"Disana, para ulama disuguhi oleh kuliner yang khas. Sehingga kemudian di coba di tanah Banten dan jadilah menu makanan berupa Rabeg," tuturnya.
Indikator penilaian Rabeg dalam rekor MURI, kata dia, selain kuantitas juga dalam sajian bentuk porsi, harus habis.
"Berbeda dengan kuliner lainnya. Dimana menu Rabeg tadi yang sudah dikemas dalam sebuah wadah, dan diberi nomer atau angka mulai dari 1 sampai 2.400. Semua lengkap sesuai dengan nomor urut dan tidak ada yang terlewat," ucapnya.
Ia menambahkan, penilaian lainnya adalah, menu Rabeg tersebut tidak boleh ada yang tersisa. Artinya, Rabeg harus habis dalam momen tersebut.
"Jadi, kalau dibandingkan yang hajatan pada umumnya di Serang, maupun Cilegon, dalam kemasan, dan langsung habis, tidak mubazir. Karena masih banyak orang lain yang merasa kekurangan, terutama makanan," ungkapnya.***