Puasa Hati

- 13 Mei 2020, 01:30 WIB
Machdum Bahtiar Kemenag Banten
Machdum Bahtiar Kemenag Banten /

Dalam sejarahnya, puasa tidak melulu dilakukan oleh para penganut agama Samawi. Jauh sebelum Islam datang, para penganut paganisme telah melakukannya. Tentu, dengan model dan formula ritual yang berbeda. Tujuannya sama, untuk menuju Tuhan.

Puasa dilakukan oleh orang-orang yang dekat atau membutuhkan Tuhannya (beriman), baik itu Muslim, Protestan, Katolik, Hindu, Buddhis, Kong Hu Chu atau Paganis. Tanpa tujuan mereka tidak melakukannya. Untuk mencapai sublimasi harus didasari hati yang tulus (iman) dan kekuatan tujuan yang tinggi.

Dengan demikian, para pelakunya berharap akan mendapatkan reward (pahala) dari Tuhan-Nya. Relevan sekali dengan firman Allah Swt, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S. al-Baqarah:183).

Secara generik dan logis memang hanya orang yang beriman yang dapat melaksanakan puasa itu. Karena orang yang tidak beriman tidak akan menyentuh kepada esensinya, kecuali hanya menahan haus dan lapar, sebagaimana termaktub dalam hadits Nabi SAW, “Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja” (H.R. Ibnu Majah).

Ada juga puasa dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk mendapatkan tujuan tertentu yang dikehendakinya. Misalnya untuk mendapatkan kedigdayaan (tidak mempan dibacok/ditembak, dsb), untuk mendapatkan kekayaan, karier cemerlang atau untuk mendapatkkan si tambatan hati.

Tidak heran, jika orang-orang terdahulu, nenek-moyang kita, bahkan manusia sekarang untuk mendapatkan itu, mereka berpuasa. Contoh puasa matigeni, puasa mutih, atau puasa setiap hari. Tentu, Islam tidak mengenal puasa jenis itu.

Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika dia baik, maka baik pula seluruh tubuhnya, dan jika dia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Dia adalah hati” (HR. Buhari-Muslim). Hati ibarat cairan yang berada di dalam botol.

Berharga dan tidaknya botol itu tergantung jenis cairan yang ada di dalamnya. Jadi, isi botol itu menentukan wibawa dan derajat botol itu. Demikian halnya hati manusia, akan menentukan klasifikasi manusia itu. Hati diberikan agar bisa melihat, merasakan, dan melakukan hal yang baik. Allah menciptakan hati agar manusia menjadi manusia bukan menjadi yang lain.

Imam Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumudin mengungkapkan bahwa ada empat sifat hati yang bisa merusak manusia kredibilitas manusia yang mampu menempatkannya pada level terendah, tatkala di dalam hatinya terdapat empat sifat berikut.

Halaman:

Editor: Kabar Banten


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah