Prabu Silihwangi, serta sejarah tuturpitutur (oral history) atau yang kemudian dikembangkan sebagai life histories approach (Yudistira Garna, 1991: 73-74).

Sultan Ageng Tirtayasa kerap kali berperang, di dalam peperangan itu Wirasuta menampakkan kecakapannya, dan untuk itu kemudian ia diangkat menjadi pangeran dan dinikahkan dengan salah seorang anak dari Sultan Ageng Tirtayasa.

Pangeran Wirasuta diangkat menjadi Patih atau setingkat dengan Perdana Menteri.

Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya.

Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut.

Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati). Disekitar makam Pangeran Astapati terdapat pula makam keturunannya.

Komplek makam tersebut diberi nama Mulya Srama dan terdapat makam Raden Tumenggung Djajadiningrat yang wafat pada 25 Juli 1890, Raden Hasan Djajadiningrat yang wafat padda 30 Desember 1920, Raden Adipati Sutraningrat yang wafat pada 3 Juli 1890, Profesor Sindian Isa Djajadiningrat yang wafat pada 20 April 1968, RAA Hilman Djajadiningrat yang wafat pada 25 November 1963 dan Raden Tjakradiningrat yang wafat pada 9 Juli 1888.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Banten di Museum Situs Kepurbakalaan di Kawasan Kesultanan Banten

Itulah sejarah hidup Pangeran Astapati yang merupakan panglima perang Banten yang berasal dari Baduy. ***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi

Tags

Terkini

Terpopuler