Kakeknya dari garis ayah adalah Bagindo Tan Labiah, seorang dubalang Tuanku Imam Bonjol.
Samaun mengenyam pendidikan Vervolgschool setara sekolah menengah pertama, Sumatra Thawalib di Padang Panjang, kursus-kursus politik, dan bahasa asing. Awal tahun 1926 beliau bekerja di kantor residen Padang.
Namun, baru beberapa bulan bekerja dia keluar karena tak terima dengan keangkuhan orang Belanda. Pada 1929, Perjuangan Samaun melalui media massa dimulai dengan menjadi wartawan surat kabar Persamaan.
Melalui harian ini, Beliau kerap mengkritik kebijakan Pemerintah Kolonial seperti Kontrolir Pariaman Speit, sehingga Speit melalui Kepala Nagari Kurai Taji Muhammad Nur Majolelo mengusir Samaun.
Majolelo yang masih keluarganya membekali Samaun 7 ringgit, dan bersama dengan keluarganya Samaun pergi ke Medan kemudian ke Bengkulu, di sini dia aktif di Muhammadiyah dan sebagai wartawan redaksi di koran Surat Kabar Sasaran.
Di surat kabar itu Beliau kerap mengkritik petinggi adat Bengkulu seperti Demang, Assisten Demang Pasirah dan Depati yang menyusahkan rakyat dengan menjadi kaki tangan Pemerintah Hindia Belanda.
Di Bengkulu, Samaun aktif sebagai anggota Muhammadiyah dan sering bertablig ke berbagai daerah.
Samaun menjadi anggota Konsul Muhammadiyah Bengkulu sesuai keputusan Muhammadiyah Pusat setelah Konferensi Daerah ke-IX Muhammadiyah Bengkulu tanggal 25-28 Maret 1937.
Beliau juga menjabat Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah (WMPM) regional Bengkulu.
Samaun juga berperan besar pada awal hubungan antara Soekarno dengan Fatmawati.