'Balang' Jumrah: Hilangkan Sifat Keburukan

- 15 Agustus 2019, 06:30 WIB
lontar jumrah
lontar jumrah

KABAR BANTEN - Rangkaian wajib haji berupa lempar jumrah (jamarat), pada 10 Zulhijah (jumrah aqabah) dan pada 11,12 dan 13 untuk 'ula, wusta, aqabah, telah diselesaikan para jemaah haji seluruh dunia. Dalam melempar jamarat, para tamu Allah (dhuyufurrahman) harus terlebih dahulu melakukan mabit atau tinggal sementara di kawasan Mina.

Bagi yang mengambil nafar (pemberangkatan) awal harus meninggalkan Mina sebelum Magrib pada menjelang 13 Zulhijah. Sedangkan bagi yang nafar tsani harus menetap setelah Magrib 13 Zulhijah untuk kemudian melempar jumrah pada terakhir hari Tasrik.

Lontar (balang) jamarat (ula, wusta, aqabah). Rangkaian ibadah lontar jamarat yakni jemaah haji melempar 7 butir kerikil batu yang diambil saat mabit di Muzdalifah. Sebanyak 7 butir kerikil batu tersebut dilontar pada setiap tugu jamarat sehingga total setiap kali lempar jamarat sebanyak 21 butir kerikil batu.

Lontar jamarat lebih banyak membutuhkan kekuatan fisik. Untuk menuju titik jamarat, bagi jemaah Banten, harus menempuh perjalanan sekitar 4 kilometer pulang pergi. Tak heran jika jemaah yang memiliki kelemajan fisik lebih banyak dibadalkan (digantikan) oleh yang lain, karena lontar jumrah merupakan salah satu wajib haji.

Memaknai ritual lontar jamarat, tentu membutuhkan keyakinan yang bersumber dari hati, bukan hanya akal semata. Lontar jumrah bersifat ibadah simbolik. Oleh karena itu, pesan simbolik harus disingkap dengan kekuatan keyakinan bahwa itu merupakan ikhtiar perjalaban suci dari rangkaian ibadah haji. Jika menggunakan akal semata, maka akan muncul pandangan sebagai ritual yang sia-sia; Melontar batu kerikil, seperti kegiatan main-main belaka.

Imam Al Ghazali dalam kitab "Asrarul Hajj" menjelaskan melintar jumrah adalah urusan ta'abbudi (murni ibadah) yang akal dan jiwa tidak mampu menangkap manfaat dan pesan dibaliknya, seperti kebanyakan amalan-amalan manasik yang lain. "Ta'abbudi yakni manusia diperintahkan mengamalkan sesuai zahirnya, biar pun hakikatnya tidak seperti zahirnya," demikian tulis Al Ghazali.

Syahrudin El Fikri dalam buku "Sejarah Ibadah" menggambarkan kisah melempar jumrah terjadi sekitar 4.000 tahun yang lalu, tepatnya pada 1870 SM, ketika Nabi Ibrahim AS bermaksud menyembelih putranya Nabi Ismail AS. Ketika Ibrahim bermaksud menyembelih Ismail untuk melaksanakan perintah Allah SWT, tiba-tiba datang lah setan menghampiri. Setan bermaksud menggoda Ibrahim agar menghentikan niatnya untuk menyembelih Ismail. Namun dengan penuh keyakinan, dan ketakwaan terhadap Allah SWT, Ibrahim tetap melaksanakan perintah itu.

Ibrahim tahu kalau tujuan setan atau iblis pada hakikatnya untuk mengajaknya melanggar perintah Allah. Karena itu, Ibrahim kemudian mengambil tujuh batu kerikil dan melemparnya ke setan. Inilah yang disebut Jumrah Ula.

Tak berhasil mempengaruhi Ibrahim, setan lalu membujuk Siti Hajar, istri Ibrahim. Setan mempengaruhi Siti Hajar jika sebagai seorang ibu pasti tak akan sampai hati mengetahui buah hatinya dikorbankan. Tapi Siti Hajar menolak dan melempari setan dengan batu kerikil. Lokasi pelemparan Hajar itu kemudian dijadikan tempat melempar Jumrah Wustha.

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah