Hijrah: Reinventing Peradaban Muara Banten

- 3 September 2020, 21:05 WIB
Dr. H. Fadlullah, S.Ag. M.Si
Dr. H. Fadlullah, S.Ag. M.Si /

Dalam doktrin Islam, hijrah berkaitan dengan trilogi gerakan yakni: iman hijrah dan jihad dalam rangka meraih Rahmat Allah SWT (QS. Al Baqarah [2]: 218). Trilogi gerakan ini menjadi pijakan moral pembebasan manusia dari belenggu nafsu dan penjajahan. Sekaligus strategi transformasi sosial menuju masyarakat tertib yang berdaulat adil dan makmur.

Iman adalah sikap percaya kepada Allah dan syariat-Nya. Percaya bahwa manusia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Tugas manusia di dunia adalah beribadah dan menegakkan keadilan hukum serta mewujudkan kemakmuran universal sesuai syariat Allah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW. Iman mewujud dalam tindakan hijrah dan jihad. Turut Alquran dan hadits sebagai jalan keselamatan.

Hijrah secara harfiah berarti meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat. Dalam konteks sejarah, hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah untuk menjaga dan menegakkan ajaran Allah, berupa akidah dan syariat Islam.

Setelah hijrah dan memiliki benteng kekuasaan di Madinah, kemudian Nabi Muhammad beserta sahabatnya diberikan izin untuk berjihad dalam arti perang membela agama dengan kekuatan militer. Berperang melawan kedzaliman untuk menjaga ketertiban dan keamanan, serta kedaulatan negara dan mewujudkan perdamaian dunia.

Relevansi doktrin trilogi gerakan Islam itu juga dapat dilihat dalam proses islamisasi di bumi Surosowan Banten. Islamisasi Banten bermula ketika Raden Trenggono dinobatkan sebagai Sultan Demak yang ketiga (1524), ia bertekad menghancurkan kedzaliman dan dominasi penjajah Portugis di Nusantara.

Alkisah, Portugis bekerja sama dengan Kerajaan Pajajaran di bagian barat Jawa. Oleh karena itu, Sultan Trenggono menugaskan Fatahillah sebagai panglima perang Demak bersama dua ribu bala tentara menyerang Kadipaten Banten yang menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Pemimpin di Kadipaten Banten ketika itu adalah Prabu Pucuk Umum dengan pusat pemerintahan di Banten Girang (Banten Hulu).

Segera setelah pasukan Demak merebut Banten, mereka memindahkan pusat pemerintahan ke Surosowan (Banten Hilir), dekat pantai. Pemindahan ibu kota Banten dari Banten Girang ke Surosowan terjadi pada tanggal 1 Muharram 933 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 8 Oktober 1526 Masehi.

Hijrahnya pusat pemerintahan dari Banten Girang ke Surowasan mengadopsi konsep peradaban Muara dengan tujuan untuk menarik minat para pedagang di Selat Malaka datang ke Teluk Banten. Strategi ini diusulkan oleh Syarif Hidayatullah kepada putranya, Maulana Hasanuddin, yang kemudian menjadi Sultan Banten yang pertama.

Syarif Hidayatullah memandang perlu menjadikan Teluk Banten sebagai pusat perdagangan karena selat Malaka ketika itu berada dalam kekuasaan Portugis setelah mereka berhasil melumpuhkan Kesultanan Islam di Malaka. Siasat ekonomi Syarif Hidayatullah sangat jitu. Pedagang-pedagang yang enggan berhubungan dengan penjajah Portugis akhirnya berdatangan ke pelabuhan Banten meramaikan aktivitas ekonomi di sana.

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x