Kisah Syekh Nawawi Al Bantani, Waliyullah Asal Tanara Banten yang Dikaruniai Seribu Karomah

- 12 Oktober 2023, 13:09 WIB
Kisah Syekh Nawawi Al Bantani, Waliyullah Asal Tanara Banten yang DIkaruniai Seribu Karomah
Kisah Syekh Nawawi Al Bantani, Waliyullah Asal Tanara Banten yang DIkaruniai Seribu Karomah /Tafsir Al-Qur'an /


KABAR BANTEN - Al Imaam Al'Allaamah Asy Syekh Muhammad Nawawi bin Umar Al Jawi Al Bantani At-Tanari Asy Syafi'i atau lebih dikenal Syekh Nawawi Al Bantani adalah salah seorang ulama besar asal Tanara, Serang, Banten, Indonesia yang bertaraf Internasional dan menjadi Imam Masjidil Haram di Saudi Arabia.

 

Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Muti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali altanara al-jawi Al Bantani ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al Jawi Al Bantani. Seperti dikutip Kabar Banten dari akun Youtube Riyo Fulana, berikut kisah Syekh Nawawi Al Bantani.

Baca Juga: Mengenal Rob Sixsmith, Sutradara Film Dokumenter Ice Cold Murder Coffee and Jessica Wongso yang Jadi Sorotan

Lahir pada tahun 1230 sampai tahun 1314 Hijriyah tahun 1815 sampai tahun 1897 masehi, Syekh Nawawi awalnya diberi nama Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi.

Ulama besar ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat ulama yang lahir di kampung Tanara sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang Provinsi Banten.

Sekarang di kampung pesisir desa pedalaman Kecamatan Tanara depan Masjid Jami Syekh Nawawi Bantani pada tahun 1230 Hijriyah atau 1815 masehi ini, bernazab kepada keturunan Maulana Hasanuddin, Putra Sunan Gunung Jati Cirebon keturunan kedua belas dari Sultan Banten.

Nasab beliau melalui jalur ini sampai kepada Baginda Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam melalui keturunan Maulana Hasanuddin yakni Pangeran Suniararas yang makamnya hanya berjarak 500 meter dari bekas kediaman beliau di Tanara nasab Ahlul Bait sampai ke Syekh Nawawi.

Ayahnya seorang ulama Banten Umar bin Arabi, ibunya bernama Zubaedah pendidikan Syekh pada usia 5 tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawa asuhan ayahandanya. Dan di usia yang masih kanak-kanak ini Beliau pernah bermimpi bermain dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis.

Namun rasa dahaganya tak kunjung surut maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air laut pun diminumnya seorang diri hingga mengering.

Ketika usianya memasuki delapan tahun anak pertama dari 7 bersaudara itu memulai pengembaraannya mencari ilmu.

 

Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur, namun sebelum berangkat Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya,” kudoakan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat. Jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah, demikian restu dan syarat sang Ibu.

Nawawi kecil pun menyanggupinya maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Dan setelah 3 tahun di Jawa Timur beliau pindah ke salah satu Pondok di daerah Cikampek Jawa Barat, khusus belajar lukhat bahasa beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur.

Namun sebelum diterima di pondok baru tersebut mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu ternyata mereka bertiga dinyatakan lulus tetapi menurut Kyai barunya ini pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengulangi mondok. “ Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah,” terang Sang Kiai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.

Tidak lama setelah kepulangannya Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis Ayahnya di usianya yang masih relatif muda beliau sudah tampak ke alimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana.

Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung maka Kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara pesisir pada usia 15 tahun.

Ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji di sana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari beberapa cabang ilmu diantaranya adalah ilmu kalam bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits Tafsir, dan ilmu Fiqh.

Setelah 3 tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 masehi dengan Khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri.

Syekh Nawawi telah mengajar banyak orang sampai kemudian karena karamahnya yang telah mengkilap sebelia itu. Beliau mencari tempat di pinggir pantai agar lebih leluasa mengajar murid-muridnya yang kian hari bertambah banyak.

Dan pada usia 15 tahun dia menunaikan Haji dan berguru kepada sejumlah ulama terkenal di Mekkah seperti Syekh Al Sambasy, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Abdul Hamid Dagestani, Syekh Said Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, dan Syaikh Junaid Al Betawi.

 

Akan tetapi guru yang paling berpengaruh adalah Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid Al Betawi dan Syekh Ahmad Dimyati, ulama terkemuka di Mekah.

Melalui ketiga Syekh inilah karakter beliau terbentuk, selain itu juga ada dua ulama lain yang berperan besar mengubah alam pikirannya, yaitu Syaikh Muhammad Khatib dan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan ulama besar di Madinah.

Perjuangan dan nasionalisme selama 3 tahun bermukim di Mekkah, beliaua pulang ke Banten dan menyaksikan praktik-praktik ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari pemerintah Hindia Belanda.
Beliau melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat.

Tak ayal gelora jihad pun berkobar dia keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah, tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gerak-geriknya dia dilarang berkhotbah di masjid-masjid.

Bahkan belakangan dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda tahun 1825 sampai tahun 1830 masehi.

Dan sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran apa boleh buat Syekh Nawawi terpaksa menyingkir ke negeri Mekkah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1830 Masehi.

Ulama besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat nasionalisme dan patriotisme di kalangan rakyat Indonesia, begitulah pengakuan Snouck Haur Gronje begitu sampai di Mekkah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama.

Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 masehi. Ketika itu memang dia berketetapan hati untuk mungkin di tanah suci satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda.

Namanya mulai masyhur ketika menetap di Mekkah, mengajar di halaman rumahnya mula-mula muridnya cuma puluhan tapi makin lama makin jumlahnya banyak.

 

Mereka datang dari berbagai penjuru dunia maka jadilah Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama terutama tentang Tauhid fiqih Tafsir dan tasawuf.

Nama beliau semakin melejit ketika dia ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram Syaikh Khatib Al Minangkabawi, sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi artinya Nawawi dari Banten Jawa, piawai dalam ilmu agama masyhur sebagai ulama.

Dan tidak hanya di kota Mekkah dan Madinah saja, beliau dikenal bahkan di negeri Mesir masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.

Syekh Nawawi Banten sebagai maha guru sejati Syekh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah.

Disanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya, kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal Belanda pun mengutus Snouck Haur Gronje ke Mekkah untuk menemuinya.

Ketika Snouck yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama Abdul Ghofur bertanya Mengapa dia tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa, dengan lembut Syekh Nawawi menjawab, “Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang profesor berbangsa Arab”.

Lalu kata Snouck lagi, “ Bukankah banyak orang yang tidak sepakat seperti Anda akan tetapi juga mengajar di sana?”. Syekh Nawawi menjawab,” Kalau mereka diizinkan mengajar di sana pastilah mereka cukup berjasa.”

Dari beberapa pertemuan dengan Syekh Nawawi orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan, menurutnya Syaikh Nawawi adalah ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa.

Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama misalnya Kyai Haji Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul lama, Kyai Haji Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, Kyai Haji Khalil Bangkalan, Kyai Haji Asnawi Kudus, Kyai Haji TB Bakrie Purwakarta, KH Arsyadh Tawil dan lain-lainnya.

 

Konon Kyai Haji Hasyim Asy'ari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath Al Qorib yang dikarang oleh Syekh Nawawi, kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati Kyai Haji Hasyim Asy'ari, hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath Al Qorib ia ajarkan pada santri-santrinya.

Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi menikah dengan Nyai Nasyimah gadis asal Tanara Banten dan dikaruniai tiga anak, Nafisah, Maryam, dan Rubiah. Namun sang istri wafat mendahului beliau.

Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia, bahkan Kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi Kedua. Karena Iimam Nawawi Pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim Majmu Syarhul Muhadzab Riyadhus Shalihin, dan lain-lain.

Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan.

Di setiap Majelis Taklim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu dari ilmu Tauhid, Tasawuf sampai Tafsir karya-karyanya sangat terkenal di kalangan komunitas Pesantren.

Syekh Nawawi Al Bantani tidak hanya dikenal sebagai ulama, penulis kitab, tapi juga maha guru sejati dengan julukan The Great Scholar Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren.

Beliau turut banyak membentuk ke intelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama.

Apabila Kyai Haji Hasyim Asy'ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini.

Seringkali Kyai Haji Hasyim Asy'ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi Al Bantani kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi, goresan tinta Syekh Nawawi di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar.

 

Sehingga tak terhitung jumlahnya konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuskripnya dan setelah itu tidak memperdulikan lagi.

Bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya termasuk hak cipta dan royaltinya selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah.

Menurut Rais Salam Tema Ngondana, peneliti di Institut Studi Islam Universitas of Philippines ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya.

Pada tahun 1870 para ulama Universitas Al Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat. Di suatu forum diskusi ilmiah mereka tertarik untuk mengundang beliau karena sudah dikenal di seantero dunia.

Tidak diragukan lagi ulama asal Mesir Syaikh Umar Abdul Jabbar dalam kitabnya Aldo Rusmin Madi Al Ta'lim Wahabiribi Al Masjidil Al Haram beberapa kajian masa lalu dan masa kini tentang pendidikan masa kini di Masjidil Haram, menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif menulis hingga karyanya mencapai 100 judul lebih. Meliputi berbagai disiplin ilmu banyak pula karyanya yang berupa Syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik.

Sebagian dari karya-karya Syekh Nawawi diantaranya adalah sebagai berikut Alsamart Alyaniyah rafat al-mubin sulam al-munajasyara Safina al-salah baja Al wasail Syarah Al Risalah Al Jami'ah Bain al-usul wa alfiqwa altassawf al tausiyah Al zayin Syarah qurah Al Ainbi muhimah Hidayah Quran.

Semua karya tafsirnya, Al Munir sangat monumental bahkan ada yang mengatakan Lebih baik dari tafsir Jalalain karya Imam Jalaluddin Al suyuthi dan Imam Jalaluddin almahali yang sangat terkenal itu.

Kitab Bidayatul Hidayah, karangan Imam Al Ghazali konon pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk dia sebagai lampu saat itu dalam sebuah perjalanan karena tidak ada cahaya dalam syukduff, yakni rumah-rumahan di punggung unta yang dia diami.

Sementara banyak aspirasi mengisi kepalanya, Syekh Nawawi Al Bantani kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta'ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya untuk menulis kitab yang kemudian lahir dengan nama Maraki Al Ubudiyah Al Hidayah, itu harus dibayar dengan cacat pada jari telunjuk kirinya, cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri dia itu membawa bekas yang tidak hilang.

 

Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni masjid Pekojan, masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, Said Utsman bin Agil bin Yahya Al Alawi ulama dan Mufti Betawi sekarang Ibukota Jakarta itu ternyata memiliki kiblat yang salah.

Padahal yang menentukan kiblat bagi masjid itu adalah Sayyid Usman sendiri, tak ayal saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat kagetlah Sayyid Usman. Maka diskusi pun terjadi dengan seru antara mereka berdua.

Sayyid Usman tetap berpendirian kiblat Masjid Pekojan sudah benar sementara Syekh Nawawi Al Bantani remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Pada saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syekh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Usman dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat. “ Lihatlah Sayid itulah Kabah tempat kiblat kita lihat, dan perhatikanlah tidakkah Ka'bah itu terlihat amat jelas sementara kiblat masjid ini agak ke kiri.

Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka'bah,” ujar Syaikh Nawawi remaja.
Sayyid Usman termangu, Ka'bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syekh Nawawi remaja memang terlihat jelas.

Sayyid Usman merasa takjub dan menyadari remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan yakni terbukanya Nurba Syariah dengan karamah itu dimanapun beliau berada Ka'bah tetap terlihat.

Maka dengan penuh hormat Sayyid Usman langsung memeluk tubuh kecil itu. Sampai saat ini jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser tidak sesuai aslinya.

Syeikh Nawawi Al Bantani wafat di Mekkah pada tanggal 25 Syawal 1314 Hijiriah, atau 1897 Masehi. Namun ada juga yang mencatat pada tahun 1316 Hijriah atau 1899 Masehi. Ketika wafat, Syeikh Nawawi dimakamkan di Mekkah Arab Saudi.

Dan telah menjadi kebijakan pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun, maka kuburannya harus digali dan tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya.

Semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota, lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya. Hal ini terus silih berganti dijalankan tanpa pandang bulu siapapun dia pejabat, atau orang biasa, saudagar kaya, atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut.

 

Inilah yang juga menimpa makam Syekh Nawawi Al Bantani setelah kuburnya genap berusia 1 tahun datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya, tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya.

Dan yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.

Kejadian ini mengejutkan para petugas, mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Dan setelah diteliti sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan.

Lalu pemerintah melarang membongkar makam tersebut, jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sedia kala hingga sekarang makam beliau tetap berada di Mala Mekkah. Demikianlah Syekh Nawawi Al Bantani Al Jawi mendapat karamah dari Allah Subhanahuwata’Ala.

Baca Juga: Mengaspal di Tanah Air, Simak Jadwal MotoGP Mandalika 2023

Itulah kisah Syekh Nawawi Al Bantani, Waliyullah Asal Tanara Banten yang DIkaruniai Seribu Karomah. Semoga menjadi manfaat.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Riyo Fulana


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah