Revisi UU KPK Dinilai Wajar

- 15 September 2019, 20:07 WIB
Fatah Sulaiman
Fatah Sulaiman

SERANG, (KB).- Sejumlah kalangan di Provinsi Banten menilai wajar rencana revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rerivisi dimaksud, terutama soal dimasukannya Dewan Pengawas dan SP3. Selain UU KPK telah berusia 17 tahun, revisi dimaksudkan sebagai evaluasi agar tetap sesuai dengan dinamika perubahan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia.

Tokoh masyarakat Banten H. Embay Mulya Syarief, misalnya menyatakan, sebaiknya masyarakat bukan menyuarakan tentang penolakan terhadap revisi UU tentang KPK. Jika hal itu yang disuarakan, seolah semua perbaikan yang dilakukan akan melemahkan kinerja KPK dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi. Padahal, banyak pasal yang memperkuat peran dan posisi KPK.

H. Embay Mulya Syarief.*

“Sebaiknya pihak yang menolak revisi, dapat menyimak pasal demi pasal dari RUU tersebut. Banyak pasal yang justru menguatkan dan memberikan kepastian hukum akan keberadaan KPK sebagai lembaga yang bertugas memberantas dan mencegah korupsi,” ujar Embay, Ahad (15/09/2019).

Sementara itu, praktisi hukum yang juga Ketua Perhimpunan Advokat Banten, Asep Abdullah Busro mengatakan, rencana dimasukannya materi Dewan Pengawas dan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) dalam revisi UU KPK sangat wajar. Hal itu juga dinilainya relevan diterapkan.

Menurut dia, eksistensi Dewan Pengawas sama seperti diterapkan pada institusi penegak hukum lainnya, baik Mahkamah Agung (MA), Polri, dan Kejaksaan. Fungsi Dewan Pengawas, sebagai instrumen kontrol terhadap proses hukum yang dilaksanakan oleh KPK guna menghindari adanya penyalahgunaan wewenang oleh KPK.

Asep Abdullah Busro, Ketua Perhimpunan Advokat Banten .*

Demikian pula penerapan SP3, kata dia, juga berfungsi untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum terhadap para pihak terperiksa/ tersangka. “Setelah dilakukan penyidikan terhadap suatu dugaan tindak pidana, namun terdapat alat bukti yang membuktikan bahwa hal tersebut ‘clean and clear’ bukan tindak pidana korupsi, maka SP3 menjadi dasar instrumen penghentian proses penyidikan,” katanya.

Menurut dia, hal tersebut wajar. Pasalnya, UU Polri dan UU Kejaksaan, juga dalam KUHAP diatur tentang masalah tersebut. “Jadi, hal tersebut perlu pula diterapkan dalam institusi KPK melalui Revisi UU KPK. Yakni, sebagai implementasi prinsip hukum asas praduga tak bersalah dan persamaan kedudukan di hadapan hokum,” kata Asep.

Ditegaskan, revisi tersebut juga sebagai bentuk sinkronisasi sistem penegakan hukum pidana di Indonesia. Apabila UU tersebut dirasa tidak efektif atau materinya bertentangan dengan UUD 1945, dapat diajukan judicial review ke MK.

Wakil Rektor UIN SMHB, Dr. Wawan Wahyuddin menyarankan agar dibuka dialog segitiga antara Presiden selaku eksekutif, DPR RI selaku legislatif, dan KPK selaku pihak yang menjadi objek dari UU tersebut.

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x