Sejarah Masjid Kuno Abuya Armin Sekong Pandeglang Banten, Beraksitektur Timur Tengah yang Eksis Hingga Kini

- 26 Maret 2024, 14:40 WIB
Sejarah Masjid Kuno Abuya Armin Sekong Pandeglang Banten, Beraksitektur Timur Tengah yang Eksis Hingga Kini
Sejarah Masjid Kuno Abuya Armin Sekong Pandeglang Banten, Beraksitektur Timur Tengah yang Eksis Hingga Kini /YouTube /Mang Dhepi


KABAR BANTEN – Dengan lokasi yang berjarak sekitar 13,5 km dari Alun-alun Pandeglang ke arah Desa Sekong, Cimanuk tak jauh dari Pasar Batu Bantar terdapat sebuah masjid kuno yang memiliki ciri tersendiri yang berbeda dibandingkan banyak masjid kuno lainnya yang ada di Banten.

Baca Juga: Sejarah Masjid Sultan Atau Masjid Kuno Kampung Masigit Curug Kota Serang, Ada Tradisi Menyimpan Air di Gentong

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi Channel, berikut Masjid Kuno Abuya Armin Sekong.

Masjid ini diperkirakan dibangun pada 1926 oleh seorang kiai yang bernama Abuya Kiai Haji Muhammad Hasan Armin atau biasa dikenal Abuya Mama Armin Cibuntu.

Masjid ini memiliki ciri ragam hias arsitektural Timur Tengah.

Untuk mencapai lokasi masjid kuno yang terletak di Kampung Cibuntu, Desa Sekong, Cimanuk harus melewati jalan desa yang masuk dari arah Rumingkang Cimanuk ke arah timur sejauh 3,5 km.

Dengan kondisi jalan yang relatif kurang mulus akibat jarang diperbaiki pengaspalan jalan, apalagi jalani berbatu juga agak menghambat perjalanan menuju masjid kuno ini.

Berdasarkan sejarahnya, bahwa kampung ini merupakan kampung yang pertama memiliki jalan aspal di Pandeglang.

Pada saat masa ramainya kegiatan santri, maka dilakukan perbaikan dan pengaspalan jalan oleh pihak pesantren.

Karena kemasyhurannya dan kehebatan nama besar pesantren ini, menggugah Gubernur Jawa Barat pada saat itu, Aang Kunaefi untuk berkunjung ke sana.

Kemudian sang gubernur memerintahkan kepada jajarannya untuk segera memperbaiki seluruh jalan di Kampung Cibuntu, Jalan Raya di Rumingkang hingga ke lokasi pesantren di Cibuntu, Sekong.

Sejarah masjid yang dibangun pada tahun 1926 ini bermula dari sebuah masjid kecil tanpa banyak pernik dan ukiran, seperti diungkap oleh Amiruddin, lurah di kampung tempat masjid tersebut berdiri.

Masjid unik ini sejarahnya dibangun tahun 1926 oleh Abuya KH Muhammad Hasan Armin, atau dipanggil juga Abuya Armin.

Awalnya seorang tuan tanah, Ali Akbar berkeinginan untuk mencari seorang yang sesuai harapannya, untuk membangun sebuah pusat pengembangan agama Islam.

Dan orang kepercayaan yang kebetulan berasal dari Menes itu kemudian menghubungi santri muda bernama Hasan Armin yang juga asal Menes.

Menyikapi keinginan itu, sang santri muda yang memiliiki dasar agama Islam yang kuat kemudian mendatangi tempat tersebut dan menetap di sebuah balai kambang tanpa diketahuinya.

Sang pemilik tanah kemudian menanyakan kepada orang kepercayaannya, tentang orang yang diharapkan mampu membangun dan mengolah pesantren itu.

Pada saat itu diberitahu bahwa orang tersebut telah berada di sini sejak dua bulan lalu, dan sang pemilik tanah langsung menyuruhnya menghadap dan segera memberinya amanah.

Dalam perjalanannya membangun pesantren, sang santri muda itu kemudian dinikahkan dengan anak perempuan tuan tanah, Haji Ali Akbar.

Dan dikisahkan Abuya Hasan Armin berasal dari Menes beliau merupakan anak ketiga, diantaranya Ki Adam, dan Ki Romani dan beliau yang terakhir.

Sejak kecil ketiganya telah memiliki kebiasaan dan bakat berbeda-beda yang kelak menjadi jalan hidup masing-masing.

Ki Adam memiliki bakat dan tertarik pada bidang pertanian, sedangkan Ki Romani memiliki ketertarikan pada ilmu kanuragan.

Sedangkan Abuya Armin memiliki ketertarikan pada bidang syariat Islam dan keagamaan.

Sejak kecil Abuya Armin lebih menekuni hal yang berbau keagamaan, sehingga ketika dewasa mendirikan sebuah pesantren yang bernama Al Hasaniyah yang berlokasi tak jauh dari masjid dengan area seluas 4 hektar.

Pesantren Al Hasaniyah ini memiliki bberapa Kobong untuk penginapan para santri yang jumlahnya mencapai 400-an.

Untuk mempermudah pemetaan asal santri, pesantren ini menerapkan sistem Kobong kluster yang berfungsi mengetahui asal daerah santri.

Misalnya dari Pandeglang dan sekitarnya atau daerah asal luar Pandeglang semisal Tangerang, Jakarta, Lampung atau dari Jawa.

Penerapan sistem ini tidak dimaksud membeda-bedakan kelas sosial santri.

Menariknya salah satu kluster untuk santri asal Pandeglang dan sekitarnya diberi nama Pondok Al Baduy, selain mengajarkan keilmuan agama atau syariat Islam, Abuya Hasan Armin juga sebagai guru Mursyid untuk Tarekat Qadiriyah Wanaksabandiah yang sanadnya langsung dari Syekh Nawawi Caringin.

Untuk memperdalam ilmu agamanya beliau kemudian berangkat ke Jazirah Arab selama kurang lebih 28 tahun, negeri-negeri yang disambangi untuk menambah ilmu tersebut di antaranya Saudi Arabia, Mesir, Turki, Irak, Palestina, Syuriah, Kuwait, Lebanon dan Yordania.

Dan pernah pula belajar dengan Syekh Nawawi Tanara Al Bantani dalam pelaksanaan kepesantrenannya.

Abuya Armin mengedepankan Bab Ubudiah yang diawali Bab Thaharah yang menerapkan konsep kebersihan, misalnya bersih badan, bersih lingkungan, bersih hati, sehingga seluruh santri harus terlihat bersih pakaian dan segala lingkungannya.

Seiring waktu, pesantren semakin berkembang dan diketahui banyak orang bukan hanya warga sekitar Pandeglang namun juga dari berbagai wilayah di luar Pandeglang.

Perkembangan tersebut berbuntut pada harumnya nama pesantren yang berimbas pada nama baik wilayah sekitar yaitu Desa Sekong dan sekitarnya, hingga wilayah Cimanuk dan Pandeglang.

Saat berada di puncak keharuman nama besarnya, pesantren ini bukan hanya mendidik para santri tetapi juga mengadakan pengajian rutin setiap Selasa bagi kaum perempuan, dan setiap Rabu bagi laki-laki.


Bagi masyarakat luar pesantren, jemaahnya banyak sehingga jika dilaksanakan pengajian rutin maka akan terlihat panjangnya antrian yang mencapai berkilometer dari pesantren hingga jauh di luar pesantren.

Bahkan jemaah yang berasal dari Pasir Angin pun turut hadir, antrian jemaah yang mendatangi pengajian pesantren tersebut bahkan sampai desa yang lainnya.

Akibat keramaian dari jemaah bahkan bisa menciptakan pasar pecan di sekitar pesantren, pengajian mingguan yang jemaahnya datang dari berbagai penjuru.

Dengan berjalan kaki tersebut diadakan di satu gedung terpisah, yang dalam gapura tertulis tahun 1950.

Terkait perkembangan jalan hidupnya Abuya Armin yang lahir pada tahun 1880 dan memiliki enam anak, Abuya memiliki satu anak dari istri pertama yang lebih dahulu wafat.

Kemudian Abuya menikah kembali dan anak-anaknya ikut pada istri keduanya dalam perjalanan rumah tangga sang istri kedua memiliki lima orang putra dan putri.

Dan istri kedua meninggal sehingga putra-putri Abuya ikut dan dibesarkan pada ibu yang juga istri ketiga Abuya.

Abuya Armin wafat pada tahun 1988 dalam usia 108 tahun.

Dan seperti layaknya makam pemuka agama di Banten, jasad Abuya kemudian dimakamkan di depan masjid yang dibangunnya.

Komplek pemakamannya saat ini diatapi oleh sebuah bangunan yang biasa disebut makbarah.

Dalam makbarah tersebut bersemayam makam Abuya didampingi makam istri-istri beliau yaitu istri kedua yang memiliki lima anak dan istri ketiga yang tak satu pun memiliki keturunan.

Sementara makam istri pertama yang sejak awal telah wafat saat Abuya belum berada di komplek pesantren tersebut.

Di komplek pemakaman luar makbarah juga terdapat makam seorang anaknya bernama Siti Julaiha, anak dari istri pertama, sementara makam keluarganya yang lainnya berada di sekitar makbarah tersebut.

Sepeninggal Abuya Armin pengunjung pengajian dan santri semakin berkurang karena generasi penerusnya telah mengelola pesantren di tempat lain yang cukup jauh.

Salah satunya bahkan berada di Metro Lampung.

Belakangan cucu Abuya Armin kemudian mendirikan pesantren tak jauh dari lingkungan masjid tersebut.

Keunikan yang masih menyisakan kejayaan masa lalu dari Masjid Al Hasanyah terdapat dua ruang khusus yang berada di sayap kiri masjid yang diberi nama Hajjah Siti Aisyah istri pertama dan di sayap kanan masjid diberi nama Hajjah Siti Hamidah, istri kedua.

Keunikan masjid lainnya adalah sama seperti masjid kuno di Banten yang memiliki dinding sekat berpintu di dalam masjid.

Dua buah ruang mihrab sebagai tempat pengimaman dengan ornamennya yang lebih bernafas Timur Tengah.

Keunikan lainnya juga terdapat sebuah menara masjid berlantai empat menjulang tinggi di sisi barat masjid sebelah kanan, yaitu menara bertingkat setinggi sekitar 15 meter dengan bentuk segi delapan yang menyerupai menara Masjid Agung Banten Lama.

Menara yang dihiasi oleh ragam bentuk dan pagar besi estetis yang relatif lebih variatif tersebut bisa dinaiki dengan menggunakan tangga yang terdapat di dalam ruang menara.

Baca Juga: Masjid Kuno Kasunyatan Kasemen Serang Banten, Ada Komplek Makam Syekh di Dalamnya

Itulah kisah sejarah Masjid Kuno Abuya Armin Sekong, berlokasi di Kampung Cibuntu, Desa Sekong, Cimanuk yang memiliki arsitektur Timur Tengah dan masih dipergunakan sampai saat ini.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x