Gunung Anak Krakatau Erupsi Lagi, Intensitas Letusan Tinggi

- 5 Januari 2019, 07:00 WIB
letusan gunung anak krakatau
letusan gunung anak krakatau

SERANG, (KB).- Aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) memang fluktuatif selama beberapa hari ini. Sempat berhenti erupsi Jumat (28/12/2018) lalu, namun Gunung Anak Krakatau yang lahir sekitar tahun 1927 tersebut kembali erupsi Sabtu-Jumat (29/12/2018 - 4/1/2019). Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api wilayah barat pada Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kristianto mengatakan, kondisi terkini GAK seperti dilaporkan aktivitasnya masih dalam fase erupsi. Hal itu ditandai dengan banyaknya letusan yang masih terjadi dan dipantau baik secara visual maupun seismik. Kristianto menjelaskan, untuk gempa sendiri terpantau di seismograf ada gempa letusan dan gempa tremor menerus yang kisarannya antara 2-14 milimeter dengan dominan 7 milimeter. "Itu menunjukkan aktivitas GAK masih tinggi," katanya. Ia mengatakan, berdasarkan pantauannya selama dua hari belakangan ini, visual memang agak jelas. Tampak ketinggian letusan abu vulkanik mencapai kisaran 200-1.500 meter di atas puncak GAK. "Kalau dentuman jarang terpantau. Tadi malam saja ada suara gemuruh itu kemungkinan berasosiasi dengan sinar api sekitar pukul 20.33. Hari ini sampai baru terjadi 19 kali, dan kemarin 14 kali," tuturnya. Aktivitas GAK memang sempat berhenti pada Jumat (28/12/2018) namun kemudian erupsi lagi pada Sabtu (29/12/2018). "Mungkin bukan terhenti tapi ada jeda. Tanggal 28 menurun, tapi kemudian 29 dan 30 terlihat lagi. Aktivitas GAK ini fluktuatif. Kalau dibandingkan amplitudo tremor lebih tinggi September Oktober," ujarnya. Disinggung soal adanya retakan di badan GAK, menurut dia retakan itu hal biasa. Bahkan adanya retakan itu sering kali diasosiasikan dengan kemunculan lubang solfatara maupun fumarol. "Kalau di gunung api menurut kami itu (retakan) fenomena biasa," ucapnya. Terkait adanya kemungkinan tsunami susulan akibat retakan tersebut, Kristianto mengaku belum melihat sejauh itu. "Kalau kami belum melihat sejauh itu. Kami tetap hanya menyampaikan aktivitas gunung api," tuturnya. Ia menuturkan, kondisi GAK ini bukan tidak terlalu berbahaya saat ini. Namun GAK memiliki potensi letusan dan produk letusan dengan lontaran material vulkanik yang dibatasi kurang dari 5 kilometer. "Sehingga masyarakat jangan mendekati GAK dalam radius 5 km. Jadi masyarakat yang kita lindungi," katanya.
Petugas saat memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau melalui alat seismograf di Pos Pemantauan Pasauran, Kabupaten Serang, Jumat (4/1/2019). Untuk sementara ini level aktivitas GAK masih berada di level III (Siaga). Sedangkan kapan akan turunnya semua itu bergantung pada tingkat aktivitas GAK. "Karena kita selalu evaluasi setiap waktu. Kalau sekarang menyimpulkan kapan akan turun itu terlalu dini. Kalau kemungkinan ada tapi kita belum bisa, harus melihat dari data baik visual maupun instrumental harus meyakinkan," ujarnya. Kristianto mengimbau masyarakat agar selalu mencermati informasi yang diterima terkait GAK. "Informasi harus jelas sumbernya. Kalau ke gunung apian kami siap menjawab 24 jam, telepon kami juga siap," ucapnya. Sebelumnya, BMKG telah memasang alat sensor water level atau alat pengukur ketinggian air merupakan buatan SDM Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang juga akan dipasang di Ujung Kulon, Banten. "Semua peralatan yang dipasang merupakan karya SDM muda BMKG," tutur Kepala Pusat Instrumentasi Kalibrasi dan Rekayasa BMKG, Hanif Andi Nugraha yang dihubungi di Jakarta, Kamis (3/1/2019). Peralatan tersebut dibuat di BMKG dan sudah dipasang di beberapa lokasi seperti di dermaga Pulau Sebesi Lampung Selatan serta di wilayah Labuan Pandeglang tepatnya di PLTU Labuan, pascatsunami Selat Sunda pada 22 Desember 2018. Diketahui, sensor water level menggunakan sensor berupa tipe ultrasonic yang menghitung seberapa kecepatan dari objek yang dilepaskan (berupa sinyal frekuensi) yang bersifat stasioner untuk mengukur ketinggian permukaan air laut. Data perekaman dari sensor water level akan dikirimkan langsung ke server BMKG, dan update setiap satu menit sekali untuk mengetahui ketinggian air permukaan laut di wilayah tersebut. Dari lokasi pengamatan akan didapat data atau nilai yang akan otomatis dikirim ke BMKG server, lalu akan diolah menjadi produk dalam bentuk grafik. Dari sinilah terlihat jenis gelombang, apakah gelombang pasang surut apa gelombang yang lain. Grafik akan terlihat berbeda ketika menggambarkan gelombang pasang surut dengan gelombang tsunami karena gelombang tsunami akan terlihat lebih signifikan dibandingkan gelombang pasang surut biasa. "Dalam waktu dekat kita juga berencana memasang alat serupa di sisi barat Krakatau di sekitar Lampung," kata Hanif. (DN/Ant)*

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah