KABAR BANTEN - Pelaksanaan Pemilu 2024 baik Pilpres maupun Pileg sudah terselenggara pada 14 Februari 2024.
Namun, Pemilu Pilpres dan Pileg 2024 tidak terlepas dari praktik dugaan politik uang (money politics) yang marak.
Selain itu, Pemilu 2024 diduga banyak terjadi kecurangan dan ketidaksiapan Sirekap.
Hal itu memicu banyak gelombang protes di Jakarta dan di daerah lain di Indonesia. Sebab penyelenggara Pemilu yakni KPU dianggap tidak siap menggelar hajatan Pemilu 2024.
Terkait maraknya dugaan money politics, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli punya pandangan.
Menurutnya, dugaan money politics di Pemilu 2024 memang sangat marak. Sehingga banyak caleg yang melenggang adalah caleg yang punya modal uang banyak.
"Money politics di Pemilu 2024 diduga memang marak terjadi. Perang bagi-bagi duit pada pemilu kali ini sangat terasa," katanya saat menjadi narasumber di Obrolan Mang Fajar di kantor redaksi Kabar Banten, Rabu 6 Maret 2024.
Praktik bagi-bagi duit sebagai imbas dari proses pemilihan langsung. Saat pemilih memilih calon wakil rakyat mereka dan memilih calon presiden dan wakil presiden, di situ terjadi transaksional.
"Pemillih tidak lagi menjadi otonom karena ada transaksional di situ," katanya.
Lili Romli mengatakan, dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, Pemilu 2024 lebih parah. Bahkan banyak pengamat bilang Pemilu 2024 lebih brutal dari pemeilu-pemilu sebelumnya.
Baca Juga: Penanganan Dugaan Kecurangan Pemilu Dinilai Tidak Jelas: Pengamat: Bawaslu Jangan Jadi Penonton
Lantaran itulah muncul kembali wacana agar pemilu terutama pemilihan legislatif (pileg) menggunakan sistem proporsional tertutup bukan proporsional terbuka seperti pada Pemilu 2024.
Lili Romli mengatakan, proporsional tertutup berarti masyarakat memilih partai bukan caleg. Sementara pada sistem terbuka, warga memilih caleg dan caleg yang memperoleh suara terbanyak yang jadi.
"Ada wacana pemilu memakai lagi proporsional tertutup yakni pemilih memilih partai bukan caleg," tegasnya.***