RUU Ciptaker sebagai Instrumen untuk Tarik Investasi Berorientasi Ekspor

23 September 2020, 00:31 WIB
Berly Martawardaya, Ekonom Universitas Indonesia.* /

KABAR BANTEN - Ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya menyebut ekspor manufaktur Indonesia termasuk terendah di Asia. Untuk itu Presiden Jokowi mencanangkan transformasi ekonomi untuk memprioritaskan investasi yang berorientasi ekspor, yang salah satu instrumennya adalah Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).

“Negara-negara Asia Timur seperti Korea, kemudian negara Malaysia, Taiwan dan Thailand ekonominya bergerak maju karena banyak investasi di sektor manufaktur. Ekspor manufaktur Indonesia paling rendah,” ungkap Berly pada diskusi bertajuk Menyoal Konflik dalam RUU Cipta Kerja, Selasa 22 September 2020.

Berly menjelaskan, masalah rendahnya presentase investasi berorientasi ekspor di Indonesia sudah lama berlangsung. Trajektorinya turun sejak tahun 2000. Padahal Indonesia belum termasuk negara kaya seperti Jepang atau Korea yang beralih dari sektor manufaktur ke sektor jasa.

Menurut Berly, kemunculan RUU Omnibus Law Ciptaker berangkat dari beberapa masalah. Pertama, banyak peraturan yang tumpang tindih, akibatnya tidak ada kepastian dan menghambat dunia usaha. Oleh karenanya, banyak peraturan yang perlu diubah supaya sinkron.

Baca Juga : Soal RUU Ciptaker, Kepentingan Para Pencari Kerja Juga Perlu Perhatian

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) ini mengatakan, untuk mengubah semua peraturan yang menghambat itu membutuhkan waktu yang lama.

“Faktualnya, mengubah satu undang-undang saja bisa memakan waktu 1-2 tahun di DPR RI,” katanya.

Berly membeberkan peringkat kemudahan buka usaha di Indonesia yang terbenam di peringkat 144. Untuk itu, UU yang ingin meningkatkan investasi sudah seharusnya untuk mengatasi persolan itu.

“Ada 18 prosedur pusat dan Pemda untuk buka usaha di Indonesia. Itu termasuk paling sulit. Kemudian perlu 200 hari untuk dapat IMB. Itu paling lama dibanding negara lain,” tutur Berly.

Yang menjadi latar belakang kemunculan RUU Cipta Kerja kedua adalah dalam UU terkait usaha banyak yang menyinggung wewenang menteri-menteri. Namun menurut Berly, dalam praktiknya, terdapat kementerian yang tidak tanggap untuk meresponsnya. Akibatnya, dalam RUU Cipta Kerja wewenang itu diambil alih oleh Presiden.

Baca Juga : LPS Koperasi Diperjuangkan Masuk RUU Cipta Kerja

Menurut Berly, tujuan RUU Cipta Kerja itu bagus. Tetapi dalam isinya, terdapat pasal-pasal yang perlu dikritisi dan salah arah. Ia memberikan catatan terkait izin dalam RUU Cipta Kerja yang prosedurnya berbasis risiko.

“Analisa berbasis risiko, perlu dilengkapi dengan analisa dan ada safeguard seperti di Australia,” tegasnya.

Selain itu, ia berharap adanya RUU Cipta Kerja tidak mengorbankan kawasan desa (hutan dan SDA) untuk kesejahteraan (penghuni kota). Katanya, jika mengabaikan lingkungan, kerugian ekonominya tinggi.

“Pertumbuhan ekonomi dan investasi rendah, yang kita butuhkan adalah sektor manufaktur berorientasi ekspor. RUU Ciptaker ini justru mendorong investasi berbasi sumberdaya alam,” tambah Berly.

Berly juga menilai perlu agar RUU Cipta Kerja diikuti perbaikan sektor kesehatan, kualitas tenaga kerja dan infrastruktur. Menurutnya itu akan ampuh menarik investor asing khususnya di sektor manufaktur yang berorientasi ekspor.***

Editor: Kasiridho

Tags

Terkini

Terpopuler