7 Mitos Larangan Keras di Sanghyang Sirah Ujung Kulon Pandeglang, Sebut Nama Buaya Langsung Didatangi

- 8 Februari 2023, 17:46 WIB
Sejumlah mitos larangan keras di Sanghyang Sirah di kawasan Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang Banten.
Sejumlah mitos larangan keras di Sanghyang Sirah di kawasan Ujung Kulon Kabupaten Pandeglang Banten. /Tangkapan layar/YouTube Cakra Salakanagara

Bila dilanggar larangan duduk tanpa alas, akan sakit atau menghilangkan berpindah ke alam gaib selamanya. Mitos ini secara logis di khawatirkan akan diganggu oleh binatang yang hidup di atas tanah. Seperti ular, kalajengking, kelabang, pacet dan sejenisnya. Oleh karenanya dengan menggunakan alas saat duduk maka ada upaya agar terhindar dari gangguan binatang-binatang itu.

5. Dilarang berkata kasar sembarangan atau bercanda berlebihan

Kawasan Ujung Kulon, terutama Sanghyang Sirah diyakini sebagai tanah bertuah dan sakral. Oleh karenanya, perlu menjaga adab dan kesopanan dalam bertingkah laku dan berucap.

Berkata kasar sembarangan dan bercanda yang berlebihan memang tidak diperkenankan pada tempat-tempat tertentu, dan di hadapan orang-orang tertentu. Misalnya di tempat orang tua kita sendiri, dalam mitosnya berkata kasar sembarangan dan bercanda berlebihan seperti halnya pepatah mulutmu adalah harimaumu. Maka hal-hal buruk dan tak pantas dikatakan oleh seseorang suatu saat akan terjadi dan dialami sendiri oleh orang tersebut.

6. Dilarang menyebut nama buaya

Masyarakat sekitar Ujung Kulon percaya, menyebutkan nama buaya bisa membuat predator perairan tersebut tersinggung. Lalu mendatangi orang yang menyebutnya, sehingga dikhawatirkan membahayakan manusia.

Mitos ini sepintas memang tidak logis, namun berdasarkan beberapa sumber setidaknya tercatat sejak tahun 2016 sampai 2020, telah terjadi serangan buaya terhadap manusia di sekitar kawasan ini.

Beberapa tahun belakangan ini memang sangat terasa warga di pinggiran pantai, mereka sering melihat kemunculan buaya baik di laut disekitar permukiman, maupun di lokasi wisata.

Hal ini tentunya menjadi sebuah pertanyaan besar, apakah hal itu disebabkan karena daya dukungan atau faktor lainnya seperti mitos kemunculan buaya di sekitar pemukiman warga.

Mungkin juga karena kerusakan hutan Mangrove muara sungai, yang di kenal sebagai sarang buaya. Atau mungkin juga karena kekurangan sumber makanan, sehingga membuat buaya merasa tidak nyaman dan keluar dari habitat aslinya.

Halaman:

Editor: Kasiridho

Sumber: YouTube Cakra Salakanagara


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x