Sejarah KH Sochari Ulama Kharismatik dan Pejuang Kemerdekaan yang Menjadi Nama Jalan di Kota Serang

16 Maret 2024, 19:32 WIB
Sejarah KH Sochari Ulama Kharismatik dan Pejuang Kemerdekaan yang Menjadi Nama Jalan di Kota Serang /YouTube /Mang Dhepi


KABAR BANTEN – Salah satu nama ruas jalan di Kota Serang adalah KH. Sochari, yang mempunyai lokasi ruas jalan dari Perapatan Warung Pojok hingga Simpang Empat Sumur Pecung, Kota Serang, Provinsi Banten.


Siapakah sebenarnya Kiai Haji Sochari dan apa jasanya hingga namanya diabadikan menjadi jalan raya untuk dikenang? Bagi warga Al-Khairiyah, nama KH Sochari tidak asing lagi.

Beliau adalah seorang pejuang kemerdekaan dan merupakan santri angkatan pertama yang dididik langsung oleh Brigjen. KH. Syam’un.

Baca Juga: Sejarah Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Samaun Bakri Namanya Diabadikan Jadi Nama Jalan di Kota Serang Banten

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi Channel, berikut kisah sejarah KH. Sochari yang berasal dari Pipitan, Walantaka, Kabupaten Serang.


KH. Sochari lahir pada tahun 1889 di Desa Pipitan, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Tak heran jika putra Kiayi Haji Aliyudin atau lebih dikenal dengan sebutan KH. Ali, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Darussalam yang didirikan pada tahun 1917 di Desa Pipitan, ibunya bernama Nyai Marni.

Dalam garis keluarga KH. Sochari merupakan anak nomor ke-3 dari 7 bersaudara dan ia memiliki 6 saudara tiri dari istri kedua ayahnya, bernama Nyai Marwi.

KH. Sochari diabadikan menjadi nama Jalan Raya di sekitar Kidang, Serang Kota.

Pada masa mudanya, selama hidupnya beliau menghabiskannya untuk mendapatkan pendidikan agama, tauhid, aqidah dan akhlaq dari kedua orang tuanya.

Selain itu dalam perkembangannya, beliau belajar ke beberapa pesantren yang ada di Banten, diantaranya di daerah Leles arah Carenang, pesantren di daerah Cikaduen, dan belajar di pesantren Al-Khairiah Citangkil, pimpinan Brigjen. KH. Syam’un.

Beliau merupakan santri angkatan pertama di pesantren tersebut. Teman seangkatanya yang banyak diketahui masyarakat Serang seperti Prof. Sadeli Hasan, dekan pertama IAIN Sunan Gunung Jati Cabang Serang, yang sekarang berubah menjad UIN SMH Banten.

Setelah Brigjen. KH. Syam’un pergi haji pada tahun 1923, KH. Sochari kembali ke kampung halamannya untuk membantu ayahnya di pesantren.

Beliau juga mendirikan Madrasah Al-Khairiyah di Desa Pipitan yang merupakan cabang ketiga Al-Khairiyah setelah Citangkil dan Delingseng.

Di samping sebagai pengasuh pondok pesantren, KH. Sochari juga dikenal sebagai mubalig yang ahli dan ulung dalam berpidato. Sehingga setiap kali memberikan ceramah, pendengarnya menyimak dengan antusias dari awal hingga akhir.

Dengan gaya bicaranya yang sejuk diselingi guyonan yang kocak, ceramahnya dapat menghibur semua kalangan. Kelebihan lain dari beliau adalah keluhuran ahlaknya.

KH. Sochari dikenal sebagai sosok ulama yang bertutur kata lembut dan pandai bergaul, dalam bergaul beliau tidak pernah memandang latar belakang seseorang.

Wajar saja jika Ia bisa menjalin hubungan baik dengan kelompok NU, Muhamadiyah, jawara bahkan PKI sekalipun.

Salah satu tokoh nasional dari Masyumi yang bernama Kasman Singodimejo, merupakan teman baik beliau dan pernah berkunjung ke pesantren di Desa Pipitan.

Beliau disegani dan dihormati oleh kawan maupun lawan. Dalam mendidik anak beliau berlaku lembut, penuh kasih sayang.

Beliau juga dikenal santun dalam menegur dan bertutur kata pada para santrinya begitu pula terhadap keluarganya.

KH. Sochari memiliki kiprah penting di masyarakat. Selain mengabdikan diri pada dunia pendidikan, ia juga menjadi penerus ayahnya dalam mengelola pesantren.

Sepulangnya dari menuntut ilmu di Al-Khairiyah Citangkil ia mulai memberikan sentuhan pembaharuan bagi pesantren Darussalam, yang dahulu hanyalah sebuah pesantren salafiyah berubah hingga memiliki beberapa lembaga pendidikan. Yakni, berupa Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah.

Pada tahun 1931 Pesantren Darussalam bergabung dengan Al-Khairiyah. Hal ini tak lepas dari peran yang dimainkan KH. Sochari untuk memajukan dunia pendidikan Islam di tanah Banten.

Pada tahun 1945, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, KH. Sochari diangkat menjadi wedana Ciruas oleh gurunya Brigjen. KH. Syam’un selaku Bupati Serang saat itu.

Itu semua karena keluhuran akhlak dan kecerdasannya, ia menjabat sampai tahun 1949. Ketika menjabat sebagai wedana, beliau sangat dekat dengan rakyat. Beliau selalu memperhatikan dan mengunjungi rakyat yang terkena musibah.

Sebagai ulama sekaligus pemimpin, kebijakan-kebijakan diambilnya selalu berdasarkan aspirasi masyarakat bawah.

Hal ini dilakukan lantaran KH. Sochari mendambakan kepemimpinan ala Rasulullah dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana yang sering ia ungkapkan kepada murid-muridnya.

Pada peristiwa agresi militer Belanda yang ke-2 KH. Sochari terlibat langsung dalam revolusi fisik perang melawan penjajah Belanda dengan cara bergerilya dan bertahan di Kampung Simanjangan Gunung, Taktakan.

Dalam aksinya KH. Sochari selalu menyempatkan berdakwah, yang isinya ditunjukkan untuk mengobarkan semangat jihad melawan kaum kafir.

Karena ceramahnya ini, ia dianggap ulama berbahaya dan menjadi buronan yang paling dicari pasukan Belanda.

Dalam pencariannya itu KH. Sochari tak kunjung berhasil ditangkap, dan sebagai gantinya KH. Ali ditangkap oleh pasukan Belanda, kemudian dieksekusi mati di kali Bedeng Ciruas dengan cara ditembak.

Baca Juga: Sejarah Trip Jamaksari, Nama Jalan di Kota Serang yang Menyimpan Banyak Nilai Perjuangan

Setelah kematian ayahnya, KH. Sochari lah yang mengurus Yayasan sampai meninggalnya pada tahun 1969.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi

Tags

Terkini

Terpopuler