Adu Gesit di Menit Akhir

- 24 November 2020, 20:09 WIB
Masudi SR, Anggota KPU Banten
Masudi SR, Anggota KPU Banten /

KABAR BANTEN - Jika tidak ada aral melintang, pelaksanaan puncak pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun ini tinggal menghitung hari. Sesuai jadwal, 9 Desember ditetapkan sebagai waktu pemungutan dan penghitungan suara.

Rentang waktu yang sangat pendek dan krusial bagi semua kandidat kepala daerah yang sedang beradu peruntungan politiknya. Di masa yang sempit ini, konsentrasi pasangan calon hanya pada satu tujuan; harus menang!

Layaknya sebuah kejuaraan balap mobil atau motor yang menyisakan dua putaran sebelum memasuki garis finis, semua menekan atau menarik gas sekuat mungkin. Nyaris melupakan ada beberapa jebakan baik tikungan tajam maupun rintangan lain yang menuntut kewaspadaan dan harus menurunkan tekanan pedal gas serta bersiap menginjak rem.

Seluruh kemampuan terbaik dikeluarkan. Taktik, strategi, dan stamina dipertaruhkan agar menjadi orang yang pertama menyentuh garis finis.

Begitulah yang terjadi hari-hari ini. Tahapan kampanye tidak lama lagi berakhir, persisnya tanggal lima Desember. Untuk selanjutnya semua kontestan diwajibkan masuk dalam masa tenang. Mendinginkan mesin politik setelah sekian lama berputar dengan kecepatan tinggi.

Baca Juga : Pilkada Sehat, Tanggung Jawab Siapa?

Ini berarti tidak ada lagi kegiatan yang sifatnya menawarkan visi, misi, program, atau mengobral kebaikan calon, merayu dan membujuk pemilih.

Tidak dibenarkan melakukan manuver atau akrobat politik yang bisa dikategorikan sebagai kegiatan kampanye. Semua “beristirahat” sampai tiba puncak hari pemungutan suara.

Dalam terminologi Pemilu atau Pilkada, jarak berakhirnya tahapan kampanye sampai dengan sehari sebelum dilaksanakannya pemungutan suara disebut dengan masa tenang. Kemeriahan, kesemarakan dan “kegaduhan” politik yang terjadi sebagai akibat kontestasi, tidak lagi ada.

Jagad politik harus hening dari semua hal itu. Hanya ada kesibukan penyelenggara pemilihan yang mempersiapkan seluruh perangkat kerjanya untuk bisa melayani pemilih yang akan menjalankan hak konstitusional mereka di bilik-bilik suara.

Namun dalam praktiknya masa tenang tersebut justru membuat banyak pasangan calon menjadi tidak tenang. Mereka seperti meragukan hasil kerja keras sendiri yang dilakukan selama berbulan-bulan mencari suara pemilih.

“Perikatan politik” dengan pemilih yang dibangun selama masa kampanye, bahkan jauh sebelum tahapan pemilihan dimulai, seakan diyakini belum terlalu kuat. Karena itu perlu usaha tambahan sebagai langkah pamungkas memastikan dan mengunci suara agar tidak lari. Dan itu dilakukan di waktu yang terlarang.

Baca Juga: Kampanye Pilkada di Masa Pandemi

Dalam kompetisi politik pilkada, adu cerdik bahkan adu licik terkadang dianggap hal yang lumrah. Jika itu dilakukan dalam kerangka norma hukum, fatsun politik dan keadaban publik yang berlaku, tentu saja tidak masalah.

Tetapi manakala demi kekuasaan semua cara dihalalkan, itu pangkal persoalan yang sejatinya dilawan. Sebab ini paradigma yang keliru dan salah kaprah yang coba dipraktik-langgengkan dalam sistem demokrasi.

Dalam demokrasi kekuasaan memang harus diusahakan, diraih, bahkan direbut. Tetapi demokrasi memberi cara dan batasan dalam memerolehnya. Termasuk kekuasaan itu pun sesungguhnya ada pembatasannya.

Bahkan muara akhirnya diarahkan untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.  Itulah fungsi kekuasaan. Karena itu ia hanya alat bukan tujuan akhir.

Sayangnya, kesadaran terhadap fungsi dan tujuan kekuasaan itu hanya dimiliki sejumput orang. Tidak banyak orang yang sedang memegang dan mencari kekuasaan menyadarinya. Jangan kaget jika menemukan seseorang yang sedang berkuasa mengalami perubahan perilaku.

Baca Juga : Kampanye Pilkada di Masa Pandemi

Inilah yang katakan oleh Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16, bahwa karakter dasar seseorang (politisi), terlihat ketika dia beri kekuasaan.

Sekarang, di menit akhir menuju hari yang sangat menentukan nasib para kandidat kepala daerah, perebutan kekuasaan itu semakin terasa. Mesin politik berputar semakin kencang.

Agresivitas pasangan calon dan tim pemenangannya tampak dari berbagai jenis kegiatan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Aturan main pun kadang diterabas. Hasil pengawasan Bawaslu menyebutkan, sampai dengan minggu ketiga November ratusan pelanggaran terjadi.

Jumlah yang berhasil dipotret oleh badan pengawas pemilihan itu memperlihatkan bagaimana sengitnya pertarungan politik di lapangan. Semua berlomba memanfaatkan waktu yang tersisa. Dan kadang kala, selalu ada yang mau melakukan tindakan yang nekat demi menjaga suara pemilih agar tidak lari, sembari melemahkan lawan politik.  

Itulah mengapa diperlukan pengawasan yang lebih ketat dari lembaga pengawas. Lembaga ini dituntut bisa mengimbangi kecanggihan permainan politik culas dimasa-masa seperti ini.

Baca Juga : Kampanye Pilkada di Masa Pandemi

Metode pengawasannya harus keluar dari jebakan business as usual. Masyarakat pun “dipaksa” agar lebih peduli jika menemukan pelanggaran yang dilakukan baik oleh peserta maupun penyelenggara pemilihan.

Kita tentu menginginkan gerak bersama ini bisa melahirkan pemilihan yang tidak hanya berkualitas secara proses, tetapi juga berdampak pada banyak hal. Pilkada ini bukan hanya berlangsung dengan luber-jurdil. Melainkan juga sehat dan selamat. Karena ia digelar di tengah guyuran Covid-19 yang begitu lebat.  

Bahwa Pilkada bukan juga hanya serangkaian proses memilih kepala daerah an sich. Tetapi juga ada disisi lain yakni wadah mendidik masyarakat untuk lebih melek terhadap politik yang santun dan beretika. Jauh dari semangat menjadikan lawan yang kalah sebagai pecundang. (Masudi SR, Anggota KPU Banten 2018-2023)***

Editor: Maksuni Husen


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x