Tugu Bersejarah Perlawanan Rakyat Banten Terhadap Penjajah, Menjadi Simbol Perjuangan

19 Januari 2024, 16:10 WIB
Tugu Cijentul di di Desa Cilowong, Taktakan Kota Serang Banten/tangkapan layar youtube/channel AYOK3BANTEN /

KABAR BANTEN - Tugu bersejarah perlawanan Rakyat Banten terhadap penjajah, banyak bermunculan sesaat setelah berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menyebar.

Terjadi perubahan-perubahan sosial politik di berbagai sudut Indonesia, salah satunya juga terjadi di Banten.

Kelompok sosial masyarakat semua bersatu padu dalam merebut kekuasaan dari Pemerintah Jepang atau Daipon yang saat itu di bawah Residen Banten.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Banten di Museum Situs Kepurbakalaan di Kawasan Kesultanan Banten

Kelompok sosial ini melakukan koalisi dan berhasil merebut kekuasaan ke tangan kaum pribumi seutuhnya.

Kemudian terbentuklah Pemerintahan Daerah Banten yang baru bernama Pemerintah Daerah Keresidenan Banten yang dipimpin oleh KH Tubagus Ahmad Chatib sebagai residen.

Pemerintahan ini didukung oleh elemen pemuda, ulama, intelektual, pribumi dan Angkatan Bersenjata.

Untuk menjaga keamanan di daerah Banten dibentuklah Badan Keamanan Rakyat atau BKR Keresidenan Banten yang dipimpin oleh KH Syam’un sebagai pengambil alih kekuasan dari Jepang.

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dephi, berikut kisah simbol sejarah perjuangan rakyat Banten yang dikenang melalui tugu.

Pada agresi militer Belanda pertama tanggal 21 Juli 1947 wilayah Banten diserang melalui darat, laut, dan udara. Serangan dimulai sehari sebelumnya yaitu 20 Juli 1947.


Serangan pertama dilakukan melalui jalur udara, di mana Belanda menjatuhkan bom ke lapangan udara Gorda di Cikande, Serang.


Serangan kedua dilakukan melalui jalur laut pada malam hari dengan menembaki gudang Pelabuhan Angkatan Laut Republik Indonesia Banten.

Serangan ketiga dilakukan melalui jalur darat sehingga menyebabkan terjadinya pertempuran di Leuwi Liang.

Serangan Belanda ini bertujuan untuk menduduki Pusat Tenaga listrik di Kracak Tangerang.

Menanggapi serangan mendadak Belanda Brigade Tirtayasa memerintahkan menyerang balik Belanda di Tangerang, penyerangan dilancarkan melalui tiga jurusan yaitu Utara, Tengah dan Selatan.

Serangan dari Utara dilakukan di Mauk, dari arah Tengah dilakukan di Balaraja Tangerang dan serangan dari Selatan dilakukan di Tangerang.

Serangan-serangan ini dimulai dari terbitnya fajar dan berlangsung sepanjang hari pada PD 1 Belanda tidak bermaksud menguasai Banten akan tetapi pihak militer Belanda melakukan blokade.

Banten sengaja diisolasi dari wilayah luar agar kondisi Banten menjadi lemah, blokade ini dilakukan dengan penjagaan secara ketat di jalur perbatasan laut dan darat.

Hal ini menyebabkan hubungan Pemerintahan Banten dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia yang saat itu berada di Yogyakarta menjadi lemah.

Banten mengalami goncangan krisis, inilah yang menjadi tujuan Belanda karena kebutuhan hidup sehari-hari sulit ditemukan.

Untuk mengatasinya rakyat membuat barang - barang secara mandiri dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia misalnya bensin yang diolah sedemikian rupa dari karet.

KH TB Ahmad Khatib sebagai Residen Banten berinisiatif melakukan kebijakan mencetak URI atau Uang Republik Indonesia Daerah Banten.

Sementara agar masalah ekonomi pada saat itu dapat diatasi pada agresi militer Belanda II, Belanda berusaha menguasai Wilayah Banten melalui serangan-serangan yang dimulai pada tanggal 23 Desember 1948.

Pada saat itu kekuatan militer di Banten hanya ada tentara Republik Indonesia, perlawanan yang berarti kemudian Belanda memberlakukan jam malam sampai jam 6 pagi.

Jika ada yang berkeliaran maka Belanda tidak segan untuk menembakinya, karena terdesak oleh Belanda, Keresidenan Banten menepi ke daerah pedalaman di Selatan Banten yaitu Kawedanan Cibaliung.

KH. Tb. Ahmad Khatib sebagai Residen Banten melaksanakan aktivitas pemerintahan bersama TNI, hal serupa dilakukan pula oleh Pemerintahan Daerah Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak.

Pemilihan daerah ini karena keadaan alamnya berupa pengunungan yang cenderung aman terlebih penduduk sekitar menerima dan membantu perjuangan ini dengan cara memberi beberapa sumbangan berupa kerbau, padi, buah-buahan dan sebagainya.

Peran kaum ulama sangat penting pada pertempuran menghadapi agresi militer Belanda II ini, mereka sangat dipercaya rakyat dan memberikan contoh ketabahan dalam menghadapi kesulitan.

Pengaruhi taktik perang gerilya berbeda dengan wilayah Banten di bagian Selatan, daerah ini menjadi medan pertempuran yang merepotkan pihak militer Belanda.

Serangan dilakukan dengan berbagai cara yaitu penyerangan pada malam hari ke pos-pos penjagaan Belanda.

Penghadangan pasukan konvoi Belanda, pemasangan ranjau darat, penyerangan terjadi hampir 24 jam.

Di mana para pejuang selain menyerang pos-pos penjagaan Belanda juga melakukan pembakaran dan penghancuran jembatan di daerah.

Berikut ini tugu bersejarah yang menceritakan kisah perjuangan melawan penjajah.

 

Tugu 45 Perang Gerilya Sektor XIV pada 24 Desember 1948, Desa Tanjung, Kelurahan Sayar, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten.


Tugu 45 yang berada di Desa Tanjung, Kelurahan Sayar, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten memiliki sejarah mengenai pertempuran gerilya dan kegigihan para pejuang yang mempertahankan daerah Banten dengan mempertaruhkan jiwa dan raga.

Keberanian serta tekad yang kuat para pahlawan merupakan rasa tidak takut akan kehilangan nyawa atau harta benda, walaupun dengan persenjataan hanya dengan golok, bambu runcing dan senjata yang ada.

Mereka tidak gentar sedikit pun terhadap musuh yang memiliki perlengkapan senjata yang baik.

Tugu 45 ini merupakan sebuah tanda lokasi pertempuran yang terjadi, mempertahankan wilayah dengan tujuan memblokade jalan masuk menuju Anyer dari arah Serang, Ciomas dan Taktakan, Desa Tanjung, Kelurahan Sayar, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten. Didirikannya tugu yang disebut Tugu 45 .

Tugu ini menjadi saksi bisu perjuangan rakyat Banten, dan dibangun sebagai momentum untuk menandakan bahwa di sekitar Tugu 45 tersebut menjadi markas perang gerilya sektor 14 pada 24 Desember 1948 yang dipimpin oleh Kapten Ali Amangku dan Komandan Subsektor lda Tubagu Suwandi.

Menurut Abdul Gandhi salah satu pejuang sektor 14 yang masih hidup menceritakan bahwa Tugu 45 tersebut sebagai tanda bahwa dalam memptahankan kemerdekaan NKRI sebagai tempat perlawanan terhadap Belanda.

Dan tidak hanya itu di tugu tersebut pula tempat bermusyawarah merencanakan strategi perlawanan terhadap Belanda sekaligus tempat peristirahatan para pejuang.

Sedangkan makna dari Tugu 45 atau angka 45 pada Tugu tersebut menyatakan bahwa pada tahun 1945 menandakan adanya pertempuran yang terjadi di wilayah Sayar setelah kemerdekaan.

Sedangkan gambar Bambu Runcing berwarna kuning bersilangan dengan senjata api dan di atasnya terdapat gambar golok sebagai perlambang perjuangan yang menandakan bahwa senjata yang digunakan para pejuang rakyat Banten adalah senjata golok dan bambu runcing.

 

Tugu Perlawanan Cijentul 1948, Desa Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten

Dalam pertempuran Tugu perlawanan Cijentul 1948 di Desa Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, Provinsi Banten.

Monumen pertempuran Cijentul memiliki beberapa makna di antaranya adalah kegigihan para pejuang yang merupakan suatu ketetapan hati untuk memperjuangkan dan mempertahankan daerah Indonesia sendiri dengan mempertaruhkan jiwa dan raga.

Selain itu juga, tugu ini miliki makna tentang keberadaan serta tekad yang kuat dijunjung tinggi oleh para pahlawan, tidak takut akan kehilangan nyawa atau harta benda agar para penjajah tidak menguasai Indonesia.

Para pahlawan memiliki jiwa yang kuat serta pantang menyerah, untuk itu Tugu Cijentul merupakan sebuah tanda pertempuran yang terjadi di lokasi tersebut.

Selain itu di lokasi itu pula yang menjadi tempat untuk menghadang tentara penjajah yang akan mengekspansi wilayahnya ke Cilowong, dalam pembangunannya warga sekitar dan pemerintah ikut serta.

Pada saat itu menurut penuturan masyarakat, monumen tersebut terdiri atas peluru pondasi serta pagar yaitu pelurus sebagai tanda keberanian para pejuang bangsa dalam menghadapi para penjajah.

Monumen itu sendiri telah beberapa kali dicat ulang dengan warna yang sama pada bulan Agustus, sebelum Tugu dibangun terjadi peperangan antara pembela tanah air dengan pasukan Belanda yang ingin menyerang menuju Kabupaten Serang atau lebih tepatnya menuju Anyer, dengan rute dari Taktakan, Serang, Banten.

Warga sekitar serta para pejuang mempertahankan wilayah ini dengan tujuan memblokade jalan masuk menuju Anyer dari arah taktakan dan hasilnya para warga dan para pejuang bangsa berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang berniat menginvasi daerah jajahannya menuju Anyer.

Setelah beberapa bulan bahkan beberapa tahun, muncul gagasan untuk membangun tugu di sekitar area pertempuran tersebut yang dikenal dengan Tugu Cijentul.

Didirikannya tugu sekaligus untuk mengenang jasa para pahlawan yang berjuang gigih dalam memblokade perjalanan Belanda.

Monumen pertempuran Cijentul dibangun berdasarkan kesepakatan yang diambil oleh para pimpinan daerah pada saat itu.

Beberapa pimpinan daerah yang ada di Serang berkumpul untuk mendiskusikan pembangunan monumen, makna yang terkandung di dalam sebuah monumen  untuk mengenang perjuangan bangsa melawan penjajah Belanda.

Bangunan tugu yang memiliki peluru adalah sebuah simbol keberanian dari para pejuang untuk menghadang penjajah Belanda, pada saat itu makna dari peluru adalah bahwa pejuang dapat menembus barisan penjajah dengan gagah berani.

Tugu pertempuran masih berdiri di kokoh di Cijentul, Desa Cilowong, Kecamatan Taktakan, Kota Serang, tepatnya di tikungan menuju tempat pembuangan akhir atau TPA Cilowong.

Tugu pertempuran Cijentul berbentuk seperti peluru berwarna keemasan serta dilengkapi tumpuan berbentuk persegi empat.

Untuk menuju tugu harus melalui sembilan anak tangga, di Tugu itu tertulis “ Di sinilah rakyat bersama-sama dengan pasukan macan loreng dari TNI “.

Tugu Perlawanan Cipelem pada 20 Agustus 1945, Desa Pancanegara, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Provinsi Banten

Tugu Cipelem ini berada di Desa Pancanegara, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Tugu ini dibuat pada tanggal 20 Mei 1976, pada bagian atas tugu ini berbentuk peluru dengan warna keemasan.

Dan di badan tugu terdapat tulisan pertempuran Cipelem 29 Desember 1949,” Kami hanya tulang belulang berserakan, tidak bisa teriak merdeka dan angkat senjata lagi. Tetapi siapa lagi yang tidak mendengar deru Kami. Beribu Kami berbaring di Persada Pertiwi, teruskan, teruskan perjuangan Kami".

Pahlawan yang gugur dalam pertempuran ini adalah pasukan macan ketawa diantaranya Agus Udi Agus dan Muhammad.

Posisi tugu lebih tinggi dari jalan sekeliling dengan bentuk tangga dan dipagari rantai besi.

Selanjutnya tugu yang ada di wilayah Banten yaitu sebagai berikut:

Tugu Pertempuran Kadu Buut pada 04 Maret 1949, Desa Padarincang, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten.

Tugu Sancang Lodaya Sektor 15 Menger pada 27 Desember 1948, Desa Mandalasari, Kecamatan Meger, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Tugu Peristiwa Tjibaliung pada 05 Oktober 1949, Kampung Dahu Satu, Desa Cihanjuang, Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.

Tugu Perjuangan Rakyat Pasirmae pada 4 Oktober 1948, Desa Pasirmae, Kecamatan Cipecang, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten.


Tugu Perjuangan Rakyat Serpong pada 26 Mei 1946, Desa Cilenggang, Kecamatan Cisauk, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

Tugu Geger Cilegon pada 09 Juli 1888, Desa Ramanuju, Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon, Provinsi Banten.

Baca Juga: Gubernur Banten Tugaskan Tim ke Belanda, Dokumen Sejarah Banten Siap Dibawa


Itulah sejarah tentang tugu perjuangan rakyat melawan penjajah Belanda sebagai simbol mengenang jasa para pahlawan yang ada di Provinsi Banten.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi

Tags

Terkini

Terpopuler