Pembatasan Operasional Rumah Makan, K.H Embay Mulya Syarif: Sudah Menjadi Adat Masyarakat Banten

- 6 Maret 2024, 15:35 WIB
Tokoh Agama sekaligus pendiri Provinsi Banten Embay Mulya Syarif mendukung adanya pemberlakuan jam operasional warung makan, dan hal itu telah dilakukan masyarakat Banten sejak ratusan tahun lalu.
Tokoh Agama sekaligus pendiri Provinsi Banten Embay Mulya Syarif mendukung adanya pemberlakuan jam operasional warung makan, dan hal itu telah dilakukan masyarakat Banten sejak ratusan tahun lalu. /Kabar Banten/Rizki Putri

KABAR BANTEN - Tokoh agama sekaligus pendiri Provinsi Banten Embay Mulya Syarif mendukung permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Serang kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Serang untuk menindak tegas terhadap tempat hiburan malam (THM) khususnya rumah makan untuk tidak beroperasi pada siang hari selama bulan ramadan.

Sebab, hal tersebut sudah menjadi adat dan budaya masyarakat Banten sejak ratusan tahun lalu.

Sehingga para pelaku usaha rumah makan baru membuka usahanya pada sore hari untuk menyediakaan lauk pauk serta takjil bagi warga yang melakukan ngabuburit.

Baca Juga: Jam Operasional Rumah Makan di Kota Serang Diusulkan, MUI Minta Pemkot Tindak Tegas Pelanggar

"Tentu, saya mendukung permintaan MUI Kota Serang agar Pemkot Serang bertindak tegas terhadap THM, khususnya rumah makan agar tutup di siang hari dan mulai buka sore hari selama ramadan. Ini sudah menjadi adat masyarakat Banten sejak ratusan tahun lalu. Setiap bulan ramadan rumah makan hanya buka sore hari sampai waktu Sahur," katanya, Selasa 5 Maret 2024.

Menurut dia, sejauh ini toleransi masyarakat Banten, khususnya Kota Serang sudah terjaga dengan baik sejak masa kesultanan dan harus dijaga hingga kini sampai ke di masa depan.

"Toleransi beragama masyarakat Banten sudah sangat terjaga dengan baik. Bahkan, perangkat Kota di seluruh Jawa adalah pendopo Bupati, alun-alun dan masjid," ujarnya.

Hal itu juga dibuktikan dengan berdirinya sejumlah rumah peribadatan yang ada di Kota Serang.

Bahkan, Masjid Agung Ats-Tsauroh berada persis bersebrangan dan berdampingan dengan bangunan Gereja Kristus Raja, yang telah berdiri sejak lama.

"Di Kota Serang, pendopo Bupati, alun-alun dan gereja yang sudah ratusan tahun serta masjid agung ats-tsauroh yang berdekatan dengan gereja katolik kristus raja," tuturnya.

Tak hanya itu, kata Embay, selama puluhan tahun halaman parkir di kawasan Masjid Agung Ats-Tsauroh Kota Serang seringkali menjadi tempat parkir kendaraan para jemaat yang beribadah di Gereja Katolik Kristus Raja.

"Begitupun sebaliknya. Jika parkiran masjid ats-tsauroh penuh, kami umat muslim bisa menggunakan tempat parkir di halaman gereja. Dan ini sudah berlangsung selama puluhan tahun," ucapnya.

Bukan hanya soal tempat peribadatan yang berada di Kota Serang, dan sejumlah wilayah di Provinsi Banten saja yang berdampingan.

Adat istiadat antar umat beragama pun telah dilakukan oleh masyarakat Banten sejak dahulu kala.

Baca Juga: Sepekan Jelang Ramadan 1445 Hijriah, Sejumlah Kebutuhan Pokok di Kota Serang Merangkak Naik

Sehingga, apabila ada penilaian terhadap Provinsi Banten khususnya Kota Serang dianggap intoleran, hal itu tidaklah benar.

Bahkan, Embay yang juga merupakan tokoh pendiri Kota Serang menjelaskan, alasan masyarakat Banten memotong kerbau baik untuk perayaan idul fitri maupun hari-hari besar dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, adalah untuk menghargai umat Hindu yang menyucikan sapi.

"Ini bukti, masyarakat Banten pada umumnya bahkan sampai sekarang pun tidak memotong sapi. Tetapi memotong kerbau karena menghargai umat Hindu. Oleh karena itu toleransi beragama masyarakat Banten harus tetap dijaga dengan baik," ujarnya.***

 

Editor: Yandri Adiyanda


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x