Sejarah Hilangnya Kabupaten Caringin Banten Kulon Akibat Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau

- 29 November 2023, 13:43 WIB
Masjid Agung Caringin Masa Kini, Saksi Sejarah Hilangnya Kabupaten Caringin Banten Kulon Akibat Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau
Masjid Agung Caringin Masa Kini, Saksi Sejarah Hilangnya Kabupaten Caringin Banten Kulon Akibat Dahsyatnya Letusan Gunung Krakatau /Google /Kemendikbud

 

KABAR BANTEN - Caringin adalah desa di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Banten, Indonesia.

Dulu, Caringin penah menjadi sebuah kota kabupaten yang merupakan bentukan pemerintahan Kolonial, bersumber data Regeerings Regrlemen tahun 1854.


Kabupaten Caringin dipimpin oleh seorang bupati, yang saat itu dijabat oleh Regent Boncel.

Data-data sumber Caringin sebagai sebuah kota kabupaten telah didukung oleh data arsip, makam, dan seketsa kanal tahun 1834, namun kota tersebut telah luluh lantak akibat letusan Gunung Krakatau yang dahsyat.

Baca Juga: Masjid Kuno Kasunyatan Kasemen Serang Banten, Ada Komplek Makam Syekh di Dalamnya

Seperti dikutip Kabar Banten dari Youtube Mang Dhepi, berikut sejarah hilangnya kabupaten Caringin yang hancur luluh lantak akibat letusan Gunung Krakatau.

Pada tahun 1883, berdasarkan hasil penelitian tahun 1995 melalui metode underwater oleh para arkeologi, di pantai Caringin telah ditemukan runtuhan bangunan yang besar kemungkinannya adalah masjid Caringin kuno.

Masjid Caringin yang saat ini berdiri yang bernama masjid Assalafiah adalah bangunan yang dibangun setelah masjid Caringin kuno hancur tenggelam oleh letusan Gunung Krakatau.

Timbul pertanyaan, dimana bangunan pendopo kabupatennya?

Diperkirakan bangunan pendopo kabupaten berada pada arah Timur dari Masjid Caringin Kuno, sekitar 200 meter dari Masjid Assalafiah yang sekarang berdiri.

Lokasi tersebut menjadi genangan air, hanya sayangnya belum dilakukan ekskavasi secara total dan lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Gedung Rombeng.

Pasca letusan Gunung Krakatau telah dilakukan penelitian di sepanjang pantai Barat Banten.

Antara lain penelitian tahun 1955 yang dilakukan oleh Van Heekeren untuk melacak kubur prasejarah di pantai Barat Banten di Anyer.

Lalu pada tahun 1979, Pusat Penelitian Arkeologi Nasioanal melanjutkan hasil lacakan dari Van Heekeren dan telah diadakan ekskavasi, dan hasilnya telah ditemukannya rangka manusia dan bekal kubur, diantaranya berupa mangkuk (cawan), periuk kecil, manik-manik dari kalsedon atau kaca dan benda-benda perunggu.

Berikutnya pada tahun 1985 dilakukan kembali penelitian di Caringin, Labuan guna menelusuri bekas-bekas reruntuhan Kabupaten Caringin yang tenggelam.

Melalui penelitian underwater ditemukan fundasi bangunan yang diperkirakan bangunan Kabupaten Caringin, fondasi ini berada di dasar laut yang diperkirakan lokasi tersebut bekas muara sungai Caringin.

Dan pada tahun 2003 dilakukan kembali penelitian untuk menyusuri sebaran artefak runtuhan kota Caringin hingga sampai ke hulu dan kanal yang juga terkena korban letusan gunung krakatau.

Secara administrasi pada masa Kesultanan periode 1620 sampai 1677, daerah Banten meliputi wilayah Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, bagian Barat Kabupaten Bogor dan sebagian kecil Kabupaten Sukabumi di bagian Barat.

Kemudian pada periode 1677 sampai 1705 daerah Banten lebih meluas ke arah Timur, terutama di Wilayah Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.

Batas wilayah tersebut berlangsung hingga kekuasaan pemerintahan Belanda pada tahun 1811.

Dan 3 tahun setelah runtuhnya Kesultanan Banten tahun 1816, pemerintah kolonial telah membagi Kesultanan Banten menjadi empat wilayah secara administrasi dibagi menjadi empat bagian, yaitu Banten Lor, Banten Kidul, Banten Tengah dan Banten Kulon.

Masing-masing mengalami perubahan, pusat Kabupaten Banten Lor menjadi Kabupaten Banten Lor, pusat kotanya Serang. Banten Kidul menjadi Kabupaten Banten Kidul pusat kotanya Lebak.

Banten Tengah menjadi Kabupaten Banten Tengah pusat kotanya Pandeglang dan Banten Kulon menjadi Kabupaten Banten Kuloan pusat kotanya di Caringin.

Kemudian dibentuk Residen Banten dengan pejabat residen yang pertama adalah J. Deb Ruyan pada tahun 1817 sampai 1818.


Pemecahan Banten sebagai konsekuensi runtuhnya Kesultanan Banten sehingga kedudukan pejabat kesultanan diturunkan sebagai pejabat bupati di bawah residen yang dijabat oleh kolonial.


Pejabat Bupati waktunya dibatasi dan diangkat oleh pemerintah kolonial seperti Patih Darus atau Ngabehi Bahu Peringga.

Ia merupakan keturunan yang keenam dari moyangnya Batara Patanjala dan cicit dari Pangeran Astapati, beliau seorang pejabat tinggi dari Kesultanan Banten pada masa menjelang runtuhnya kesultanan.

Ia menjabat sebagai seorang Maha Patih untuk menguasai secara otonom Daerah Lebak dan Leuwi Damar dengan gelar Behi Bahuingga Nam.

Tahun 1816 pemerintah kolonial telah membagi Kesultanan Banten menjadi kabupaten.

Demikian juga di Banten Lor atau Serang, jabatan Bupati dari zuriat Kesultanan Banten Pangeran Muzakar Ari Santika pada 1816 sampai 1827 dan Banten Kulon yang menjabat Bupati adalah Tubagus Wirajaya alias Regen Boncel.

Kota-kota yang tumbuh pada awal abad ke-19 di Banten adalah kota Kabupaten Kidul, dengan pusat kotanya di Lebak. Kabupaten Banten Tengah pusat kotanya di Pandeglang, Kabupaten Banten Kulon pusat kotanya di Caringin.

Caringin sebagai pusat kota Banten Kulon telahmemiliki suatu perencanaan tata kotanya, pemilihan Caringin sebagai suatu kota Kabupaten berdasarkan beberapa pertimbangan.

Di antaranya lokasi Caringin sumber air tanahnya tidak asin, Caringin diapit oleh dua buah Sungai yaitu sungai Cikande yang berada di Caringin Lor dan Sungai Cisanggoma yang berada di Caringin Kidul.

Di samping itu telah dilakukan tata guna air dengan membuat dam dan kanal untuk mengatur debit air dan fungsi kanal untuk mengairi sawah yang posisinya berada di atas aliran sungai.

Dermaga muara Sungai Cisanggoma merupakan tempat bersandar kapal-kapal besar untuk membawa hasil bumi untuk mensuplai keluar Caringin, antara lain untuk keperluan Batavia.

Dan ternyata Dermaga Caringin merupakan pelabuhan perdagangan internasional, karena berdasarkan hasil penelitian bawah laut yang dilakukan pada tahun 1985 telah ditemukan fragmen keramik dari berbagai negara antara lain China, Thailand, Jepang, Belanda dan lain sebagainya.

Seperti dalam cerita legenda atau cerita-cerita yang digambarkan dalam kitab-kitab suci yang menggambarkan Ul perbuatan manusia yang dalam kehidupannya bergelimang maksiat dan dosa, yang akibatnya alam sebagai tempat berpijak mengamuk.

Amuk alam yang dikaitkan dengan ulah manusia dan menimbulkan suatu kemarahan itu telah terjadi ketika meletusnya Gunung Tambora demikian juga amuk Gunung Krakatau.

Menurut Kyai Haji Mas Caringin mantan ketua Masjid Salafi Caringin, bahwa Amuk Krakatau adalah karena ulah manusia yang bergelimangan harta yang tidak mensyukurinya, malah mengkufuri nikmat yang diberikan Allah SWT.

Mereka tidak mengeluarkan zakatnya yang sebetulnya di dalamnya hartanya terdapat bagian bagi orang fakir miskin, gambaran kemakmuran Caringin sebagaimana diceritakan tersebut tidak hanya pada perhiasan, tapi pada alat-alat rumah tangganya pun seperti tempat minum terbuat dari bahan emas.

Demikian juga kedudukan jabatan telah mempengaruhi sikap seseorang.

Saat itu Gunung Krakatau merupakan gunung yang memiliki tinggi sekitar 2000 m dari atas permukaan laut, telah menghancurkan 3/4 bagian tubuhnya yang hanya tinggal 813 m dari atas permukaan laut.

Gesekan dua lempengan besar antara Indo Australia dan lempengan Pasifik menyebabkan terjadinya gesekan dan tekanan yang sangat besar, sehingga menimbulkan letusan yang dahsyat.

Dan gemuruh letusannya mampu terdengar sampai radius 3000 km, di antaranya terdengar hingga Australia hempasan gelombangnya hingga sampai radius 7000 km atau hingga Semenanjung Arab.

Gelombang tsunami atau gelombang pasang hingga menempa pantai barat Amerika Tengah dan telah terjadi kerusakan berat di Hawai.

Hujan batu vulkanik terjadi hingga sampai pada radius 780.000 km, daerah-daerah yang berada di Selat Sunda antara lain pesisir Sumatera Bagian Selatan dan pantai Barat Banten merupakan daerah radius guguran.

Pesisir Sumatera Selatan antara lain telah menghantam kota Teluk Betung, Bandar Lampung.

Sampai di kota tersebut masih tertinggal jangkar kapal, pelampung suar, dan kerangka kapal.

Lalu oleh Pemda Bandar Lampung dijadikan suatu monumen, sedangkan pantai Barat Banten diantaranya di Kabupaten Banten Kulon.

Dalam catatan sejarah, korban letusan Krakatau di Caringin telah menelan korban sebanyak 15.000 jiwa, pusat pemerintahan dialihkan ke Menes dan berikutnya ke Pandeglang.

Tenggelamnya Caringin bukan legenda atau cerita fiktif, tetapi benar-benar terjadi kurang lebih sekitar 20 meter dari garis pantai saat ini.

Bahkan hingga saat ini masih ada tiang bangunan yang diperkirakan tiang sebuah Masjid Agung Caringin berjaraknya dari garis pantai sekitar 7 meter di waktu pasang.

Tiang bangunan tersebut berada di Pantai Caringin atau di lokasi situs Gedung Rombeng.

Pada tahun 2003 para arkeolog melanjutkan penelitiannya untuk menyusuri hulu kanal yang pada tahun sebelumnya telah diketahui hilirnya ditemukan di bawah permukaan air laut.

Hulu kanal telah ditemukan di Desa Banyubiru, Kecamatan Labuan, sementara bentuk kanal telah berubah posisinya sudah tidak lurus dan bentuknya seperti aliran sungai.

Sebaliknya Sungai Cikande yang berada pada arah Lor atau Caringin Lor bentuknya semakin menyempit.

Sungai Caringin yang merupakan sungai besar dan sebagai penyuplai hasil bumi dari hulu sudah tidak bisa ditemukan lagi.

Yang ada hanya Sungai Cisanggoma yang besar kemungkinan Sungai Cisanggoma ini bekas kanal yang berubah menjadi seperti sungai.

Caringin sebagai kabupaten pada pasca letusan Gunung Krakatau telah dibangun kembali dan menjadi Kota Santri, karena banyaknya pesantren-pesantren yang didirikan keluarga Kyai Haji Mas Asnawi dan putra-putranya memiliki banyak santri, baik dari daerah sekitaran Caringin maupun dari luar Caringin.

Ada juga bangunan pendidikan yang setara dengan sekolah umum atau madrasah, sebagai bukti arkeologi atas bangunan pasca letusan Gunung Krakatau, selain masjid Assalafiyah Caringin.

Bukti penelitian arkologi lainnya terdapat kubur-kubur kuno di sepanjang pantainya antara lain kubur pejabat Bupati pertama Caringin yang bernama Bonchel dan istrinya.
Kubur Pangeran Jimat dan kubur para pejabat bupati lainnya. Komplek kubur tersebut secara toponimi disebut Istana Gede di Desa Pejamben.

Kubur para pejabat bupati ini bentuk nisannya artifisial, sementara kubur ulama yang berada di Desa Caringin bentuk nisannya dari batu alam polos halus dari batuan andesik.

Kuburan ulama ini diantaranya kubur Kyai Haji Mas Caringin, Kyai Hji Mahdi, Kyai Haji Mas Abdurrahman dan situs-situs lainnya.

Caringin sebagai Kota Santri tidak menutup kemungkinan akan mengalami perubahan dan terus berubah mengikuti siklus alam. Apakah perubahan ini ke arah yang lebih baik ataukah sebaliknya.

Caringin yang sekarang ini tidak hanya telah menjadi Kota Santri akan tetapi menjadi Kota Situs purbakala sebagai bukti korban dari letusan gunung Krakatau bangunan sebelum Gung krakatetus antara lain bangunan kanal, bangunuan desa, bangunan gedung kabupaten Caringin di situs Gedong Rombeng dan masjid Kuno Caringin yang hanya tinggal tiang pancangnya.

Baca Juga: Menguak Sejarah Masjid Kuno Kaujon Serang Banten, Ada Filosofi Buah Nanas Banyak yang Belum Tahu Keunikannya

Itulah sejarah Kabupaten Caringin sebagai kota yang hilang akibat letusan dahsyat Gunung Krakatau yang menelan banyak korban jiwa.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x