1549852

Mengenal Tradisi Rebo Wekasan, Asal Usul dan Amalan yang Dianjurkan Ulama

- 5 Oktober 2021, 20:25 WIB
Ilustrasi orang sedang berdoa. Rebo Wekasan merupakan tradisi yang dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan shlalat sunnah hajat lidaf'il bala.
Ilustrasi orang sedang berdoa. Rebo Wekasan merupakan tradisi yang dianjurkan untuk memperbanyak sedekah dan shlalat sunnah hajat lidaf'il bala. /Pixabay

KABAR BANTEN – Istilah ‘Rebo Wekasan’ sudah ssngat familiar di kalangan umat Islam di Indonesia. Rebo Wekasan merupakan istilah menyebut Rabu terakhir pada akhir bulan Shafar.

Dirangkum dari berbagai sumber, asal usul tradisi Rebo Wekasan bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid, atau biasa disebut: Mujarrobat ad-Dairobi.

Pada kitab Al-Jawahir Al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H) dijelaskan  Syaikh al Kamil Fariduddin Sakarkanji berkata:Sesungguhnya dalam setiap tahun diturunkan 320.000 bencana atau bala dan semuanya diturunkan pada hari Rabu akhir dari bulan Shafar, maka hari itu merupakan hari yang paling berat dalam setahun.”

Baca Juga: Dapatkah Diketahui Ciri-ciri Kematian atau Seseorang Akan Meninggal? Begini Kata Buya Yahya

Atas dasar itu kemudian muncul tradisi tradisi yang sudah turun temurun, terutama di kalangan umat Islam di Pulau Jawa dan juga sejumlah daerah di luar Pulau Jawa.

Tradisi Rebo Wekasan yang dimaksud yakni melaksanakan shalt sunnah mutlak/shalat sunnah hajat lidaf’il bala’, memperbanyak sedekah, berdzikir dan berdoa.

Buya Yahya memberikan pandangan mengenai tradisi Rebo Wekasan ini. Dalam penjelasannya yang diunggah di kanal Youtube Al Bahjah TV dengan judul ‘Penjelasan Tentang Rabu Terakhir Bulan Safar (Rabu Wekasan)', Buya Yahya menjelaskan bahwa tidak ada hari jelak, buruk atau hari bala atau bencana.

Baca Juga: 7 Wabah Thaun dalam Peradaban Islam, Kejadian Ketiga di Masa Ibnu Zubair, 7.000 Orang Meninggal Setiap Harinya

“Semua hari itu baik. Hari jelek atau bencana ketika hari dilakukan untuk bermaksiat,” kata Buya Yahya.

Buya Yahya mengatakan Rebo Wekasan konon berasal dari kisah seorang orang shalih.

“Bolehkah mempercayainya?. Jika ada orang shaleh menyampaikan tentang sebuah kejadian.  maka apabila tidak bertentangan dengan syariat, bebas mempercayai atau tidak. Misalnya, “Aku lihat di gunung di sana ada 60 harimau. Pernyataan tersebut tidak ada urusan dengan syariat, maka bebas mempercayai atau tidak,” katanya.

Baca Juga: Ini Orang Pertama Dirikan Salat Jumat, Hari Raya Selain Idul Fitri dan Idul Adha, Sebelumnya Disebut Arubah 

Namun sebaliknya, kata Buya Yahya, misalkan, seseorang dapat ilham dengan menyatakan besok boleh minum khamr, hal itu bertentangan dengan syariat maka dilarang mempercayainya.

Menurut Buya Yahya, ilham itu dibahas kalangan ulama. “Ilham itu bukan hujjah. Ilham boleh dipercaya kalau tidak bertentangan dengan syariat,” jelasnya.

Baca Juga: Tiga Macam Ujian dan Derajat Kesabaran Manusia

Demikian pula, tegas Buya Yahya, ilham tidak wajib dipercaya, tapi bagi yang mempercayainya hendaklah dengan amalan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam seperti sedekah dan shalat. Asalkan, bukan mengamalkan dengan cara yang bertentangan syariat Islam.

Sejumlah kalangan ulama menganjurkan amalan shalat sunnah hajat lidaf’il bala pada pagi Rebo Wekasan dengan empat rakaat setelah baca surat Al Fatihah membaca surat Al Kautsar 17 kali, Al Ikhlas 5 kali dan Al-Falaq dan An Naas 1 kali.***

Editor: Maksuni Husen

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah