Sejarah KH Abdul Latif Ulama Cilegon yang Kharismatik dan Namanya Dijadikan Ruas Jalan di Kota Serang Banten

- 15 Februari 2024, 14:34 WIB
Sejarah KH Abdul Latif Ulama Cilegon yang Kharismatik dan Namanya Dijadikan Ruas Jalan di Kota Serang Banten
Sejarah KH Abdul Latif Ulama Cilegon yang Kharismatik dan Namanya Dijadikan Ruas Jalan di Kota Serang Banten /NU Online /

KABAR BANTEN- Di Kota Serang Banten, ada ruas jalan yang menggunakan nama salah satu ulama kharismatik asal Kota Cilegon yang sangat memperhatikan edukasi pada masyarakat.

KH. Abdul Latif diabadikan menjadi nama ruas jalan dari Perapatan Sumur Pecung hingga Perempatan Pasar Rau, Kota Serang, Provinsi Banten.

Baca Juga: Sejarah Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Samaun Bakri Namanya Diabadikan Jadi Nama Jalan di Kota Serang Banten

Siapakah sebenarnya Abdul Latif dan apa jasanya hingga namanya diabadikan menjadi jalan untuk dikenang? Seperti dikutip Kabar Banten dari kanal Youtube Mang Dhepi, berikut sejarahnya.

KH. Abdul Latif yang berasal dari Cibeber, Kota Cilegon adalah ulama yang kharismatik, dihormati dan disegani disemua kalangan.

Beliau adalah ulama yang telah memberikan kontribusi yang sangat banyak atas pendidikan dan pemerintahan yang ada di Kota Cilegon.

KH. Abdul Latif lahir pada tahun 1878 Masehi atau bertepatan tahun 1299 Hijriah, di kampung Pakisaji, Desa Bulakan, Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon, Provinsi Banten.

Ayahanda beliau bernama, KH. Muhammad Ali merupakan seorang ulama yang turut berjuang melawan penjajah Belanda dalam gerakan pemberontakan Geger Cilegon, lalu ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul lalu ke Ambon.

Geger Cilegon merupakan sebuah peristiwa dimana kompeni-kompeni Belanda mengusik dan menghina para ulama dan agama Islam di daerah Cilegon. Pada tragedi itu kompeni-kompeni Belanda berbuat sangat kejam.

Saking kejamannya, mereka dengan beraninya menghancurkan Menara Langgar Jombang Wetan, karena salah satu dari mereka yang bernama Goebel menganggap menara tersebut, mengganggu ketenangan masyarakat karena kerasnya suara adzan yang dikumandangkan dari menara itu.

Selain itu Geobel juga melarang tarhim, sholawat dan adzan dilakukan dengan suara keras.

Para santri dan ulama memprotes tindakan tersebut, dan tercetuslah peristiwa Geger Cilegon.

Sewaktu kecil KH. Abdul Latif tinggal di rumah orang tua beliau di kampung Pakisaji.

Setelah dewasa, beliau mengikuti ibunya ke daerah Cibeber Cilegon. Waktu itu, ibundanya diperisrti oleh KH.Hasanudin.

Sebelumnya beliau telah mendapat didikan dan bimbingan dari ayahanda beliau dan juga dari ayah tirinya.

KH Abdul Latif banyak menuntut ilmu ke ulama-ulama Cibeber diantaranya KH As’ad, KH Asnawi, KH Suhari Taif, dan juga beliau mendapat didikan dari KH Abdul Halim.

KH Abdul Halim merupakan rekan seperjuangan ayahnya dalam Geger Cilegon.

KH. Abdul Latif adalah kader NU yang sangat tulen dan terkenal dengan sifat keramahan, rendah hati dan ketawadhuannya.

Beliau merupakan salah satu ulama Banten yang berkecimpung dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) di masa-masa awal pendiriannya. Beliau pernah diangkat menjadi Rois Syuriah NU cabang Serang.

Dan selama menjabat Rois Syuriah NU beliau sempat empat kali mengikuti kongres NU yang diadakan di beberapa daerah yakni di Jakarta tahun 1929 M, di Menes Pandeglang tahun 1931 dan di Surabaya dan Bandung.

Selain banyak menulis kitab berbahasa Arab dan Jawa Banten, KH Abdul Latif merupakan ulama yang penduli dengan dunia literasi. Ia memiliki mesin cetak kitab yang pada waktu itu sangat langka.

KH. Abdul Latif bukan hanya menuntut ilmu pada ulama-ulama Cibeber saja namun beliau juga menuntut ilmu pada ulama-ulama besar Banten dan Madura.

Seperti KH. Tubagus Muhammad Asnawi Caringin Banten, yang mana Ki Asnawai Caringin adalah murid dari Syeh Nawawi Al-Bantani, Kiyai Abdul Karim Tanara, Kiyai Abdul Kholil Bangkalan Madura dan masih banyak lagi kiyai-kiyai yang beliau jadikan guru dan tempat beliau menimba ilmu.

KH. Abdul Latif jugalah yang telah berjasa atas pendidikan terhadap wanita di Wilayah Cilegon, karena pada waktu itu masyarakat umum khususnya masyarakat Cibeber masih beranggapan wanita itu tak perlu berpendidikan, beliau mengajarkan pendidikan agama kepada kaum hawa.

Beliau mengadakan pengajian kepada kaum hawa. Awalnya pengajian untuk kaum hawa menjadi suatu yang tabu dan sangat tidak pantas sikap dan pandangan ulama masa itu.

Terlebih pandangan umum kaum hawa hanya layak di rumah dan melayani suami dan anak mereka, namun setelah mendapat penjelasan yang mengepankan pemikiran yang beranggapan.

Apabila kaum hawa tidak mendapatkan pendidikan agama dan keagamaan yang sepatutnya, maka kaum hawa akan tertindas dan terbelenggu.

Para ulama yang akan menanggung dosanya apabila suatu hal yang tidak diharapkan terjadi kepada kaum hawa.

Dengan pandangan demikian akhirnya ulama-ulama dan masyarakat menerima apa yang dicetuskan oleh KH Abdul Latif.

Pada usia 46 tahun atau sekitar tahun 1924 beliau mendirikan madrasah yang diberi nama Tarbiatul Anfal pada mulanya madrasah ini hanya digunakan untuk kalangan-kalangan terbatas seperti santri-santri dan masyarakat Cibeber saja.

Namun makin lama para santri baik dari Banten ataupun yang dari luar daerah Banten antusias untuk menimba ilmu di madrasah ini.

Dengan dorongan masyarakat dan melihat perkembangan dari banyaknya santri dari penjuru nusantara yang menuntut ilmu di Madrasah Tarbiatul Anfal dan solidaritas masyarakat Cibeber yang mengumpulkan donasi untuk membangun dan membesarkan madrasah ini.

Akhirnya nama Madrasah Tarbiatul Anfal diubah menjadi Madrasah Aljauharatun Naqiah Cibeber Cilegon yang sampai sekarang masih eksis dan memiliki cabang ratusan lebih yang tersebar di nusantara.

Namun, kiai yang disebut terakhir itu memang waktu itu beraktivitas di Surabaya sebagaimana KH Idris Kamali asal Cirebon yang hadir di Muktamar kedua di kota yang sama.

Waktu itu Kiai Idris tidak beraktivitas dari kota asalnya, melainkan di Jombang, karena ia adalah menantu Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari.

Barulah pada muktamar keempat di Semarang, tahun 1929 kiai dari Jawa Barat bertambah.

Selain yang disebutkan sebelumnya, kecuali KH Muhyi Bogor, hadir di antaranya KH Ahmad Dimyati Sukamiskin Bandung, KH Abdullah Kuningan, KH Abdullah Indramayu, Penghulu Junaidi Batavia, Guru Manshur Batavia (Jakarta), KH Abdul Aziz Cilegon (Banten), Abdul Khair Cirebon, KH Dasuqi Majalengka dan Syekh Ali Thayib yang mewakili Tasikmalaya.

Kiyai yang disebut terakhir itu sebetulnya bukan asli dari Tasikmalaya. Ia adalah seorang ulama Timur Tengah yang sedang menyebarkan tarekat Tijaniayah, yang kebetulan di Tasikmalaya.

Ia tinggal di kampung salah seorang pendiri NU Tasikmalaya, KH A. Qulyubi (Ajengan Unung) yang dikabarkan pengamal tarekat yang sama.

Beliau wafat dalam usia 82 tahun, tepatnya hari Rabu tanggal 24 Syawal 1379 bertepatan tanggal 22 April 1960 pada pukul 00.05 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.

Jasad beliau dimakamkan di area pemakaman sekitar Pondok Pesantren Bany Lathief.

Beliau adalah pendiri dan penggerak Nahdatul Ulama (NU) di Banten.

Dan sampai kini buku yang ditulis beliau tentang khutbah Jumat, masih dipakai oleh ulama dan kiai se-Banten sebagai panduan.

Beliau merupakan ulama yang peduli dengan dunia literasi Ia memiliki mesin cetak kitab yang pada waktu itu sangat langka.

KH Abdul Latif adalah sosok sederhana penuh kreativitas dan sangat bersahabat dengan masyarakat.

Beliau sempat diangkat pejabat oleh Pemerintah Belanda namun tidak mau bertahan lama karena lebih memilih membina masyarakat daripada berbaur dengan pejabat.

Baca Juga: Mengenal Sejarah Banten di Museum Situs Kepurbakalaan di Kawasan Kesultanan Banten

Itulah sejarah KH. Abdul Latif, ulama kharismatik asal Cilegon yang namanya menjadi ruas jalan di Kota Serang.***

 

Editor: Maksuni Husen

Sumber: YouTube Mang Dhepi


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah