Hati-hati Beri Nama Stadion, UU dan PP Ini Wajib Diperhatikan, Pemerintah Jangan Sampai Melanggar

- 13 Oktober 2021, 16:38 WIB
Salah satu penamaan stadion Banten yang kini menjadi Banten Internasional Stadium.
Salah satu penamaan stadion Banten yang kini menjadi Banten Internasional Stadium. /tangkap layar Instagram @stadion.banten

KABAR BANTEN – Pemberian nama bangunan atau gedung hingga stadion maupun jalan, ternyata tak bisa sembarangan karena telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Bukan hanya UU Nomor 24 Tahun 2009 tersebut, namun untuk menamai sebuah bangunan atau gedung seperti stadion atau pun jalan harus memerhatikan PP Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.

Dihimpun kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari kedua aturan tersebut, berikut penjelasannya yang perlu hati-hati bagi pemerintah, termasuk pemerintah daerah dan instansi lainya dalam memberi nama stadion maupun jalan.

Baca Juga: Stadion Banten Dinamakan Banten International Stadium, Begini Penjelasan Gubernur

Berdasarkan Uundang-undang (UU), yakni UU Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan, dijealskan dalam Bab 3 Pasal 36 Ayat (1) yang menegaskan bahwa Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.

Kemudian pada ayat (3) disebutkan, Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan.

Bukan hanya itu, namun juga untuk merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Begitu juga dalam PP Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi. PP tersebut ditetapkan Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2021 dan diundangkan pada 7 Januari 2021.

Dalam PP ini dijelaskan soal unsur tupabumi yang terdiri atas unsur alami dan unsur buatan. Untuk unsur alami meliputi pulau, kepulauan, gunung, pegunungan, bukit, dataran tinggi, gunung, gua, lembah.

Selanjutnya tanjung, semenanjung, danau, sungai, muara, samudera, laut, selat, teluk, unsur bawah laut, dan unsur alami lainnya.

Sedangkan untuk unsur buatan, terdiri atas wilayah administrasi pemerintahan, objek yang dibangun, kawasan khusus, dan tempat berpenduduk.

Selain unsur buatan sebagaimana dimaksud pada adalah tempat, lokasi, atau entitas yang memiliki nilai khusus atau penting bagi masyarakat suatu wilayah dapat dikategorikan sebagai Unsur Buatan.

Pada Bab II Pasal 3 disebutkan nama rupabumi harus memenuhi prinsip sebagai berikut:

  • menggunakan bahasa Indonesia
  • dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila Unsur Rupabumi memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan atau keagamaan;
  • menggunakan abjad romawi;
  • menggunakan 1 (satu) nama untuk 1 (satu) Unsur Rupabumi
  • menghormati keberadaan suku, agama, ras, dan golongan
  • menggunakan paling banyak 3 (tiga) kata
  • menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia
  • menghindari penggunaan nama instansi atau lembaga
  • menghindari penggunaan nama yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan/atau daerah
  • memenuhi kaidah penulisan Nama Rupabumi dan kaidah spasial.

Jadi hati-hati dalam menamai stadion, jalan, maupun gedung, terutama bagi pemerintah daerah yang dalam peraturan disebut sebagai penyelanggaran nama rupabuma justru melanggar aturan.

Pasca ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi, maka penamaan rupabumi menjadi semakin perlu diperhatikan.

Menurut Kepala Pusat Pemetaan Rupabumi dan Toponim BIG Ade Komara Mulyana, Kepala Badan Informasi Geospasial Muh Aris Marfai, terdapat prinsip-prinsip yang harus dipatuhi dalam pemberian nama suatu tempat.

Di antaranya adalah mengutamakan penggunaan bahasa lokal dan menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup.

“Nama rupabumi harus memenuhi prinsip penamaan, salah satunya menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup," katanya dikutip kabarbanten.pikiran-rakyat.com dari big.go.id.

Meski diperbolehkan menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia, namun paling singkat 5 tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia.

Pakar Toponimi Universitas Indonesia Multamia RMT Lauder, mengatakan, kondisi Indonesia sebagai multi-kultural dan multi-bahasa, sehingga perlu dilakukan pembakuan nama rupabumi di Indonesia.

Baca Juga: KPK Wanti-wanti Pemkot Cilegon: Jangan Bangun Gedung Sebelum Status Lahan Jelas, Bagaimana Graha Edhi Praja?

“Penelitian nama-nama tempat generik dalam ratusan bahasa daerah sebagai dasar penulisan nama topografi serta memeriksa kembali makna, sejarah (etimologi) dan makna budaya dari nama-nama diri (spesifik) yang telah diberikan oleh masyarakat setempat,” ujarnya.***

Editor: Yadi Jayasantika

Sumber: big.go.id


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah