Sejarah Cina Benteng Tangerang Sebagai Awal Peradaban Tionghoa di Banten

- 5 Januari 2024, 15:24 WIB
Sejarah Cina Benteng Tangerang Sebagai Awal Peradaban Tionghoa di Banten
Sejarah Cina Benteng Tangerang Sebagai Awal Peradaban Tionghoa di Banten /Kemdikbud.go.id/

KABAR BANTEN - Orang Tionghoa Benteng atau lebih dikenal dengan sebutan Cina Benteng atau Orang Benteng, adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang, Provinsi Banten.

Nama "Tionghoa Benteng" berasal dari kata "Benteng" yang saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di Kota Tangerang terletak di Kawasan Pasar Lama, Tangerang, tidak jauh dari sungai Cisadane dan stasiun Tangerang.

Baca Juga: Wisata Gratis Paling Populer di Yogyakarta, Alun-alun Kidul yang Memiliki Sejarah

Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi, berikut sejarah Cina Benteng di Tangerang Banten.


Pasar Lama merupakan pasar tradisional tertua yang pernah ada dan merupakan cikal bakal Kota Tangerang.

Benteng ini dulunya difungsikan sebagai pos pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten.


Benteng ini merupakan benteng terdepan pertahanan Belanda di Pulau Jawa.

Masyarakat Tionghoa Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan.


Mereka adalah komunitas Tionghoa Peranakan terbesar di Indonesia. Setelah masa peralihan 1945—1950, banyak dari mereka yang eksodus ke Belanda dan Amerika Serikat.


Cina Benteng merupakan bentuk masyarakat hasil dari perpaduan dua kebudayaan, yakni etnis Tionghoa dan pribumi.

Mereka banyak melakukan pernikahan campuran atau amalgansi sehingga terjadi pembauran.


Ciri-ciri fisik mereka tidak seperti orang Cina umumnya, warnanya agak gelap dan matanya tidak terlalu sipit.

Mereka sudah menyatu dengan masyarakat pribumi, kadang sulit dibedakan apabila dilihat sepintas.

Kelenteng Boen Tek Bio terletak ditengah Pasar Lama Kota Tangerang sebagai bukti sejarah etnis Tionghoa Cina Benteng di Banten.
Kelenteng Boen Tek Bio terletak ditengah Pasar Lama Kota Tangerang sebagai bukti sejarah etnis Tionghoa Cina Benteng di Banten. instagram @jushuaalie

Menurut Kho Oe Tjin Eng tokoh Cina Benteng, pada dasarnya hubungan antara masyarakat Cina Benteng dan masyarakat pribumi cukup harmonis, mereka saling menghargai dan menghormati.


Begitupula menurut tokoh agama yang bernama Koh Rudi Gunawijaya mengatakan toleransi agama dan etnis di Tangerang sangat baik, ini terlihat dari beberapa kegiatan seperti pada hari Jumat bersih dan hari besar Kemerdekaan RI, warga Cina Benteng dan masyarakat melakukan gotong royong dan kerja bakti.


Pada saat festival Cisadane dan perayaan Peh Cun, pesta lomba perahu naga dan kuliner Tangerang, hampir semua masyarakat datang dan ikut berpartisipasi mensukseskan perayaan tersebut.


Demikian pula, dalam acara pernikahan orang Cina Benteng dan warga Tangerang selalu menampilkan seni cokek dan gambang kromong.

Di sini ada kolaborasi kesenian etnik Cina dan Betawi, seperti gambang kromong, tanjidor, dan cokek. Alat musik yang digunakan salah satunya adalah tehyan dari Cina dan pemain cokek terdiri dari masyarakat Sukasari dan warga Cina Benteng.


Ada satu komunitas yang menjadi wadah toleransi  yang disebut Forum Kerukunan Umat Beragama yang disingkat FKUB yang didirikan sejak tahun 2006.


FKUB ini makin mempererat hubungan warga Cina benteng dan warga pribumi setempat.

Selain itu forum ini bergerak di bidang sosial seperti membantu jika ada bencana alam, memberi bantuan pada warga yang kurang mampu, menyelenggarakan kegiatan bersama pada hari-hari penting seperti Agustusan, gotong royong dan lain sebagainya.


Di bidang olahraga terdapat Whusu yakni pencak silat Cina yang juga diikuti dan digemari oleh warga Sukasari yang bermanfaat untuk kesehatan dan bela diri.


Kegiatan ini dilaksanakan tiap hari Jumat, dan semua warga melakukan senam Wushu di lapangan olahraga.


Kegiatan kesehatan lain juga dilakukan di Klenteng Cina benteng, yaitu melakukan donor darah tiap bulan dengan mendatangkan dokter untuk tes kesehatan, gula darah, tensi dan konsul.

Jika sakit, klenteng bagi warga Cina benteng ini memiliki tiga fungsi yaitu agama ibadah dan kemasyarakatan,yaitu tempat untuk beramal dan memiliki aspek seni budaya secara rutin.

Selain itu juga melaksanakan program pemerintah seperti Posyandu dan para kader terdiri dari warga Cina benteng dan warga Sukasari yang melayani penimbangan balita dan kesehatan lansia.

Mereka juga melaksanakan kegiatan sosial jika ada bencana alam dan banjir dengan membuka dapur umum dan membagikan obat seperti bencana banjir yang terjadi di Cileduk dan Priuk.

Demikian pula pada acara upacara kemerdekaan Republik Indonesia, warga Cina benteng ikut upacara di tiap RW di Kelurahan Sukasari dan berbaur dengan masyarakat dalam perayaan Agustusan, seperti makan kerupuk, main bola dan permainan lain.

Dan pada Hari Raya Idul Fitri mereka juga ikut halal bihalal meskipun masih ada batas secara akidah yang dilarang, misalnya tidak boleh masuk masjid.

Dan sebaliknya warga muslim pada saat Natal mereka juga memberikan ucapan selamat hampir setiap tahun pada perayaan hari waisak dan perayaan besar lainnya di Vihara Boen Tek Bio umat Buddha dan pengurus Masjid Jami Kalipasir bergantian menjaga keamanan dan membantu kelancaran arus lalu lintas.


Bukan hanya muslim yang membangun masjid tersebut ada bantuan dari orang Cina di sekitar lingkungan tersebut.


Hal itu bisa dilihat dari menaranya yang mirip dengan Pagoda di Tiongkok, bangunan khas Cina di dalamnya juga ada kubah kecil dengan ukiran mirip bunga teratai khas bangsa Cina.


Masjid Kalipasir sendiri berada di pinggir Jalan Kalipasir Indah diapit oleh pemukiman padat penduduk tidak jauh dari Masjid Agung Al-Ittihad Pasar Lama.


Masjid Jami Kalipasir berbentuk persegi dengan menara yang berada di sisi timur masjid, bangunan tersebut memberi contoh kepada kita agar saling menghargai keyakinan.


Karena semenjak dibangun sampai sekarang, masyarakat di sekitar kedua bangunan tersebut tidak pernah bertikai karena masalah keyakinan.

Malah mereka saling melindungi pada saat mereka merayakan hari besar pakaian adat suku Tionghoa Benteng merupakan perpaduan antara pakaian adat suku besar Tionghoa dan pakaian adat suku Betawi.


Pakaian adat prianya berupa baju koko hitam dan celana panjang dengan topi yang khas yang mirip dengan caping, sementara itu pakaian adat wanitanya dinamakan Huakun yang berupa blus dan bawahan lengkap dengan hiasan kepala serta tirai penutup wajah.


Namun sering kali digunakan pula kebayaan Cim dengan aksen kembang goyang sebagai hiasan kepala yang menunjukkan pengaruh Betawi dalam pakaian tersebut.


Proyek pemerintah kolonial ini adalah menggabungkan tiga bangsa yaitu Tionghoa, Belanda dan Sunda Betawi menjadi satu etnis peranakan mirip dengan krul di negara-negara jajahan Spanyol di benua Amerika.


Harapan ras baru ini hanya akan loyal terhadap Pemerintah Belanda, mereka berkontribusi besar terhadap kelangsungan kekuasaan Kolonial Belanda di Tangerang, banyak dari mereka yang diangkat menjadi kapiten Tionghoa pada era fedalisme tuan tanah di Tangerang dan mereka sangat loyal terhadap Belanda.


Pada saat Jepang menduduki Indonesia mereka melawan Jepang dengan gagah berani walaupun akhirnya kalah.

Tangerang merupakan daerah terakhir yang dikuasai Belanda di Pulau Jawa, daerah ini baru seluruhnya diserahkan kepada Republik pada awal tahun 1950.


Dan orang-orang Tionghoa benteng golongan kedua tersebut merasa sangat ketakutan saat Belanda meninggalkan Tangerang pada tahun 1950 dan menyerahkan kota itu kepada Republik Indonesia.


Kemudian terjadilah penyerangan dan perampasan terhadap orang-orang Tionghoa Benteng banyak di antara mereka yang dulunya kaya sekarang menjadi miskin, karena harta leluhur mereka dirampas.


Bagi mereka hidup lebih sejahtera selama pada zaman kolonial Belanda daripada setengah Tangerang masuk ke dalam Republik Indonesia.

Setelah penyerahan tahun 1950 tersebut terjadi eksodus besar-besaran Tionghoa benteng ke Belanda serta California dan laana Amerika Serikat.

Dan orang Tionghoa benteng dikenal dengan warna kulitnya yang sedikit lebih gelap dibandingkan warga keturunan Tionghoa lainnya di Indonesia mereka lebih mirip dengan orang-orang Vietnam ketimbang orang Tiongkok.

Kesenian mereka yang terkenal adalah kesenian campuran Betawi Tionghoa yaitu chokek yang merupakan sebuah tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong.


Sedangkan agama yang dianut beragam antara lain Konghuchu, Budhisme, Taauisme, Katolik, Protestan, pemujaan leluhur, pemujaan surga dan ada sedikit yang beragama Islam.

Hal menarik dari Tionghoa benteng adalah biarpun mereka tidak berbahasa Tionghoa lagi mereka tetap melestarikan budaya leluhur dan tradisi Tiongkok.

Hal ini bisa dilihat dari tradisi pernikahan mereka yang menggunakan upacara pernikahan gaya dinasti Manchu atau King, mereka juga mengenakan pakaian gaya dinasti Manchu seperti Manchu Rob dan Manchuhat.

Pada saat menikah orang Tionghoa benteng adalah satu-satunya komunitas Tionghoa di Indonesia yang memiliki darah orang Manchu, karena hanya orang Tionghoa benteng yang masih tetap menggunakan upacara nikah gaya dinasti Manchu.

Setelah dinasti King runtuh pada tahun 1912 di Tiongkok sendiri upacara nikah gaya dinas Tiaching itu sudah hampir hilang dan sangat jarang ditemukan.

Dan seiring waktu kebanyakan orang dari keluarga bangsa Mulyia tidak menyadari kalau mereka adalah keturunan dinasti Ching, tetapi bagaimanapun juga darah dan napas kekaisaran Cing Raya tetap mengalir pada diri mereka.

Mereka hidup modern, akan tetapi tetap memegang teguh sifat ultra konservatif, seperti feodalisme dan antieminisme.

Dan informasi terbaru menyatakan mereka mewarisi tanah luas yang meliputi daerah yang sekarang adalah sebagian dari BSD dan Gading Serpong.

Sejarah lengkapnya mengenai Tionghoa benteng dapat dilihat di Museum Benteng Heritage di Pasar Lama, Tangerang.

Lokasi museum juga berdekatan dengan Klenteng Boen Tek Bio lebih asyik lagi jika berjalan kaki sambil menikmati suasana Tangerang tempo dulu, karena di lokasi sekitar terdapat rumah-rumah kuno khas Cina dan juga beragam kuliner di sepanjang jalan.

Tak jauh berjalan kaki dari kelenteng itu, Anda akan melihat Museum Benteng Heritage yang memiliki gaya khas Cina.

Museum ini terdiri dari dua lantai yang masih kokoh berdiri dan dibangun menggunakan kayu serta tembok yang masih mempertahankan keasliannya.

Saat memasuki Museum Benteng Heritage pengunjung akan disajikan informasi-informasi yang berhubungan dengan museum maupun masyarakat Cina benteng.

Baca Juga: Sejarah Panjang Kereta Api di Banten, Mode Transportasi yang Banyak Diminati Masyarakat Hingga Sekarang


Itulah sejarah Cina Benteng, sebagai awal peradaban Tionghoa di Banten.***

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah