Metode dakwah bilhal yang dipandang tepat oleh Romly yakni metodologi pengembangan masyarakat dari dalam. Yakni suatu metodologi yang berusaha mengembangkan prakarsa, peran serta dan swadaya masyarakat dalam memenuhi keperluan dan kepentingannya. Secara kelembagaan hal ini bisa dilakukan oleh Ormas Islam, lembaga Islam, takmir masjid, majlis taklim, pesantren, sekolah, koperasi dan lainnya.
Baca Juga : Bantuan dari PUB, Satgas Covid-19 MUI Banten Salurkan Ratusan Mushaf Alquran
Dalam buku setebal 114 halaman tersebut, Romly mengupas terlebih dahulu mengenai kemunculan komunisme yang tak terpisahkan dari pemikiran ateis Karl Max. Ia merumuskan konsep ateis yang menempatkan manusia dalam posisi sentral menggantikan posisi Tuhan.
Menurut Romly, konsep ateis Karl Max menjadi ideologis dan totaliter, karena tidak memberi ruang kepada faham lain untuk hidup. Konsekuensinya, ujar dia, ketika ateisme ini menjadi asas dalam kehidupan bermasyarakat, maka propaganda ateisnya selalu diiringi dengan menyerang dan melenyapkan agama.
Di Indonesia, ungkap Romly, ketika masih lemah, kaum komunis merangkul umat Islam seolah-olah membela agama Islam. Namun ketika komunis sudah mempunyai kekuatan baru ketahuan watak aslinya yang ateistik dan anti agama.
Romly mengungkapkan untuk melawan faham komunis dan faham sesat lainnya, maka para hendaknya para ulama aktif memberikan pencerahan dan tuntunan agama Islam.
“Kalau dakwah kita sekarang dirasa masih lemah, maka intensitas dan frekwensi dakwah harus ditingkatkan. Jika metodologi dakwah perlu diperbaiki, maka penyempurnaannya merupakan keharusan. Jika dakwah konvensional dirasa kurang efektif, maka sudah menjadi keharusan kita untuk melakukan inovasi. Dakwah itu sesuai dengan perkembangan zaman sehingga dapat menjawab tantangan kekinian.” Demikian Romly menuliskan dalam kata penutup bukunya tersebut. ***